“Tidak ada yang namanya fakta, yang ada hanya tafsiran-tafsiran saja.” – Nietzche
Warning: tulisan ini mungkin sekali bakal berpotensi membuat anda bosan dan jenuh. Jadi persiapkan diri anda untuk … membenci Ahok. Atau membenci diri sendiri.
Tiga bulan yang lalu teman saya konsultasi soal proposal skripsinya yang berjudul: Kepemimpinan Non-Muslim Menurut Perspektif Al-Quran (Kajian Terhadap Pemikiran Sayyid Quthb dalam Fi Zhilalil Quran). Sang dosen yang tadinya hangat menerima kami langsung berubah air mukanya begitu melihat judulnya saja. Kontras betul dengan ketika kami mengetuk pintu rumahnya, sambil menenteng martabak telor. Ini baru aja di judul loh. Proposal pulak. Horor betul.
“Tidak ada yang namanya perspektif al-Quran. Haram bilang begitu!” Ujarnya seolah menyempurnakan perubahan air mukanya tersebut. Kami kaget bukan main, bagaimana mungkin al-Quran yang merupakan satu-satunya pemandu utama jalan yang lurus itu tiba-tiba menjadi sesuatu yang diharamkan untuk diambil pesan-pesannya?
Ah, ini dosen bengkok aqidah-nya. Jangan-jangan haram juga nih bimbingan sama beliau. Nah, sampai sini pasti ada aja yang bilang: ah perguruan tinggi Islam zaman sekarang, dosennya pada kafir, mahasiswanya pada kenthir. Udahlah ke padepokan Kanjeng Anu aja, biar ganda anunya.
Sebentar dulu ikhwani fillah. Biarkan dosen saya itu melanjutkan apa yang dia bicarakan.
“Judul, seharusnya tidak langsung seperti itu.” Katanya lagi, “buatlah judulmu lebih spesifik. Misalnya Kepemimpinan Non-Muslim dalam Al-Quran Menurut Perspektif Mufassir A, atau B, atau C.”
Lalu dia menjelaskan panjang lebar dasar-dasar mata kuliah Ilmu Tafsir; semisal bahwa al-Quran tidak pernah “bicara” sendiri. Dari mulai masa Nabi Saw, para Sahabat, tabi’in, sampai hari ini. Dari hasil-hasil tafsiran itulah perilaku keberislaman masing-masing kita terbentuk dan hadir dalam pikiran, tradisi, ibadah, dan tingkah laku. Entah yang berkaitan langsung atau bertolak belakang sama sekali. Qunut-gak qunut, tahlil-gak tahlil, berotak-gak berotak, semuanya adalah cara masing-masing individu, golongan, bahkan institusi tertentu dalam berinteraksi dengan kalam ilahi ini. kira-kira begitu terangnya secara tidak langsung.
Coba bayangkan hal sederhana ini: dari mana pengetahuan tentang makna kata adh-dhollin dan al-maghdub (ayat akhir Qs. Al-Fatihah) sebagai yahudi dan nashrani?
Dari mana kita memahami masa ‘iddah—masa suci atau penantian untuk dapat menikah kembali—seorang janda, yang dalam bentukan tekstualnya cuma disebut sebagai tsalatsata quru’?
Dari mana pula anda tahu bahwa ayat yang melarang khomr cuma pas waktu mau sholat doang itu sudah dinasakh-kan (dihapus bentukan hukumya) dengan ayat yang melarang khomr total?
Dari siapa pula Ahok seolah-olah ngeh kalau kata waliy dalam al-Maidah 51 itu bermakna Gubernur Jakarta?
Semua ini diwarisi dari hasil kerja-kerja tafsir para mufassir terhadap al-Quran. Dan kita semua sudah tahu bahwa para mufassir yang sholeh, hafal quran, khatam mantiq, ngerti hadits itu tidak jarang juga bersilang pendapat dalam menafsirkan ayat-ayat tertentu, terutama ayat yang akhir itu. Lah kita ini apa? Eyel-eyelan dengan modal video youtube?
Obrol-obrolan “Penistaan Al-Quran” oleh public figure ini pasti sudah gak asing di kita. di Purwakarta misalnya Dedi Mulyadi yang dilabeli raja sirik itu, dulu juga disebut begitu. Karena bilang suara suling lebih indah daripada suara mengaji. Yaah padahal mah emang dianya aja yang suka suling. Yaudah sih padahal mah. Atau almarhum Gusdur yang dulu disebut-sebut pernah bilang kalau Quran itu porno; karena di dalamnya juga membicarakan hubungan intim atau organ-organ tubuh tertentu. Padahal mah, ah… sudahlah
Tapi masalahnya belakangan ini labellling begini ini udah gak main-main loh akhy-ukhty sekalian.
“Ya biarin aja. China kafir itu musti mampus.” Kata teman saya. Ah yaa Rabb, ngobrol dengan orang kayak gini sama aja kayak ngobrol sama orang dirasuk jin. Gak jelas.
Tafsir Blunder Ahok
“… dibohongi pakai surat al-Maidah, Ayat 51” kata Ahok dalam video itu.
Seperti dikatakan pak Abdurrokhim, bagaimanapun dalam komunikasi politiknya, hal itu blunder buat Ahok. Situasi benar-benar tidak kondusif untuk bercanda seperti itu. Lebih dalam dari itu, Ahok juga membuat blunder dalam memandang makna dari Al-Maidah Ayat 51.
Seolah-olah ayat itu benar-benar memang mencela dirinya. Padahal ada yang namanya Fazlurrahman, menulis Major Theme of Quran yang lebih teduh dan relevan menulis soal macam begini. Seharusnya ia baca dulu sebelum melontar curhatan atau candaan seperti itu.
Tapi siapa yang bisa menghalau kezamnya netizen kita? Memotong-motong, menambahi teks merah, me-repeat bagian tertentu hanya untuk satu tujuan: mencela Ahok.
“…dibohongi pakai surat al-Maidah, ayat 51” begitu video ini mengulang-ulang ucapan Ahok itu, seolah video ini ingin menegaskan betapa Ahok sangat benci ayat itu. Dan di saat yang sama seolah Ahok bilang bahwa memang begitulah posisi dirinya dalam al-Maidah ayat-51 tersebut.
Di kubu lawan politiknya hal ini seperti pucuk dicinta ulam pun tiba; kini ada lagi jargon yang lebih kuat untuk menyudutkannya. Ahok sudah tidak lagi sekadar objek pembicaraan dalam salah satu jenis tafsiran Qs. Al-Maidah Ayat 51. Bertambah lagi labelnya sebagai “penista al-Quran”. Warrbyazaah.
Betapa gak enaknya jadi Ahok.
Menafsir Tafsiran Blunder Ahok
Pada akhirnya manusia bagaimanapun juga merupakan makhluk penafsir. Dalam hal menafsirkan maksud Ahok ini setidaknya kita bisa benar-benar bertanya pada diri sendiri: apakah Ahok memang benar-benar menghina agama tertentu?
Tapi sebelumnya perlu kita menyadari betul latar belakang sosial-politik Ahok yang cukup keras, lingkungannya tumbuh besar sebagai keturunan Tionghoa, dan konteks-konteks lainnya, sehingga kita bisa menerima kesimpulan dan pemaknaan lain dari kata Ahok, semisal:
“… dibohongi (orang-orang yang suka menyudutkan saya) pakai (salah satu jenis tafsiran) Surat al-Maidah, Ayat 51.”
“… dibohongi pakai surat al-Maidah, ayat 51” tidak bisa diambil maksudnya begitu saja. Lihat posisinya; apa yang Ahok bilang adalah caranya menafsirkan posisi dirinya dalam tafsiran ayat tersebut.
Emangnya enak disebut kafir atau cina terus-terusan? Ini bukan soal sebutannya loh … tapi konotasinya itu, loh. Itu kan zalim, Saudara. Istilah “kafir” di semua agama samawi itu sama-sama gak enak. Itu bahkan gak sebanding dengan sebutan ‘mantannya si anu yang nikah kemarin itu’.
Paling tidak yuk kita bersikap adil dari pikiran sendiri. Persoalan reklamasi adalah satu hal, dan persoalan labelling sebagai “penista al-Quran” ini merupakan hal yang lain. Mustinya kita waspada dengan ketidakadilan menilai Ahok. Kan gak lucu aja kalau gara-gara itu, dia nanti bikin cover lagu deq Awkarin kalian semua suci, aku penuh dosa. Bayangkan saja. Itu gak lucu banget loh. Eh, tapi lucu juga sih ….
Mari kita tiru langkah-langkah para mufassirin dalam melakukan kajian terhadap tafsir maupun al-Quran. Bukan karena omongan dia itu penting, bukan. Tapi untuk menyelamatkan diri sendiri dari sesat pikir, salah tafsir, dan zalim dalam menilai orang lain. Apa lagi kita hidup dalam lingkungan yang orang-orangnya tidak selalu sama dengan kita. Beda agama lah, beda suku lah, beda cara makan bubur lah, beda koleksi pokemonnya lah. Eh, btw, masih ada yang main pokemon?