Sudah lebih dari seribu satu malam Pak Ade Toha menjual Bala-bala Gengster. Di kala yang lain terlelap, ia terjaga menjajakan kepingan mujarab pengantar tidur bagi mereka yang kelaparan di tengah malam.
***
Di salah satu sudut Pasar Ujungberung, Kota Bandung, ada sebuah lapak gorengan yang saban hari ramai dikerumuni peziarah malam. Mereka adalah para kalong di kawasan timur Kota Bandung, yang mencari bahan pengobat lapar dalam bentuk gumpalan tepung dan sayur-sayuran goreng, berukuran seperti pisin alas kopi nan padat, nikmat, dan bikin kenyang.
Tepatnya di Jalan Nagrog, sekitar 50 meter dari bibir gang yang bermuara di jalan raya. Lapak itu bertengger sebelah kanan jalan, di samping Rumah Makan Padang Ampera Jaya, mulai berjualan sejak pukul delapan malam hingga pukul dua dini hari.
Bala-bala Gengster, begitu gorengan ini dinamai. Mereka yang familiar biasanya menyebutnya ‘balgeng’. Disingkat. Punya predikat gengster, bukan lantaran si empunya adalah seorang berandal, namun karena ia beroperasi pada malam hari, waktu yang lazim bagi para berandal gangster berkeluyuran dan mengobok-obok ketentraman kota kembang pada masanya.
Bukan pula karena pembelinya adalah para gangster. Kebanyakan, lapak kecil ini disambangi oleh para mahasiswa, santri, pekerja malam, serta para pemuda tanggung Ujungberung dan sekitarnya. Tak ada hubungan sama sekali antara Bala-bala Gengster dengan para berandal gangster bermotor yang seram dan bengis itu.
Saya menyambangi tempat balgeng pada Jumat, 7 Januari 2022, dini hari. Saat itu, Pak Ade Toha (59) sedang sibuk membolak-balik gorengan di atas kuali sambil melayani pembeli. Ia ditemani oleh seorang pegawai, dan satu anak cikalnya, Nyanyang (36) yang setia mendampingi.
Pembeli tak pernah surut berdatangan. Mereka datang menggunakan sepeda motor. Rata-rata nampak berusia 20-an. Driver ojek online juga beberapa kali mampir sambil beristirahat.
Pak Ade tak keberatan bercerita tentang asal mula dan lika liku perjalanan usahanya. Meskipun dia sudah cukup sibuk dengan perkara goreng-menggoreng, mengaduk adonan, dan pembeli yang menunggu dilayani.
Kisah Bala-bala Gengster ini bermula dari sebuah tragedi yang dialami keluarga kecil Pak Ade saat ia tinggal di Bayongbong, Garut, kampung halaman Pak Ade. Tragedi itu sempat memporak porandakan mimpi-mimpi usaha Pak Ade di masa muda.
Di tahun-tahun sebelum Bala-bala Gengster eksis, Pak Ade sempat mencoba berbagai usaha kecil-kecilan untuk menghidupi keluarganya. Beberapa usaha yang ia tekuni termasuk di antaranya membuka warung dan toko kelontong.
Usaha warung yang ia rintis di depan rumahnya lebih dulu dilakoni. Usaha itu cukup sukses, sehingga Pak Ade bisa naik kelas dengan membuka toko kelontong di salah satu pasar di kawasan Bayongbong.
Toko kelontong kecil-kecilan itu menjadi tumpuan harapan Pak Ade untuk terus menafkahi keluarganya. Sambil berharap, toko terus bertumbuh besar seiring berjalannya waktu. Harapan itu nampak sejalan dengan kenyataan. Pak Ade sempat semringah sampai kemudian tiba waktunya ia harus rela mengelus dada.
Peristiwa itu datang tanpa diduga. Pada tahun 2003, di tengah geliat usaha yang berjalan lurus-lurus saja, angin bertiup kencang membawa serta amukan bara api. Si jago merah berkobar di pasar, memporak-porandakan toko kelontong dan seluruh dagangan Pak Ade. Saat api sirna, harapan Pak Ade ikut padam.
Ia tentu saja kecewa berat. Tapi kekecewaan itu tak membuatnya hilang akal. Beberapa waktu, ia melamun dan berpikir keras, mencari jalan keluar agar harapan keluarganya tidak tandas.
Dengan bekal nekat dan modal seadanya, dibumbui kenangan-kenangan masa lalu, akhirnya ia memutuskan mencari peruntungan di perantauan. Kota Bandung dipilih lantaran sudah ada beberapa kolega dan saudara menetap di sana. Bila ia membutuhkan sandaran, atau hal-hal buruk terjadi, masih ada tempat yang bisa didatangi. Begitu pikirnya saat itu.
Bumbu-bumbu kenangan masa lalu diracik Pak Ade dalam bentuk adonan gorengan. Saat awal mula meniti karir usaha warung, dia juga sempat menjajakan ragam rupa gorengan sebagai jajanan pelengkap.
“Dulu pas ngewarung di depan rumah, ada gorengan juga. Jadi sekarang jualan gorengan lagi itu ada dasarnya,” urai Pak Ade bercerita.
Dia mulai menjual gorengan di areal Pasar Ujungberung sejak 2004. Gorengan yang dijual cukup standar seperti bala-bala alias bakwan, gehu, tempe, pisang goreng, dan cireng. Yang membedakan gorengan Pak Ade dengan gorengan di tempat lain adalah ukurannya yang lebih jumbo dan padat.
Perbedaan lain adalah waktu operasi lapak Pak Ade. Bila gorengan-gorengan lain lazimnya beredar sejak pagi hingga petang, gorengan milik Pak Ade justru baru nongol saat malam mulai sepi. Bila sekarang ini Pak Ade mulai berjualan sejak pukul 8 malam, saat pertama kali dibuka, Pak Ade menjual gorengan sejak pukul 3 dini hari hingga pukul 9 pagi.
Sepanjang meniti karir berjualan gorengan di Pasar Ujungberung, Pak Ade telah berkali-kali mengotak-atik waktu edar barang dagangannya. Dari mulai formasi 3-9 yang cuma bertahan lima bulan, dilanjut dengan formasi 2-8, 1-7, 0-6, dan seterusnya hingga mencapai formasi 8-2 yang dipakai sekarang ini. Formasi ini pun masih belum ajeg dan mungkin berubah.
Ini merupakan salah satu ciri khas yang terus dipertahankan Pak Ade. Menurutnya, sejak pertama kali dibuka, gorengan yang ia jajakan memang menyasar konsumen-konsumen malam. Ini juga menjadi salah satu strategi marketing yang terbukti sukses. Saat penjual lain merangkai mimpi kejayaan di atas kasur, Pak Ade asyik melanggeng sendiri.
Sekarang ini, Pak Ade sanggup menghabiskan 80 kg tepung terigu dalam sehari dari hanya sekitar 4 kg saat pertama berjualan. Sebelum pagebluk menyerang, dia bahkan bisa menghabiskan satu kuintal per hari. Untuk menggoreng, Pak Ade membutuhkan sekitar 3 gas melon dan 30 kg minyak goreng setiap hari. Belum lagi bila dihitung dengan bahan baku lainnya, khususnya sayur-sayuran yang mencapai berbal-bal.
Bahan baku sebanyak itu bisa menghasilkan penjualan hingga seribu potong tempe, 800 bala-bala, 400 pisang aroma, 250 pisang goreng, ratusan cireng, donat dan lontong.
Asal muasal nama gengster
Penamaan Bala-bala Gengster terjadi tanpa kesengajaan. Pada awal membuka usaha hingga tahun 2009, Pak Ade berjualan tanpa memikirkan nama atau merek.Tapi semua berubah ketika pada suatu malam lapak gorengan Pak Ade didatangi dua sejoli yang sedang mencari ganjalan perut.
Mereka adalah dua mahasiswa UIN Bandung, kata Pak Ade. Sebermula dari celetukan iseng, akhirnya tercetuslah ide nama Bala-bala Gengster.
Lamat-lamat Pak Ade mengingat, mengatakan bahwa si perempuan lah yang pertama kali nyeletuk. Dia terkesan dengan tampilan bala-bala yang berukuran jumbo. Nampak beringas. Berkatalah ia bahwa kiranya cocok bila bala-bala tersebut diberi predikat ‘geng’ di belakang,
Si pria lantas kepikiran. Idenya, bagaimana kalau ditambahkan imbuhan ‘er’? Tercetuslah nama Bala-bala Gengster di malam itu. Pak Ade tak keberatan. Dia suka dan mengangguk setuju.
“Dari situ awalnya. Mereka yang ngasih nama,” kata Pak Ade.
Selang beberapa waktu, kedua sejoli itu kembali. Kali ini mereka membawa spanduk bertuliskan ‘Bala-bala Gengster’. Spanduk itu lantas dipasang di dinding belakang tempat Pak Ade berjualan. Sejak itu, bergaung lah nama Bala-bala Gengster.
Predikat gangster yang disematkan berkonotasi dengan makna sesuatu yang besar, pejal, sangar, bombastis, dan menggetarkan. Makna itu nampaknya terilhami dari penginderaan kedua mahasiswa terhadap tampakan gorengan milik Pak Ade yang memang di atas rata-rata. Dan lagi, di tahun-tahun itu, berandal geng motor di Kota Bandung juga sedang ganas-ganasnya menjalankan aksi.
Perkara ukuran dan kepejalan memang menjadi ciri khas utama Bala-bala Gengster. Ada sebuah anekdot yang beredar untuk menggambarkannya. Bunyinya kira-kira begini: kalau kamu membeli sekantong plastik Bala-bala Gengster di hari Jumat, kamu akan merasa kenyang sampai hari Minggu.
Tentu saja itu dilebih-lebihkan. Tapi memang jajanan ini mengenyangkan.
Pak Ade lupa siapa gerangan nama kedua mahasiswa tersebut. Tapi ia berjanji tak akan pernah melupakan jasa mereka. Kata Pak Ade, beberapa kali dua sejoli itu mampir menyambangi beliau. Terakhir kali, Pak Ade bersua sekitar satu tahun lalu.
“Beberapa kali ada ke sini. Sekarang udah nikah. Katanya punya usaha konveksi di Cibaduyut,” sebut Pak Ade.
Perekat kolektivitas
Kebanyakan pembeli Bala-bala Gengster adalah mahasiswa UIN. Selain itu, ada santri, pemuda sekitar, dan belakangan para tukang ojol yang mengais rezeki di malam hari.
Di kalangan mahasiswa UIN, Bala-bala Gengster dikenal sebagai panganan pemadam kelaparan darurat, khususnya bagi mereka yang gemar begadang, entah mengerjakan tugas, berdiskusi atau sekadar kongkow berbual-bual.
Para mahasiswa yang aktif di himpunan jurusan atau unit kegiatan mahasiswa (UKM) khususnya, sangat akrab dengan gorengan legendaris ini. Biasanya makanan ini disajikan sebagai penutup rapat-rapat atau kongres (ngawangkong teu beres-beres/diskusi yang tidak pernah selesai) mahasiswa.
Biasanya, gorengan ini dibeli dengan uang hasil kolekan. Setiap orang dalam sebuah majelis atau tongkrongan merogoh kocek masing-masing seikhlasnya. Uang yang terkumpul digunakan untuk membeli gorengan. Bila ada sisa, dibelikan rokok dan kopi.
Yang berangkat membeli, biasanya yang paling sedikit menyumbang urunan. Dia akan menempuh jarak sejauh kurang lebih tiga kilometer menembus dinginnya udara malam di timur Kota Bandung, menunggu beberapa saat, lalu membawa pulang gorengan hangat yang baru saja ditiriskan di atas kuali besar itu.
Cara memakannya bermacam-macam. Salah satu yang paling popular adalah dengan menggelar alas dari kantong plastik gorengan yang digunting memanjang menjadi dua bagian. Gorengan-gorengan itu di taruh di atasnya. Lantas dikucurkan saus sambal di bagian tengah atau pinggir alas sebagai bahan cocolan sebelum disantap mulut-mulut yang kelaparan.
Selagi berkuliah, saya cukup sering mengalami momen-momen itu. Biasanya, dengan uang Rp10 ribu perak, gorengan ini sanggup menjadi obat mujarab pengantar tidur nyenyak kami mahasiswa kere yang entah mengapa gemar begadang.
Saat itu, rentang 2012-2016, harga Bala-bala Gengster dua ribu rupiah per tiga keping. Dengan uang 10 ribu, kami bisa membawa 15 keping gorengan berukuran jumbo. Tak jarang pula Pak Ade yang baik hati ini memberi bonus. Selembar ceban yang ditukar dengan sekantung gorengan ini bisa memadamkan kelaparan bagi empat sampai lima orang. Masing-masing orang mendapat jatah tiga gorengan dan itu cukup mengenyangkan.
Sekarang harga Bala-bala Gengster jadi seribu rupiah per gorengan. Harganya naik tipis karena bahan baku ikut-ikutan naik. Tapi ukuran gorengan relatif sama dan masih sangat sepadan.
Bila kebetulan ada beras atau nasi, gorengan ini bisa juga dijadikan lauk yang bergizi untuk disantap. Nasi plus gorengan, sebuah kombinasi super karbohidrat yang sangat berguna untuk menyediakan energi bagi tubuh!
Pernah sekali waktu saya berinisiatif membeli gorengan ini untuk dikonsumsi sendiri. Saya membawa pulang tujuh atau delapan keping gorengan seharga lima ribu. Bisa saja saya membeli hanya dua ribu, tapi urung kejadian lantaran sedikit gengsi. “Udah jauh, dingin malem-malem, terus murah lagi, masak cuma beli dua ribu,” pikir saya kala itu.
Setelah tiba di kos, saya hanya sanggup menyantap empat keping. Sisanya saya masukkan ke dalam tas untuk dibawa kuliah esok harinya. Saat kelas kosong, seorang kawan menanyakan ada nasi atau tidak di tempat kos. Saya menjawab ada. Lantas kami berdua bersantap dengan tiga keping gorengan sisa semalam. Ada sedikit bau sampo saat kami bersantap. Maklum, kala itu saya sering membawa alat tempur kakus untuk sekadar numpang mandi di toilet kampus yang lebih manusiawi.
Kami berdua hanya terbahak sebentar. Tak jadi soal jika ada cairan sampo yang masuk ke perut. Toh semua akan menjadi tinja juga. Terpenting, saat itu kami bisa kenyang dan berbagi satu dua batang rokok setelahnya.
Tak cuma mahasiswa UIN. Pak Ade juga punya cerita dari santri-santri yang menjadi loyalis Bala-bala Gengster. Katanya, para santri suka menjadikan barang jualannya sebagai lauk pauk pengantar tidur.
“Biasanya abis pengajian malem santri-santri dari Cibiru suka datang ke sini. Beli 20 ribu, berasnya sekilo. Gorengannya buat dijadiin lauk. Dimakan sama 10 orang,” cerita Pak Ade.
Kata Pak Ade, ada setidaknya tiga pesantren yang santri-santrinya menjadi pelanggan tetap Bala-bala Gengster, dua di daerah Cibiru, satu di Sukamiskin. Setali tiga uang dengan para mahasiswa, keuangan para santri juga sangat seret.
Sudah tertulis nampaknya di lauhul mahfudz, bahwa Bala-bala Gengster adalah sejenis makan komunal yang punya daya magis untuk mempererat kolektivitas.
Reporter : Hengky Sulaksono
Editor : Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Imah Babaturan, Warung Kopi Plus-plus Penjaja Kenikmatan di Kota Kembang dan  liputan menarik lainnya di Susul.