MOJOK.CO – Saat kita dewasa, kita dihantam kenyataan menyakitkan: ternyata ada yang namanya orang tua jadi beban anak.
Banyak anak pertama yang mungkin pernah merasakan momen kaget. Kaget ketika di satu titik, mereka tahu masalah-masalah orang tua mereka, dan karena sudah tahu, mereka mau tidak mau, sengaja dilibatkan atau tidak, jadi harus membantu mengatasi masalah itu. Menyelesaikannya.
Bagaimana tidak kaget. Saya sendiri, hingga usia pertengahan 20-an, menganggap orang tua sebagai sosok manusia super yang tidak pernah punya masalah. Atau kalaupun punya masalah, saya selalu merasa mereka bisa mengatasinya. Saya senantiasa menyangka mereka pasti tahu jalan keluar dari problem apa pun yang mereka hadapi.
Belakangan, seiring usia saya bertambah saya jadi tahu kenyataannya. Orang tua saya tidak sekuat itu. Kadang mereka butuh bantuan. Dan orang terdekat mereka biasanya adalah anak-anak mereka yang sudah dewasa. Terutama sekali anak pertama.
Saya lumayan sering mendengar curhatan teman-teman, sebenarnya dari anak keberapa pun, namun paling banyak disuarakan sesama anak pertama, tentang betapa stres mereka yang menyembul saban malam kerap karena ulah orang tua. Biasanya yang paling pelik adalah masalah keuangan, lebih khusus lagi perkara terlilit utang.
Saya sangat bersyukur orang tua saya tipikal pasangan sederhana, cenderung pelit bahkan, yang masih mandiri secara finansial. Mereka masih kuat cari makan sendiri, masih sanggup merenovasi rumah, juga tak harus terseok-seok kalau sekadar mengadakan pesta pernikahan anak. Saya dengar-dengar, mereka juga sudah mempersiapkan warisan tanah dan rumah untuk anak-anak. Itu membuat saya berterima kasih sekali, masih diberi privilese dapat warisan yang kini makin sulit didapat anak-anak seumuran saya.
Masalah yang membuat saya kadang resah cenderung perkara kecil memang, tapi tetap saja mengganggu pikiran. Misalnya, sejak setahun lalu di tangan bapak saya muncul benjolan. Semua anak sudah memintanya periksa ke dokter. Ia memang melakukannya, sampai dokter menyarankan untuk biopsi.
Biopsi adalah tindakan mengambil sedikit daging tumbuh yang muncul secara abnormal. Daging itu kemudian diteliti di lab untuk ditentukan apakah merupakan jaringan kanker.
Bapak saya mandek sampai di situ. Ia tidak mau dibiopsi, tapi di sisi lain kerap mengaduh bahwa tangan yang ada benjolannya itu kadang terasa pegal. Saya sendiri waswas karena trauma mengingat almarhum seorang teman. Sebelum ketahuan terkena kanker paru-paru, di punggungnya muncul benjolan, tapi ia benci dokter dan karena itu memilih pengobatan alternatif. Ketika kondisinya makin payah, teman-teman memaksa membawanya ke rumah sakit. Ternyata benjolan itu akibat kanker paru-paru yang diam-diam ia idap. Sayang sekali, karena sudah sangat lama didiamkan, kanker itu ditemukan sudah di tahap stadium IV.
Saya sangat berharap benjolan di tangan Bapak cuma tumor biasa, seperti yang pernah saya sendiri alami. Dan kini, tiap ada kesempatan, kami anak-anaknya masih merayu Bapak untuk tak takut dioperasi benjolannya itu.
Begitulah. Soal kesehatan, mendadak orang tua saya jadi seperti balita. Takut ke dokter.
Ada teman yang pernah curhat, ia juga anak pertama. Ia pusing bukan kepalang karena baru sadar bahwa ibunya kekanak-kanakan.
Padahal selama ini ia mengenal ibunya sebagai sosok mandiri, bahkan keras kepada anak-anaknya. Satu masalah keluarga membuat si ibu jadi mulai berani curhat kepada teman saya. Dari sana terungkap, ibunya tipikal orang yang mudah baper, gampang ngambek, dan kerap membuat keputusan secara emosional. Sifat itu membuat si ibu belakangan sering bertengkar dengan adik-adik teman saya. Teman saya jadi dilema. Mau menasihati, merasa tak sopan. Mau mendiamkan, kasihan pada adik.
Ia tak tahu harus berbuat apa.
Kasus lain kadang soal hubungan orang tua yang mendingin setelah anak-anak keluar rumah. Umumnya karena bapak sibuk di luar, sementara ibu tiba-tiba dihajar kesepian. Selama ini sibuk jadi rumah tangga, kini tak ada lagi yang perlu diurus. Keduanya jadi mulai sering bertengkar. Salah satu cerita paling parah, bapak teman saya cari pelarian ke perempuan lain. Di usia harusnya sedang bersantai menemani cucu bermain, orang tua teman saya malah terancam bercerai.
Namun, sejauh yang saya tahu, kasus terpelik selalu mengenai keuangan. Karena capainya bukan cuma perasaan, tapi juga fisik.
Seorang teman bercerita, suatu ketika ayahnya mengadu bahwa ia baru saja salah berinvestasi. Ditipu, yang akibatnya bukan untung, malah jadi berutang dalam jumlah besar. Satu-satunya rumah akan disita bank jika utang itu tidak dilunasi.
Ia jelas pusing sekali. Ayahnya sudah pensiun. Tak punya pemasukan untuk membayar. Ibunya sejak dulu tak bekerja, jadi ibu rumah tangga. Tak bisa pula ia mengandalkan dua adiknya, sebab yang tua justru masih menggelendot pada orang tua padahal sudah menikah. Sementara yang kecil masih sekolah.
Ia sendiri sebenarnya berpenghasilan lumayan, tapi kondisinya sudah menikah. Ada anak kandung yang perlu dipikirkan masa depannya juga.
Teman saya tak punya pilihan. Ia terpaksa melego harta untuk menutup utang itu. Suaminya marah, tapi juga tak bisa berbuat apa-apa. Di matanya, masa depan terasa sangat suram. Sedihnya, ia tak diizinkan untuk mengeluh apalagi menyerah.
Karena kejadian itu, ia bilang kepada saya untuk mengawasi orang tua saya. Ia berteori, orang tua yang baru pensiun punya kecenderungan ingin memulai investasi, dan biasanya niat itu cuma bermodal dengar-dengar cerita orang. Mudah ditipu.
Kisah-kisah orang tua jadi beban, ditambah pengalaman sendiri, adalah realitas baru buat saya. Kadang saya merenung di malam hari, mengeluh sendirian tentang betapa sulit menjadi orang dewasa. Dulu waktu SD saya ingin segera SMA biar dibolehkan pacaran, sekarang saya ingin balik lagi ke SD dan merasakan bahagia sesederhana membaca majalah Bobo.
Bagaimanapun, yang terjadi sudah terjadi. Yang bisa dilakukan hanya menghadapinya. Entah apa banyak yang merasakannya, tapi jadi anak pertama artinya mustahil bisa masa bodoh pada problem keluarga.
Adalah hal yang meringankan ketika masalah-masalah keluarga bisa diobrolkan dengan orang tua. Saya bersyukur itu bisa terjadi. Pun adik-adik saya sudah bekerja semua, mandiri, serta cukup waras untuk diajak bicara. Kami kerap ngobrol langsung maupun lewat grup WhatsApp jika ada masalah. Masalah itu kemudian dibagi untuk dipecahkan bersama. Ada yang sudah bisa diselesaikan, ada yang masih dipecahkan. Tapi paling tidak orang-orang di sini jadi tak merasa sendirian.
Yang bikin saya prihatin, tak semua teman sesama anak pertama punya keleluasaan itu. Ada yang tipenya tidak bisa bilang “tidak” ke orang tua. Ada yang gengsian, kadung mempercayai dirinya harus tampil sebagai anak pertama yang kuat dan selalu bisa jadi jujukan. Ada juga yang komunikasi antarkeluarganya kacau sehingga dia mau ngomong apa pun, semua orang selalu bergerak sendiri-sendiri dan memperparah kondisi.
“Kalau aku,” kata saya kepada teman yang semalam curhat bagaimana orang tua jadi beban, “di masalah kayak gitu biasanya negur orang tuaku.” “Karena bisa jadi mereka nggak sadar apa yang mereka lakukan salah.”
“Ora mungkin aku iso!” sergahnya. Orang tuanya bukan tipe yang mau-mau saja ditegur anaknya. Saya jadi overthinking, jangan-jangan orang tua saya pernah tidak terima saat saya tegur? Hahaha.
Curhatan semalam berlalu tanpa solusi. Katanya, tak apa sih, ia cuma ingin cerita. Saya jadi merenung lagi. Ah, sungguh misteri kehidupan…. Ternyata ada ya masalah-masalah seperti ini. Kenapa dulu tidak ada orang yang bilang? Rasanya pun semua buku yang saya baca nihil bicara hal beginian.
Entah apa lagi nanti, hal mengejutkan yang harus dihadapi. Ketika fase hidup kita sendiri naik jadi orang tua, punya anak, mulai sakit-sakitan, teman-teman meninggal, dicap ketinggalan jaman, dan… dianggap beban oleh anak sendiri.
Mungkin dari sekarang saya harus menyiapkan mental dari yang remeh-remeh dulu. Misal bila kelak ditegur anak muda, “O.K. Milenial!”
BACA JUGA Membuat Orang Tua Bersedih Tidaklah Seburuk Itu dan esai-esai Prima Sulistya lainnya.