Bank sampah dinilai jadi salah satu upaya untuk mengurangi beban tempat pembuangan akhir sampah yang selalu penuh. Di Yogya, baik perorangan maupun kelompok masyarakat banyak yang melakukan gerakan pilah sampah, namun ada banyak tantangan untuk menjalankannya.
Mojok melakukan wawancara dengan dua pihak yang melakukan aktivitas memilah sampah maupun menjalankan bank sampah di Yogyakarta.
***
Terik matahari terasa sangat menyengat kulit begitu seorang pria berumur 60 tahun memarkirkan motor matic-nya di depan bangunan kecil yang terletak di pinggir jalan Kampung Badran. Bisa dibilang, bangunan ini mirip ruko, namun lebih sempit dan memanjang mengikuti arah jalanan.
Siang itu Minggu (15/05/22), saya berjumpa langsung dengan Joko Sularno (60), Inisiator dan Pembina Bank Sampah Lintas Winongo. Ia bukanlah warga asli kampung ini ataupun Yogyakarta, melainkan warga Solo. Namun, ia sudah sejak 1986, Joko merantau kemari, ke sebuah perkampungan bernama Badran.
Konsep bank sampah dan upaya meringankan tempat pembuangan sampah
Sebagai seorang praktisi, Joko paham betul bila perkara sampah memang tidak ada habisnya. Meski sudah banyak bank sampah di Yogyakarta, persoalan sampah tidak akan pernah selesai. “Selama waktu tetap berjalan, selama itulah kita semua masih memproduksi sampah,” katanya.
Dikutip dari laman Bappeda Daerah Istimewa Yogyakarta, total volume produksi sampah pada tahun 2022 sebesar 1.133,94 ton/hari. Nilai ini meningkat apabila dibandingkan dengan grafik tahun 2018-2019 hanya sebesar 644,69 ton/hari. Bagi Joko, apabila semua sampah itu hanya berakhir di pembuangan akhir, tak heran jika kejadian penutupan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan beberapa waktu lalu akan lebih sering terulang lagi.
Di Indonesia, alternatif pengelolaan sampah salah satunya melalui bank sampah telah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan no. 14 tahun 2021. Kehadiran bank sampah dijadikan sebagai fasilitas kegiatan reuse, reduce, dan recycle dengan tujuan untuk mengurangi sampah yang terbuang di tempat pembuangan akhir (TPA).
Sudah sekitar 14 tahun yang lalu, Joko fokus pada kegiatan pengelolaan sampah dengan konsep bank sampah. Hingga akhirnya, bank sampah Badran berdiri. Ia merintisnya saat menjabat sebagai ketua RW. Berbekal rasa prihatin dan pedulinya terhadap sampah, Joko jadi orang pertama yang berhasil membangun bank sampah di Badran.
Tentu, mengajak warga untuk ikut serta dalam kegiatan bank sampah jadi masalah sulit. Pada saat itu, tak banyak orang peduli dengan sampah. Yang terpenting, sampah di depan rumah mereka sudah terangkut, walaupun hanya berakhir menjadi gunungan di TPA. Padahal, berdasar data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sumber sampah terbesar berasal dari rumah tangga, sekitar 40,7 %.
“Kampung sini termasuk padat penduduk. Produksi sampah banyak pol,” kata Joko sambil melirik deretan rumah yang saling berdempetan.
Jabatan ketua RW yang Joko miliki membuat ia lebih leluasa membuat program. Sepetak garasi tempat tinggalnya disulap menjadi sebuah bank sampah bagi warga sekitar. Sebenarnya, tujuan Joko sederhana. Warga sekitar diajak untuk peduli dan tanggung jawab terhadap nasib sampah yang sudah dihasilkan dari rumah masing-masing.
Awal berjalan, terasa sepi. Bahkan sang istri yang kebetulan juga ketua PKK ikut membantu dengan membujuk para ibu-ibu pengurus. Pria itu ingat betul, setiap sore sang istri ditemani oleh seorang teman duduk-duduk di pinggir sungai Winongo untuk edukasi diam-diam tentang pemilahan sampah, sekaligus membuka pos pengumpulan sampah.
“Saya dan istri yakin, kalo perempuan bisa lebih peka tentang lingkungan. Mereka juga yang paling dekat dengan urusan sampah rumah tangga,” ucap Joko tersenyum, sambil menunjukan setumpuk buku tabungan sampah yang didominasi oleh ibu-ibu.
Keyakinan pasangan suami-istri itu ternyata memang benar. Melalui perantara beberapa anggota PKK yang menjadi kader, akhirnya bank sampah Badran mulai berjalan dan memiliki lumayan banyak nasabah dari lingkungan setempat.
Kebiasaan warga untuk memilah sampah lantas perlahan terbentuk seiring dengan kepercayaan terhadap bank sampah Badran. Mengumpulkan dan memilah sampah ternyata benar-benar menguntungkan secara finansial. Bukan itu saja, kegiatan ini ibaratnya memberikan kesempatan kedua pada sampah untuk memberikan manfaat.
Kata Joko, yang terpenting menunjukan hasil nyata. Awalnya, uang hasil bank sampah dapat membiayai seragam para kader. Setelah itu, banyak warga yang mulai percaya dan turut bergabung menjadi nasabah bank sampah. Sekarang, rasa-rasanya warga setempat sudah sering piknik gratis karena hasil dari kegiatan bank sampah.
Hingga saat ini pun, walaupun Joko sudah tak lagi menjabat, bank sampah badran tetap terus berjalan sebagai tabungan bagi warga. “Ini sampe jutaan juga ada loh, Mbak,” ucap Joko sambil membuka setiap halaman yang ada di buku tabungan sampah, “Nah, tapi seringnya diambil Lebaran. biar jadi THR,” imbuhnya terkekeh.
Penyetoran sampah di Bank Sampah Badran tak hanya terbatas pada sampah anorganik. Sampah-sampah organik sisa makanan atau kegiatan rumah tangga pun bisa disetor disini. “Kami juga menerima minyak sisa alias jelantah,” ucap Joko, jari tangannya menunjuk beberapa botol aqua yang tersusun rapi di bawah meja, “kami setor untuk biodiesel, sebagian kami olah jadi sabun batang, mbak,” imbuhnya. Tak hanya itu, sisa-sisa kulit buah juga Joko manfaatkan sebagai cairan serbaguna, yang biasa dikenal dengan ecoenzym.
Daurresik, memberi kesempatan kedua untuk sampah
Sebelum bertemu dengan Joko, sebenarnya saya sudah datang di sebuah rumah depan pertigaan SMP PL Timoho (13/05/2022). Dari jauh, terlihat segerombolan orang yang sibuk mengurus kantong-kantong sampah di garasi rumah. Sedang di luar halaman, beberapa orang bergantian mengantre untuk menyerahkan sampah-sampah rumah tangga.
Tentu, semua itu sudah dipilah dan dipisahkan sesuai jenisnya. Saya berdiri di dekat pagar rumah bernomor 27 itu, mengamati setiap orang yang datang. Ternyata mekanismenya seperti ini, kamu datang dengan membawa kantong-kantong plastik sampahmu, mengantre untuk ditimbang, lalu mendapat uang sesuai dengan jumlah sampah yang kamu bawa.
Lokasi tempat saya berdiri ini adalah titik penjemputan sampah milik Daurresik, atau biasa dipanggil dengan sebutan Resik. Resik menjadi sebuah layanan penyedia alternatif pengelolaan sampah di Yogyakarta, Klaten, Solo, dan sekitarnya. Saya bertemu dengan Ruri dan Fauzan saat mereka sedang sibuk-sibuknya melayani pelanggan serta mengangkut sampah terpilah ke sebuah mobil pick up biru.
Konon, mobil itu bernama cheche, kalau kata Ruri dan Fauzan, cheche inilah si paling terkenal se-Resik raya. Sering beberapa orang tiba-tiba membunyikan klakson atau berteriak menyapa cheche jika mereka sedang menjalankan tugas di jalanan. Tak jarangpun, Ruri dan Fauzan ikut-ikutan dipanggil cheche.
“Kami sering disapa, eh mbak- mas cheche!” Ruri tertawa, “tapi nggakpapa sih. Justru itu bikin ikatan antara kami dan pelanggan,” lanjutnya lagi. Sebagai sebuah social business, Daurresik memang tak memiliki strategi marketing khusus. Mereka lebih banyak mengedepankan customer experience sebagai keunggulan. Terbukti, banyak pelanggan yang selalu datang kembali, atau malah para pelanggan sendiri ikut mempromosikan Resik ke orang lain.
Sesuai taglinenya, “Memberi Kesempatan Kedua bagi Sampah Anda”, Daurresik hadir untuk berusaha semaksimal mungkin mengurangi sampah-sampah di TPA. Semua sampah yang diterima Resik, dijamin akan di daur ulang sebagaimana mestinya pada perusahaan- perusahaan tertentu. Bahkan tutupnya TPA Piyungan beberapa waktu lalu, tak memiliki dampak apapun dengan kegiatan Resik. Toh, mereka tak membutuhkan TPA untuk membuang sampah- sampah.
Fauzan terkekeh, “Ya, memang nggak butuh. Semua sampah yang kami terima, pasti di daur ulang,” ucap pria berumur 24 tahun itu. Hal ini dibuktikan dengan tak semua jenis sampah anorganik diterima oleh Resik. Mereka selalu menyesuaikan ketersediaan kerjasama perusahaan daur ulang. Walaupun tahun ini, jenis sampah yang diterima menjadi lebih banyak. “Dulu kami nggak nerima beberapa jenis, kayak sterofoam, plastik multilayer, kaca, dll, Tapi sekarang bisa, kami udah ada kerjasama” lanjut Fauzan.
“Kami nerima kain atau gombal juga, loh!” seru Ruri, perempuan berambut pendek itu tersenyum lebar, “biasanya jarang. Apalagi yang masih layakpun kami terima,” ucapnya lagi. Selain daur ulang, gerakan yang lahir pada tahun 2019 ini juga menyalurkan barang bekas layak pakai ke orang yang membutuhkan. “Kami juga sedia donasi sampah untuk sekolah, uang yang didapat dari penukaran sampah ini bisa disumbangin. Ataupun barang layak pakai juga bisa,” ujarnya.
Namun, khusus pergombalan dan barang layak pakai, Resik menerapkan sistem kapasitas maksimal. Apabila melebihi, pelanggan akan diberi denda sesuai kelebihan berat barang. Aturan ini dibuat untuk mengurangi perilaku konsumtif di masyarakat. Tentu, hal ini juga dalam rangka mengurangi produksi sampah.
Budaya pilah sampah
Baik Joko ataupun Ruri dan Fauzan, satu kunci utama dalam pengelolaan sampah yaitu pilah sampah. Cukup pisahkan organik dan anorganik, syukur-syukur mau memilah berdasarkan jenis yang lebih kompleks, seperti plastik, kaca, kertas, logam, karet, dan lain lain. Ruri berujar, walau sebenarnya pemilahan sampah tak sesederhana itu.
“Sampah plastik itu masih kami pilah lagi nanti, jadi PP, PET, dan masih banyak lagi. Setelah dipilah dan seleksi baru kami serahkan ke tempat daur ulang,” Ruri tertawa kecil sambil geleng- geleng, “Tapi dengan teman- teman sudah bantu milah sampah secara sederhana dari rumah, itu sudah sangat membantu!” ucapnya lagi.
Jika saya melihat sebuah botol bekas parfum hanya satu jenis sampah saja, yakni plastik atau kaca. Teman- teman yang berkegiatan di daur ulang memiliki pandangan yang berbeda. Tutup botol dan wadahnya, atau bahkan ring di mulut botol memiliki jenis berbeda.
Setelah dipilah, tim Resik akan menyetorkannya di perusahaan-perusahaan yang membutuhkan, tentu beda jenis sampah akan beda perusahaan. Lokasi perusahaannya pun tersebar di berbagai kota, salah satunya ada di Majalengka. “Niat banget ya? Soalnya, kami berusaha cari perusahaan yang emang membutuhkan itu,” ucap Fauzan melihat saya setengah kaget.
Masalah bayar-membayar, pemilahan sampah juga memiliki andil dalam penentuan harga. Semakin sampah itu terpilah dengan baik dan kompleks, maka harga yang diberikan oleh Resik akan semakin mahal. Bagi Fauzan, itu jadi semacam reward untuk tenaga dan kemauan memilah sampah.
Pilah sampah awalnya memang susah, namun jika sudah kebiasaan, lama- lama akan mudah. Itulah yang mereka katakan, sambil tertawa renyah mengingat betapa cukup sulitnnya mereka dulu saat pertama kali belajar. Untuk membentuk kebiasaan tersebut, Resik tidak tanggung- tanggung menolak sampah-sampah yang sama sekali tidak terpilah.
Kedisiplinan aturan mereka ini diharapkan dapat merubah perilaku masyarakat. Hal serupa juga dilakukan oleh Joko, bank sampah kelolaannya tidak mau menerima sampah yang tak terpilah.
Reporter: Rahma Ayu Nabila
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Warung Kopi Mak Waris, Tempat Ngopi Para Petani yang Kini Jadi Legenda di Tulungagung dan liputan menarik lainnya di Susul.