MOJOK.CO – Bukti Meiliana mengeluhkan suara azan tidak pernah bisa dihadirkan Jaksa Penuntut Umum di persidangan. Ajaibnya hakim tetap bisa memvonis terdakwa bersalah hanya dari keterangan saksi.
Vonis 18 bulan penjara kepada terdakwa Meiliana akibat dianggap oleh pengadilan sebagai penista agama karena mengeluhkan volume suara azan masih menyisakan cerita. Setelah sebelumnya pengacara terdakwa, Ranto Sibarani memposting tulisan di akun media sosial pribadinya mengenai apa yang sebenarnya terjadi dengan kliennya.
Turunnya vonis hakim kepada Meiliana sebenarnya jadi preseden buruk bagi hukum di Indonesia. Sebab selama persidangan tak sekali pun Jaksa Penuntut Umum mampu menghadirkan bukti bahwa terdakwa pernah mengucapkan “keluhan” suara azan.
“Sejak awal Jaksa, Anggia Y. Kesuma dkk. tidak pernah membuktikan kebenaran dakwaannya. Mereka juga tidak dapat menghadirkan rekaman suara atau video yang bisa membuat terang tindak pidana yang dilakukan oleh Meiliana,” kata Sibarani.
Tentu saja sangat mengerikan bagaimana sebuah vonis diturunkan dari sebuah “bukti petunjuk” dari pengakuan saksi tanpa ada bukti yang bisa dihadirkan di persidangan. Ini jelas berbeda dengan kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang juga divonis karena kasus penistaan agama. Pada kasus Ahok ada sebuah video yang juga jadi alat bukti sehingga keputusan bisa didasarkan pada kalimat yang benar-benar muncul dari terdakwa pada kejadian.
Sedangkan pada kasus Meiliana, tak sekalipun ada “bukti yang sama” mengenai apa yang disampaikan oleh terdakwa. Sebab yang dijadikan dakwaan hanya berdasarkan pada “katanya” dan “katanya”. Apalagi saksi yang memberatkan pun tidak bisa membuktikan bahwa kalimat yang pernah didengarnya benar-benar seperti itu atau tidak.
Dari versi Meiliana, dirinya hanya mengatakan “Kak, sekarang suara masjid agak keras ya? Dulu tidak keras.” Sedangkan dari versi penuntut, terdakwa telah melarang azan karena bersumber pada masyarakat luas yang sudah menerima informasi bias dengan tambahan-tambahan yang tak pernah disebutkan oleh Meiliana sendiri.
Selama persidangan Jaksa hanya menyebutkan TOA dan amplifier sebagai bukti kejahatan terdakwa. Sebuah alat yang kalau pun mau dipaksakan sebagai bukti, jelas Meiliana tak pernah menyentuhnya sama sekali. Anehnya, kedua alat yang dianggap bukti kejahatan ini pun tidak pernah dibawa ke persidangan.
Kejanggalan berikutnya adalah dakwaan yang memberatkan terdakwa karena dianggap telah menghasut warga sampai kemudian terjadi pembakaran viahara dan kelenteng pada 29 Juli 2016, karena merasa terprovokasi “ucapan Meiliana”.
“Tidak ada rekaman atau video yang membuktikan kebenaran surat berisi pernyataan tersebut adalah sama yang dengan diucapkan oleh Meiliana,” kata Ranto lagi.
Pada poin ini, justru agama terdakwa dan Meiliana yang menjadi korban. Bahkan sampai rumah terdakwa harus mengalami kerusakan karena diserang oleh warga yang marah.
Ajaibnya, para pelaku perusakan tempat ibadah pada 2016 tahun yang dianggap sebagai reaksi kemarahan ucapan Meiliana dihukum begitu ringan. Dari keenam narapidana yang dihukum, semuanya hanya dihukum penjara dalam hitungan hari. Vonis hakim memang mematok hukuman 1 bulan, tapi karena semua dikurangi masa tahanan, pada praktiknya pelaku perusakan hanya dipenjara paling lama tiga pekan.
Padahal secara bukti dan saksi, keenam pelaku ini jelas-jelas melakukan perusakan tempat ibadah yang merupakan bagian dari pidana penodaan terhadap agama. Akan tetapi barangkali karena dikerjakan oleh ramai-ramai dan dari golongan mayoritas, tindakan itu dianggap bukan sebagai tindakan pelanggaran hukum yang berat. Hukum yang sedang-sedang saja, yang penting mereka bahagia~ (K/A)