Angkringan Felix dan Temon jadi saksi terjadinya Gejayan Kelabu pada masa Reformasi 1998. Angkringan ini juga jadi titik temu mahasiswa UNY untuk diskusi organisasi, mengatur strategi demonstrasi hingga jadi tempat bertengkar dengan pacar. Semua tersimpan dengan kuat di memori pemiliknya.
***
Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) angkatan 1990-an harusnya kenal dengan angkringan ini, Angkringan Felix dan Temon. Itu kesimpulan saya usai ngobrol dengan pemiliknya, Pak Felix (52). Lokasinya di Jalan Kamajaya atau Gang Guru, tepatnya di depan Fakultas Ilmu Sosial (FIS) dan selatan Fakultas Teknik UNY.
Sekilas angkringan ini tampak biasa aja. Sama seperti angkringan pada umumnya. Gerobak berwarna coklat tua sebagai tempat jualannya. Stiker-stiker kegiatan mahasiswa maupun organisasi di kampus menunjukkan angkringan ini punya kedekatan khusus dengan mahasiswa.
“Awal mulanya saya itu kerja di fotokopi. Kebetulan makan saya itu banyaknya di angkringan juga. terus kok saya pikir-pikir kok enak sekali jualan angkringan. Nah saya kemudian keluar dari fotokopi untuk merintis angkringan,” katanya bercerita saat saya makan di tempatnya, 29 Oktober 2022.
Rupanya saya datang sehari saat angkringan ini berusia 28 tahun. Pak Felix mengatakan, ia mulai jualan di Gang Guru tepat 28 Oktober 1994. Hari itu menjadi penanda ia bekerja secara mandiri. Selama 28 tahun jualan angkringan di sekitaran kampus UNY, ia mengaku banyak merekam aktivitas mahasiswa, dari masa reformasi hingga kini.
Saya sempat menanyakan, mengapa namanya Angkringan Felix dan Temon. Pak Felix menjelaskan kalau nama Temon itu adalah nama temannya. Saat baru merintis jualan angkringan, Pak Felix mendapat penawaran dari seorang mahasiswa UNY. “Jurusan Bahasa kalau gak salah,” katanya mengingat-ingat. Penawaran itu berupa pembelian warung sebesar 50%.
Tanpa memandang siapa sebenarnya pembeli tersebut, Felix dengan cepat mengiyakan. Pikirnya usahanya ini akan ramai pengunjung nantinya karena partner jualannya adalah seorang mahasiswa.
“Mikir saya oke kalau misalkan saya berjualan dengan mahasiswa. Saya yakin warung saya akan banyak [pembeli]. Otomatiskan temannya juga banyak, to,” imbuh Felix.
Pertimbangan lainnya, ia telah menghitung kesanggupannya dalam berjualan. Felix sangat yakin bila terus-terusan dilakukan sendiri, maka waktu bukanya akan bolong-bolong. Bisa jadi hari ini buka sementara besok libur. Ini berkaitan dengan keterbatasan tenaga dan energi yang Felix punya.
“Kalau buka sendiri, otomatis saya nggak mampu, itu satu. Yang kedua pasti sering libur, warungnya sering tutup. Kalau sendiri otomatis gak kuat kalau tiap hari,” kata Felix. Namun, ternyata pembelian itu bukan dilakukan oleh mahasiswa tadi. Ia hanya sebagai perantara antara Felix dengan pembeli sesungguhnya yaitu Temon. Felix agak terkejut, tapi akhirnya mereka bisa menjadi mitra yang baik dan berlangsung bertahun-tahun hingga hari ini.
Metode berjualannya beragam. Awal mula gantian, seminggu awal Felix seminggunya lagi Temon. Hal tersebut berjalan hingga Temon punya istri dan memilih untuk berjualan barengan Felix setiap hari. “Lima belas tahun saya jualan barengan sama Temon,” kata Felix.
Perubahan metode terjadi sekitar tahun 2015 ketika Temon punya sampingan usaha tempe. Sejak itu, mereka kembali berjualan secara bergantian setiap minggu. Nah, metode ini berlangsung hingga sekarang. Namun, Temon sudah digantikan oleh adik iparnya yaitu Tomo, yang secara bergantian berjualan bersama Pak Felix. Minggu ini Pak Felix minggu depan Mas Tomo, begitu seterusnya.
Merekam Gejayan Kelabu
Salah satu episode dalam hidup Pak Felix yang tidak bisa dilupakan adalah masa reformasi 1998. Ia ingat persis karena angkringannya jadi tempat mahasiswa nongkrong. Lokasinya yang hanya beberapa meter dari Jalan Gejayan atau Jalan Affandi juga menjadi saksi bagaimana peristiwa demonstrasi besar-besaran dari mahasiswa dan aksi aparat saat itu.
Sebelum demonstrasi besar-besaran terjadi, Felix sering melihat beberapa orang yang ia tahu dari tingkah lakunya bukan mahasiswa wira-wiri di sekitar angkringannya. Akhirnya ia tahu kalau orang-orang itu adalah aparat polisi berpakain preman. “Setelah tahu, saya tak bisa tenang jualan waktu itu, Mas,” kata Felix.
Ia merekam dalam ingatan, demonstrasi di Jalan Gejayan hampir terjadi setiap hari saat awal bulan Mei 1998. Felix masih ingat, demonstrasi mulai memanas sekitar 5 Mei 1998 hingga puncaknya terjadi pada 8 Mei 1998 yang kemudian dikenal dengan sebutan Gejayan Kelabu.
Antara tanggal tersebut demonstrasi mahasiswa terjadi di beberapa titik di Yogyakarta. Felix bercerita, saat itu angkringannya tengah dikunjungi beberapa mahasiswa. Ada yang makan, ada juga yang hanya sekadar nongkrong. Namun, tiba-tiba polisi datang dari arah timur menembakkan gas air mata yang arahnya tak jauh dari angkringan.
Sontak semua lari, mahasiswa yang makan sudah tak ingat untuk membayar. Felix sendiri lari membawa gerobaknya dan disimpan di rumah warga. Keesokan harinya, ia kembali untuk mengambil gerobak angkringan. Hampir semua dagangannya saat itu adalah titipan. Hanya nasi yang ia bawa dari rumah. Untung saat itu yang menitipkan dagangan kepadanya mengerti bagaimana panasnya situasi saat itu.
“Dagangan ini setoran. Ya saya bilang sama juragan, kebetulan juragannya itu yo enak. Percaya gitu,” lanjutnya.
Pernah suatu malam ia ingin membagi-bagikan makanannya kepada mahasiswa yang ia temui. Tapi apalah daya, aparat yang kian brutal kembali menampakkan diri. Belum sempat membagi-bagikan makanannya Felix harus lari terbirit-birit ketika melihat aparat yang bergerombol dari arah barat.
“Otomatis saya juga takut to nanti kena pukul atau apa. Pasti kena pukul, orang lewat aja banyak yang kena pukul. Ikut gak ikut demo kena pukul, gak mau tau aparat itu,” ujarnya ketika menggambarkan kebrutalan aparat saat itu.
Beberapa kali lokasi tempatnya berjualan dikepung polisi untuk memburu mahasiswa. Karena usaha yang harus terus jalan, maka Felix tetap berjualan di suasana yang mencekam. Jualannya yang tidak habis ia bagi-bagikan kepada mahasiswa yang saat itu ikut demonstrasi.
Ia sempat mengusili salah satu aparat yang minta minum kepadanya. Sengaja ia memberikan air panas. “Aparat itu bilang panas-panas, udah mau marah, tapi kemudian dia yang dimarahi komandannya karena diminta cepat gabung dengan rombongan,” kata Felix mengenang.
Puncak demonstrasi besar-besaran mahasiswa terjadi pada 8 Mei 1998. Ia ingat peristiwa itu merenggut nyawa Moses Gatutkaca, mahasiswa Universitas Sanata Dharma yang sebenarnya saat itu sedang mencari makan. Ia bersama ribuan orang lain ikut melayat mahasiswa asal Kalimantan yang kemudian dimakamkan di Gamping, Sleman.
Ketenangan berjualan baru Felix rasakan saat Soeharto menyatakan mundur sebagai Presiden Indonesia pada 21 Mei 1998. Sehari sebelumnya, 20 Mei 1998 satu juta warga Yogyakarta hadir di Pisowanan Agung Rakyat Yogyakarta Mendukung Reformasi di Alun-alun Utara Yogyakarta. “Saat itu, satu juta rakyat turun ke jalan. Pusatnya di Alun-alun Utara. Anak saya itu masih kecil saya ajak ke sana,” tuturnya.
Mencatat kisah-kisah mahasiswa
Felix melanjutkan kisahnya dengan menceritakan bagaimana kedekatannya dengan mahasiswa. Angkringan yang berumur lewat dari usia perak perkawinan ini, tentulah banyak menyimpan kisah-kisah. Terutama dengan mahasiswa.
Felix mengatakan bahwa ada mahasiswa yang dari mahasiswa baru hingga lulus tetap setia nongkrong di tempatnya bahkan sampai ke leve drop out (DO) sekalipun. Angkatan 1997 juga masih sering singgah dan ngopi di angkringannya setiap pagi.
”Kalau yang paling betah di sini itu ada 4-5 orang angkatan 2015. Dari awal kuliah sampai sekarang. Ada yang sudah lulus, ada yang hampir DO. Itu semester terakhir,” kata Felix tertawa.
Mahasiswa yang kini sudah menyelesaikan studi S3-nya juga masih banyak yang mampir di angkringan Felix. Senang rasanya bagi Felix melihat mahasiswa yang dulunya sering makan di sini, kini menjadi orang yang sukses.
“Kalau yang tua-tua sampai sekarang angkatan 1997-1998 masih ada. Kalau yang doktor juga ada. Yang baru lulus S3 banyak. Dari awal pelanggan sampai jadi orang pinter masih ada. Ya alhamdulillah lah,” lanjutnya mengucap kata syukur.
Kedekatan dirinya dengan mahasiswa terbukti ketika Felix sedang tertimpa musibah. Di tahun 2021 lalu, rumahnya kebakaran, Felix mengalami kerugian yang cukup besar. Namun, ketika itu pelanggannya tidak tinggal diam. Mereka menggalang donasi yang setidaknya mampu meringankan beban Felix
“Salah satu mahasiswa cari donasi, itu khusus mahasiswa. Dapat dana di situ. Itu yang kebanyakan yang donasi itu malah angkatan 2006-2007. Nah perwakilan ke rumah saya itu 6 orang itu angkatan 2006,” kata Felix.
Banyak hal yang terjadi di Angkringan itu. Sebagian mahasiswa UNY menyampaikan memorinya lewat media sosial seperti Twitter dan Instagram. Ada juga yang bercerita lewat Twitter @cakkadul adan @anismanto salah yang mengenang masa-masanya dengan Angkringan Felix.
Kata akun itu, dulunya di tahun 1990-an sampai 2000-an awal yang sering nongkrong adalah anak FBS. Sekarang lebih banyak anak FIS dan FT.
Angkringan Felix, legend sih. Biasane tempat nongkrong anak FIS, FT. Kalau FBS kesini jadi minoritas 🤣 https://t.co/dRDb0B2ILH
— Sydøstlige Flod (@cakkadull) January 20, 2022
Ada juga satu kumpulan pecinta sepak bola yang dengan sengaja membuat akun khusus untuk tongkrongannya di Angkringan Felix. Akun itu bernama @FellixTemonFirm yang bertuliskan dalam bionya “Medang-Madang-Balbalan, perkumpulan penikmat sepakbola dan berkumpul guyub rukun bersama di salah satu angkringan legendaris di Kan Sleman, DIY.”
Felix juga mengingat, angkringannya beberapa kali dipakai untuk berdiskusi tentang berbagai hal. Ia beberapa kali mendengar percakapan mahasiswa dalam merencanakan sesuatu, termasuk diskusi tentang demo. Namun, ia tak begitu ingat demo apa yang saat itu sedang dibicarakan.
“Diskusi demo sering. Kebetulan dulu pojokan ini [Sekretariat] BEM, Mas. Tahun 1999 atau 2000 ya. Yo kalau dulu kan warung saya di sana [selatan]. Gedung itu dulunya lapangan. Nah istilahnya buat diskusi itu seringnya di belakang warung saya,” ucapnya mengingat-ingat.
Sampai saat ini diskusi mahasiswa masih sering terjadi di angkringannya. Namun, itu di seberang jalan tempatnya berjualan. Felix sudah tidak lagi begitu mendengar apa yang dibicarakan mahasiswa saat ini. Karena posisi mereka yang memang jauh dari telinga Felix.
Kembali mengingat-ingat, Pak Felix kemudian melanjutkan ceritanya. Selain untuk diskusi demo, ada pelanggan yang menggunakan tempatnya untuk pacaran, bahkan sampai bertengkar pun di angkringannya. Dan ini sering terjadi. “Sering berantem di sini. istilahnya berantem cekcok [dengan pacarnya]. Cekcok ngomong gitu,” ucapnya dengan senyum yang lebar.