[MOJOK.CO] Bertamu Seru ke rumah Alit Jabang Bayi, MC paling maju se-Jogja.
Apa yang membuat kamu, kamu, kamu berhasrat beli tiket konser musik? Yang pasti bukan karena MC-nya. Tapi, bisa bayangkan konser musik tanpa MC? Ya, bosan sih. Kadang ada MC aja masih membosankan. Inginnya langsung nonton band favorit manggung. Undang sendiri saja, Mas, kalau nggak sabar nunggu, yang pernah jadi panitia konser pasti membatin demikian.
Saya belum pernah jadi panitia konser musik, dan setelah ngobrol dengan Alit Jevi Prabangkoro, saya jadi sepakat dengan yang pernah jadi panitia konser tadi: jadi penonton jangan manja. Dunia hiburan keras, Mas! Halah, malah curhat.
Alit Jevi Prabangkoro adalah nama KTP. Kalau nama TKP-nya Alit Jabang Bayi. Selain merupakan MC paling tonggos se-Jogja, dia juga MC paling kondang. Teman saya pernah nonton konser musik tiga kali dalam seminggu, dan tiga-tiganya yang jadi MC adalah Alit. Bisa bayangkan kan, betapa monotonnya kehidupan per-MC-an di Jogja.
Selasa pekan lalu kami menemui Alit di kediaman orang tuanya di Gamping, Sleman, D. I. Yogyakarta. Di rumah yang mepet sawah itu orang-orang sedang sibuk mengangkut barang. Di sawah yang mepet rumah itu petani juga sedang sibuk. Panen.
“Mau pentas ketoprak besok malam di TBY, Mas,” kata seorang bapak yang rambutnya sudah memutih semua. TBY itu Taman Budaya Yogyakarta.
Sambil menunggu Alit selesai memuat properti pentas ke mobil pikap, kami duduk di ruang tamu. Atmosfer seni saya rasakan seketika duduk di ruang tamunya. Beberapa foto dan poster pentas ketoprak menghiasi dinding.
Bapak, ibu, bibi, dan kakek Alit adalah pemain ketoprak. Di tahun 2000-an awal, yang suka nonton Ketoprak Humor di TVRI pasti tidak asing dengan Marwoto, bapaknya Alit.
“Nanti mau direkam?” tanya Alit kepada kami karena melihat Adi mengeluarkan kamera.
“Iya, Mas.”
“Suara mesin perontok padinya ganggu ya? Tunggu, tak teriaki dulu biar berhenti,” katanya. Kami kira beneran, ternyata bercanda.
“Apa mau ditunggu sampai panennya selesai?” dia menyambung, “Tapi sawahnya luas e.”
Terserah kamu, Mz, terserah.
“Di lantai dua saja,” saran seseorang dari dalam rumah, entah siapa.
Tidak lama Alit mengajak kami naik. Dia membawa empat buah kursi untuk kami. Di balkon rumah dengan pemandangan sawah siap panen, kami ngobrol banyak hal tentang dunia MC.
“Mas Puthut itu masa mudanya suka judi lo,” Alit membuka obrolan santai itu. “Makanya aku kalau lihat gondes-gondes nggak jelas gitu, besok bakal bisa jadi orang (sukses) mereka.”
Duh, Kepala Suku Mojok disamakan dengan gondes nggak jelas.
“Kalau Agus Mulyadi? Agus Magelangan? Masih di Mojok?”
“Masih, Mas.”
“Dulu kan dia jaga warnet.”
Sebelum dia membongkar semua masa lalu kru Mojok, kami memilih untuk duluan membongkar masa lalunya.
Alit memulai karier profesional sebagai MC di konser musik 14 tahun lalu. “Waktu itu tahun 2003, saya diajak Mas Gepeng. Itu pertama kalinya saya dibayar,” kenang Alit.
Sampai sekarang ia konsisten menjadi MC acara musik, meskipun tahun 2010 sudah mulai menjajal MC di acara gathering. Katanya, kalau jadi MC nggak boleh mentok di satu bidang.
“Kalau bisa jadi MC mantenan (pernikahan), launching, seminar, sama acara lelayu (pemakaman). Butuh MC juga kan itu.”
Alit kemudian berkisah tentang bapaknya yang pernah diminta melawak di depan pelayat dan jenazah yang akan dikuburkan. “Ya tetap melawak bapak saya, teman sendiri soalnya yang minta langsung. Tapi ya nggak los gitu, wong di depan jenazah. Ha kalau jenazahnya ikut tertawa gimana? Bubar semua nanti.”
“Pernah MC wisuda, Mas?” tanya saya.
“Belum pernah aku. Kalau yang formal protokoler gitu aku nggak berani. Suaraku medok, nggak cocok.”
Menurutnya, MC di acara seperti wisuda butuh skill yang masih perlu dia pelajari. Selain harus menguasai acara, penyebutan nama beserta gelar-gelar yang mengekor tidak boleh salah. Intonasi suara juga harus diperhatikan.
“Seberapa sering tawaran MC datang, Mas?”
“Duh, isin (malu) aku, nanti dikira sombong. Aku pernah 35 kali jadi MC dalam sebulan. Itu waktu awal-awal dulu. Pencapaian lo itu, sebulan cuma 30 hari, aku jadi MC 35 kali. Selesai itu aku kena tifus.”
Baru-baru ini Alit juga kena maag sebelum naik panggung. Dengan kondisi seperti itu, dia tetap total membawakan acara. Walaupun setelah itu dia harus ke rumah sakit untuk berobat.
“Nah ini yang perlu teman-teman ketahui. Dunia entertain itu tidak mudah. Apa pun masalahnya, entah sakit, masalah rumah, asmara, atau apa pun itu tidak boleh memengaruhi penampilan di panggung. Tetap harus total.”
Saya ambil pisang goreng yang datang menggoda sejak awal obrolan tadi. Enak. Harus ambil lagi nanti, batin saya. Sebelum pisang goreng pertama tandas, giliran Adi yang sedari awal merekam bertanya, “Karena sering memandu acara musik, band favorit Mas Alit apa?”
“Sheila on 7 laaah,” jawab Alit cepat. “Aku cah Jogja e. Yang jelas aku mendukung band-band Jogja, yang luar nyusul.”
Alit jadi penggemar Sheila sejak album pertama mereka, juga berjudul Sheila on 7, rilis tahun 1999. Di pengujung ’90-an itu dia melihat bagaimana band baru itu dicaci maki, bahkan oleh orang Jogja sendiri.
“Wah lagu opo iki, cinta-cintaan thok,” katanya menirukan orang yang nyinyirin Sheila dulu. “Tapi dengan begitu Sheila malah jadi tambah terkenal.”
“Pernah ada momen spesial sama Sheila on 7?”
“Aku pernah diajak nyanyi bareng Mas Duta lo. Jadi waktu itu, di acara yang inisialnya FKY (dan ini adalah inisial sebenarnya), Sheila on 7 diundang sebagai bintang tamu tersembunyi. Mereka naik panggung yang sederhana di Pasar Ngasem. Pas mau nyanyi, Mas Duta manggil aku, ‘Alit, sini nyanyi.’ Waaah, kebahagian yang lebih dari materi itu.”
“Jadi, kalau ada yang tanya panggung paling spesial, ya ketika satu panggung sama Sheila on 7.”
“Oh iya, satu lagi idolaku, Jihan Fahira.”
Sambil terkekeh saya ingat-ingat lagi siapa Jihan Fahira, namanya tidak asing. Ternyata artis sinetron zaman saya SD dulu. Di balik gaya Alit yang terlihat muda, ternyata dia sudah tidak muda~
“Apa sih yang membuat Mas Alit begitu ngefans sama Sheila?” tambah Adi.
“Lagu-lagunya, kan anak muda banget itu, memihak orang-orang yang tersakiti. Lagu-lagu galau bisa dibikin bersemangat, misal lagu ‘Betapa’ itu. Menertawakan kesedihan versi orang Jogja itu pas banget.”
“Wah, persis NDX AKA banget, Mas,” sahut saya.
“Bener. Mas Duta saja sampai ngefans sama NDX gara-gara sering dengar ceritaku. Keluguan mereka itu jadi sesuatu yang mahal di dunia hiburan.”
“Anakku,” Alit bertutur lagi, “ngefans banget sama NDX. Kuajak nonton Sheila on 7 nggak mau, Dream Theater, Glenn Fredly, Tulus, sampai band kekinian seperti FOURTWNTY dia nggak mau. Prambanan Jazz saja dia dateng karena ada NDX.”
“Anaknya laki-laki, Mas?” tanya Titis.
“Nggak, perempuan, panggilannya Ines, masih kelas 2 SMP, umurnya 13 tahun. Dia kalau nonton NDX pasti minta foto, padahal dia malu kalau ngajak-ngajak foto ke orang lain.”
Sambil menunggu Alit selesai bercerita tentang anaknya, kesempatan ini saya gunakan untuk menyabet pisang goreng lagi. Pisang goreng kedua tandas, saya menyiapkan pertanyaan lanjutan.
“Menurut Mas Alit, Mas Alit lucu nggak?”
“Nggak, kan aku baik, berwibawa, tidak sombong, sering membantu.”
Guyonannya kali ini sungguh garing.
“Nah gini,” dia mulai serius, “salah lo ya menganggap MC itu harus lucu. MC kan bukan pelawak. Memang karena biar cair makanya dibikin lucu. MC itu ya MC, master of ceremony, membawakan acara. Ketika susah mengangkat acara, ya salah satunya jadi lucu biar menarik perhatian. Kalau sudah mendapat perhatian penonton kan enak, mau dibawa ke mana-mana bisa.”
Kami memperhatikan dengan sungguh-sungguh. Lebih dari kalau dosen menerangkan di kelas.
“Ada juga MC yang tidak perlu jadi lucu tapi sudah bisa memengaruhi penonton yang jumlahnya ratusan, bahkan ribuan. Nah itu masih aku pelajari.” Dia melanjutkan lagi, “Bisa memengaruhi penonton itu nggak gampang, apalagi kalau sudah misuh-misuh (marah-marah). Dulu aku pernah nggak mau naik panggung gara-gara seperti itu, tapi karena kru panggungnya enak, bikin semangat, ya sudah, aku naik panggung. Nggak lucu enggak masalah yang penting penonton nggak bosan. Penonton sekarang memang manja-manja. Butuh diajak ngobrol.”
Titis kemudian bertanya, “Menurut Mas Alit, lucu itu ada genrenya nggak?”
Kali ini saya menyeruput teh. Sudah dua pisang goreng tandas, kerongkongan saya butuh dibasuh sebelum pisang goreng selanjutnya menyusul.
“Lucu itu nggak ada genrenya, semua sama. Hanya ada dua menurutku, lucu dan nggak lucu. Lucu itu ya berarti gerrr. Kalau nggak lucu itu ya lucu yang tertunda. Tapi entah kapan lucunya. Semua pelawak melalui proses (tidak lucu) ini. Saya juga, kalau nggak lucu mau apa? Pulang saja sana.”
Alit kemudian bercerita tentang kesehariannya kalau sedang tidak ada “panggilan”, media sosial yang sudah berubah, sampai bapak dan rekan-rekan sezamannya yang masih bersemangat mengadakan pentas ketoprak, ludruk, dan semacamnya. Tentu saja diselingi guyonan yang membuat kami sering menahan tawa. Kami sampai kasihan dengan Adi kalau nanti video yang bakal dia edit isinya hanya ketawa kami.
Membicarakan orang-orang tua yang masih menggelar pentas, Alit teringat obrolannya dengan Anang Batas, salah satu comic Jogja, ketika menonton ludruk Kirun di Bentara Budaya.
“Mas Anang Batas sempat berbicara dan aku tersindir juga, ‘Kita itu kurang mendalami proses ya. Orang tua saja masih mau berkarya, berproses seperti itu, sedang kita nggak.’ Aku jawab, ‘Iya ya, Mas, kita itu cuma bisa berangkat kalau ada bayarannya saja.’ Beda kan ya sama anak-anak stand up comedy yang bisa bikin pentas di mana-mana. Dan itu karya mereka. Kalau kami berkarya apa ya? Ini yang masih jadi pikiran. Atau masuk Golongan Karya?”
“Mumpung mau pemilu ya, Mas,” sahut Titis.
“Nggak enak ah ngomongin partai, kan ngobrol santai ini. Eh tapi aku juga dapet duit dari mereka, kalau pas jadi MC.”
Kami semua tertawa lepas. Apanya ya yang lepas?
[Penulis: Okti Fathony Purnama | Reporter: Okti, Titis Anggalih, Adi Surya Samodra]