MOJOK.CO – KPK menangkap 8 Pejabat Pengadilan Negeri Medan dalam OTT. Salah satu hakim yang ditangkap ternyata merupakan yang melakukan vonis penjara pada Meiliana dalam kasus penistaan agama.
Hukum di Indonesia kembali diingatkan untuk harus secepat mungkin segera berbenah banyak. Sepekan setelah Yang Mulia Hakim: Wahyu Prasetyo Wibowo memvonis terdakwa Meiliana mengenai kasus “keluhan volume suara masjid” lalu dianggap sebagai bagian dari penistaan agama, KPK menangkap hakim yang bersangkutan melakukan suap-menyuap melalui operasi tangkap tangan (OTT).
Wahyu yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Medan ini ditangkap oleh KPK bersama 7 rekan persengkokolannya. Artinya ada 8 orang yang tertangkap basah oleh KPK sedang melakukan transaksi.
“Dari 8 orang tersebut, ada yang menjabat sebagai hakim, panitera, dan pihak lain. Diduga telah terjadi transaksi terkait penanganan perkara tipikor di Medan,” kata Wakil Ketua KPK, Basaria Pandjaitan seperti diberitakan detik.com.
Hakim Wahyu adalah hakim yang memvonis perkara Meiliana pada pekan lalu dengan hukuman penjara 18 bulan atas kasus penistiaan agama. Kasus ini menjadi sorotan luas dari publik karena posisi Meiliana yang dipercaya justru sebagai korban “salah paham” orang yang mendengar keluhannya.
Apalagi sehari setelah vonis, pengacara Meiliana mengungkapkan ke publik melalui akun media sosialnya bahwa ada banyak kejanggalan pada proses persidangan. Seperti tidak adanya bukti sama sekali yang bisa dihadirkan di persidangan bahwa Meiliana telah melakukan tindak pidana penistaan agama.
Lebih bikin mengelus dada, keputusan hakim Wahyu hanya berdasar dari keterangan saksi. Artinya pengadilan dalam kasus Meiliana—bisa jadi—merupakan satu-satunya pengadilan di Indonesia yang memvonis terdakwa tanpa bukti yang pernah dihadirkan di persidangan—karena memang tidak ada buktinya.
Bagaimana bisa membuktikan omongan seseorang yang mengeluhkan suara azan? Padahal dalam proses itu suara Meiliana juga tidak direkam atau diaudiovisualkan. Apalagi apa yang dipercaya oleh hakim sebagai ucapan Meiliana, merupakan ucapan yang berbeda dari pengakuan terdakwa.
“Tidak ada saya menyebutkan ‘bilangkan sama Pak Makmur, kecilkan suara TOA di masjid karena telinga saya bising.’ Saya hanya bilang kepada Kak Uwo bahwa suara azan sekarang di masjid keras, tidak seperti biasanya,” kata Meiliana dalam pembelaannya.
Kalimat itulah yang menjadi isu brutal karena entah kenapa menjadi sangat berbeda. Dari apa yang diucapkan dengan apa yang disebarkan oleh masyarakat. Bahwa ada orang non-muslim yang koar-koar melarang azan sampai ke telinga warga sekitar. Gosip yang kemudian jadi kasus kerusuhan di Tanjung Balai pada 2016 silam.
Meski begitu Hakim Wahyu tertangkap basah oleh KPK bukan dalam proses hukum Meiliana, melainkan kasus lain yang diduga terkait dengan perkara korupsi yang “diminta” diadili di Pengadilan Tipikor Medan agar bisa dibebaskan. Beberapa bukti yang disita berupa uang suap dalam bentuk mata uang dolar Singapura.
Sampai saat ini KPK masih belum menentukan status Hakim Wahyu. Akan tetapi jika terjaring Operasi Tangkap Tangan KPK, biasanya seorang terduga akan menjadi tersangka. Dan apabila benar Hakim Wahyu tersangka, sudah benar bahwa Meiliana mengajukan banding atas putusan vonis dari seorang hakim penerima suap. (K/A)