MOJOK.CO – UMR Jogja sudah terlalu sering dikeluhkan. Sudah saatnya diskusi beranjak dari mengeluh ke rekomendasi. Kira-kira besaran UMR Jogja harus berapa agar bisa hidup layak?
Sudah bertahun-tahun D.I. Yogyakarta jadi provinsi dengan UMR terendah se-Indonesia, tapi debat UMR Jogja selalu begitu-gitu saja. Begitu-begitu saja dalam arti, protes atas angkanya yang tidak manusiawi selalu ditekel dengan cara tak asyik. Biasanya kaum pro-UMR rendah akan bilang, UMR sekarang masih masuk akal karena harga makanan di Jogja murah. Toh bawa uang Rp7 ribu ke warung masih bisa kenyang. Bermodal harga makanan semata, mereka lalu bikin kesimpulan ekstrem: kalau tidak mau hidup tak neko-neko, uang Rp1.765.000 jelas masih cukup.
Hal yang bikin debat ini makin tidak asyik, meski sudah 2021, ternyata masih ada saja orang yang mainnya kurang jauh. Mereka pro-UMR rendah, tapi tak sanggup berdebat. Akhirnya senjata andalan mereka selalu saran diskriminatif yang Anda pasti pernah mendengarnya: siapa saja yang nggak suka sama UMR di sini, silakan angkat kaki dari Jogja. Yeee, nggak bisa mendebat malah ngambek. Belum pernah baca UUD 1945 Pasal 28E ayat 1 apa gimana?
Entah kenapa debat ini sulit diakhiri. Padahal yang berdebat sama-sama kelas pekerja. Indah rasanya jika kelak, kalau bisa tahun ini deh, semua orang bersepakat UMR Jogja memang perlu dinaikkan. Menurut aliansi buruh di Jogja pada 2020, UMR kota ini baru bisa disebut layak jika kisarannya di angka Rp2,5-2,7 juta. Sedangkan untuk 2021, survei Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY menyebut upah di Jogja harus di atas Rp3 juta baru bisa hidup layak.
Kata orang Barat, setannya ada di rincian. Eh, ternyata nggak enak ya diterjemahin. Maksudnya the devil is in the detail. Yang artinya, kepercayaan yang kokoh bisa langsung runtuh ketika satu detail saja salah.
Berbekal pepatah itu, tampaknya sudah datang waktu untuk menengahi debat UMR Jogja cukup atau tidak cukup dengan bikin perincian langsung. Gimana sih simulasi hidup pakai UMR Jogja itu? Apakah hasilnya akan membuat kita serta-merta bersyukur atas kehidupan ini? Atau justru bikin kita ingin segera menghafalkan doa tidak mudah lapar?
Mari kita coba.
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja 1/1999 Pasal 1, upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Dalam upah minimum, ada yang namanya upah minimum regional (UMR). UMR adalah upah minimum yang berlaku di satu provinsi atau satu kabupaten/kota.
Secara sederhana, upah minimum dibagi menjadi dua. Pertama upah minimum regional tingkat I (UMR Tk. I), yang juga dikenal sebagai upah minimum provinsi (UMP). Kedua, upah minimum regional tingkat II (UMR Tk. II) atau juga dikenal sebagai upah minimum kabupaten/kota (UMK). UMP adalah batas bawah upah pekerja di satu provinsi. Nantinya, kabupaten harus menetapkan UMK yang besarnya di atas UMP.
UMP Provinsi DIY pada 2021 sebesar Rp1.765.000. Di lima kabupaten dan kota, UMK masing-masing ialah: Rp2.069.530 (Kota Jogja), Rp1.903.500 (Sleman), Rp1.805.000 (Kulonprogo), Rp1.770.000 (Gunungkidul), dan Rp1.842.460 (Bantul).
Kini, mari simulasikan biaya hidup layak di Sleman, kabupaten yang paling makmur di DIY karena pekerja rantau tumpah ruah di sini.
Permenakertrans 13/2012 mendaftar komponen hidup layak (KHL) yang jadi dasar penentuan UMR. KHL ini dikelompokkan dalam 7 kategori besar, yakni (1) makanan dan minuman; (2) sandang; (3) perumahan; (4) pendidikan; (5) kesehatan; (6) transportasi; dan (7) rekreasi dan tabungan.
KHL tersebut akan saya simulasikan dalam hidup saya sendiri berdasarkan lingkungan sekitar. Puji syukur ke hadirat Tuhan, gaji saya memang di atas UMR, tapi ini ceritanya saya lagi pura-pura bergaji setara UMK Sleman, yakni Rp1,9 juta.
Komponen penghitung UMR Jogja #1 Makanan dan minuman
Sarapan termurah yang bisa bikin kenyang adalah soto sebelah Puskesmas Ngaglik I. Harganya Rp7.000 tanpa minum, gorengan, kerupuk, apalagi sate telur. Jika standar kenyang diturunkan, sarapan nasi kuning packing mika di bakul jajanan pasar bisa didapat dengan harga Rp4-5 ribu. Kalau mau nasi rames, Warung Nasi Ngebel menjual paket nasi rames sudah sama sop dan telur bulet balado Rp10 ribu. Jika lauknya hanya tempe, harganya lebih murah, yakni Rp7 ribu.
Sarapan murah mudah didapat, tapi makan siang lumayan challenging. Karena iso edan dewe nek mangan soto meneh, saya biasanya melahap nasi ayam geprek di Ayam Geprek Eskom Jakal Km 13 seharga Rp10 ribu. Jika ingin ngirit, lauk ayam diganti tahu tempe/terong/jamur, harganya Rp7 ribu. Di sini nasinya banyak jadi dijamin kenyang. Tapi kalau ngotot mau makan ayam, nasi sayap Olive Chicken bisa ditebus dengan Rp7 ribu. Cuma nasi Olive ini sedikit, saya sendiri selalu kurang kalau cuma makan satu. Tambah nasi, harganya jadi Rp9 ribu.
Makan malamlah yang mengundang tantangan terbesar. Di Jogja, nyari makanan bersayur itu susah, pilihannya kalo nggak warung ramesan, lotek, ya paling warung Rata-rata. Tapi yang lebih susah menurut saya adalah cari makanan murah di malam hari.
Memang ada warung mi ayam di Jakal yang seporsi cuma Rp7 ribu. Ning mosok mangan mi ayam saben wengi, Ndes. Apalagi kalau malam, warung ramesan sudah tutup. Yang tersedia kebanyakan hanya warung pecel lele dengan harga Rp10-15 ribu. Makan malam adalah waktu makan yang paling banyak ngabisin duit, buat saya sih.
Jika diambil harga terbawah, untuk sarapan Rp7 ribu, makan siang Rp7 ribu, dan makan malam Rp10 ribu, dalam sehari untuk makan perlu uang Rp24 ribu. Total ini bisa direduksi jadi Rp17 ribu karena banyak juga teman saya yang sehari cukup makan dua kali. Maka, mari ambil tengahnya, (25 ribu + 17 ribu) : 2 = 21 ribu.
Untuk minuman, segelas thai tea paling murah Rp8 ribu. Masih ada alternatif lain yakni es teh angkringan Rp2.000-2.500. Tapi mending dua minuman ini masuk komponen piknik. Untuk minuman sehari-hari saya coba untuk cukup air putih galon RO, harganya Rp7.000 bisa buat seminggu.
Jumlah pengeluaran makan dan minum sebulan: (21 ribu x 30) + (7 ribu x 4) = 658.000
Komponen penghitung UMR Jogja #2 Sandang
Kaus bisa dibeli setahun dua kali, tujuannya untuk antisipasi baju lama yang semakin rombeng karena keseringan dicuci. Harga kaus mulai dari Rp70-100 ribu. Celana jeans beli di Sunmor UGM masih bisa 100 ribu dapat 1. Jilbab pun demikian, cari harga Rp20-30 ribu masih ada.
Saya sendiri paling boros di celana dalam dan bra. Karena sering dipakai, dua barang ini gampang rusak. Keduanya juga cenderung mahal karena soal kenyamanan pakaian dalam nggak bisa asal pilih. Pakai kaus partai masih oke, tapi kalau BH murah 50 ribuan yang nggak elastis dan bahannya gerah, jelas mengganggu gerak-gerik keseharian.
Estimasi saya, dalam setahun butuh beli kaus dua (200 ribu), jeans satu (100 ribu), BH dua (200 ribu), dan celana dalam empat (100 ribu). Pengeluaran bulanan: 600 ribu/12 = 50 ribu.
Komponen penghitung UMR Jogja #3 Perumahan
Lebih banyak teman di sekitar saya yang pendatang alias tak punya rumah sendiri, ketimbang yang bisa nebeng di rumah orang tua maupun mampu membeli hunian. Setahu saya, rata-rata kos di Jakal sekitar 500 ribu-1 juta. Mungkin yang 300-400 masih ada, tapi kan rumahku istanaku. Kalau kediaman sendiri rombengnya kebangetan, rasanya kok urip ngene men. Ngono yo ngono ning ojo ngono, gitu. Nggak tega sama diri sendiri.
Katakanlah kos 500 ribu per bulan, sudah sama listrik.
Masuk dalam komponen perumahan adalah biaya rumah tangga. Yang esensial tentu seperti sabun, sikat gigi, odol, sampo, dan deterjen. Tapi biar tidak makin nelangsa, sudah miskin buluk pula, perlu juga lah dibeli deodoran, minyak rambut, dan pelembap. Pasang angka kejam, katakan semua itu menghabiskan Rp75 ribu sebulan.
Total semuanya dalam sebulan: 500 ribu + 75 ribu = 575 ribu.
Komponen penghitung UMR Jogja #4 Pendidikan
Perhitungan ini konteksnya untuk pekerja, dan pekerja biasanya belajar dari internet atau beli buku. Jadi di sini biaya SPP akan dialihkan jadi biaya beli kuota dan/atau buku. Apalagi KHL dalam permenakertrans juga tidak menghitung kuota internet, yang mewadahi fungsi komunikasi, pendidikan, hiburan, dan gelut. Jadi valid sudah jika komponen kuota kita hitung.
Jika hanya untuk browsing, mainan medsos, dan wasapan, sebulan saya menghabiskan kuota 8 GB. Harganya, di paketan XL, Rp70 ribu. Anggaplah segitu cukup meski kalau dipakai nonton Netflix, jelas akan kurang. Netflix tidak dihitung di sini biar ndak dinyinyiri wong-wong, udah kere, macak nonton Netflix mbarang.
Lalu buku, makanan untuk pikiran. Sengirit-ngiritnya, paling tidak setahun beli dua buah. Biar nggak bodoh-bodoh banget dan agar bisa meningkatkan karier, harapannya begitu. Harga buku sekarang di kisaran Rp60-70 ribu. Ambil batas bawahnya, dua eksemplar jadi Rp120 ribu.
Buku dan kuota setahun: {(12 x 70 ribu) + (2 x 60 ribu)} : 12 = 80 ribu/bulan.
Komponen penghitung UMR Jogja #5 Kesehatan
Iuran BPJS Kesehatan kelas III: Rp35.000/bulan. Lalu anggap saja ditambah biaya beli obat maag, sakit kepala, paracetamol, atau obat antinyeri haid 10 ribu/bulan. Total: 45.000 per bulan.
Komponen penghitung UMR Jogja #6 Transportasi
Jika sering wara-wiri di Jogja, jelas sangat berat apabila tak punya motor sendiri. Normalnya orang akan punya motor, yang dalam perhitungan ini diandaikan sebagai motor pemberian orang tua. Soalnya kalau mau masukin motor kredit, saya yang ngitung bisa stres sendiri.
Sehari-hari saya cuma pergi-pulang dari rumah di Jakal Km 9 ke kantor di Jakal Km 13. Lainnya, motor dipakai sekadar beli maem atau printilan sehari-hari. Rutinitas itu membuat bensin 20 ribu masih cukup untuk seminggu.
Tapi setiap enam bulan sekali motor harus diservis ringan, sekitar 100 ribu per servis. Lalu bayar perpanjangan STNK, tahun lalu saya kena Rp355.500 untuk Supra X 125 keluaran 2009.
Total sebulan: {(20 ribu x 4 x 12) + (100 ribu x 2) + 355.500} / 12 = Rp126.291.
Bulatkan jadi 130 ribu buat tambah-tambah parkir.
Komponen penghitung UMR Jogja #7 Rekreasi dan tabungan
Di Jogja, rekreasi bisa ke Malioboro. Andaikanlah pelesir ke Malioboro itu cukup sebulan sekali dan tanpa jajan, maka cukup keluar ongkos parkir Rp3 ribu-5 ribu. Tapi buat cah kerjo, lebih pas bila disebut, yang namanya rekreasinya kalau nggak ke warung kopi ya mudik.
Ke warung kopi hari ini, minimal-minimal harus sedia uang 20 ribu. Itu tidak pakai makan berat. Sedangkan mudik, bus Efisiensi rute Jogja-Purwokerto 80 ribu—dibulatkan jadi 100 ribu karena harus ngojek ke pool. Atau, yah… tetep 80 ribu deh karena saya sangat pelit sehingga untuk ke pool bus, ceritanya saya milih nodong diantar teman.
Idealnya, setahun mudik dua kali biar tidak dibilang melupakan orang tua. Sedangkan ngopi, sebut saja cuma sebulan sekali, pas hari gajian.
Total setahun: {(20 ribu x 12) + (80 ribu x 2)} : 12 = Rp33.333, dibulatkan jadi 35 ribu buat nambah-nambah parkir.
Dengan gaya hidup seperti itu, yakni ngopi sebulan sekali, mudik setahun dua kali, jalan-jalan cuma pergi-pulang kantor, sakit paling banter maag atau sakit kepala, tidak nonton Netflix, nggak pernah ke bioskop, tidak pernah ngimpi ke Sushi Tei, bahkan juga tak boleh makan sate klathak yang mahal itu, batik buat kondangan mengandalkan dikasih yang punya gawe, maka total pengeluaran sebulan di Jogja adalah:
658 ribu + 50 ribu + 570 ribu + 80 ribu + 45 ribu + 130 ribu + 35 ribu = Rp1.573.000
Tapi masih ada satu komponen lagi, yakni tabungan. Menurut permenakertrans, besar tabungan adalah 2 persen dari semua pengeluaran di atas. Jadi besar tabungan kita ialah:
2% x Rp1.573.000 = Rp31.460, dibulatkan jadi 35 ribu
Dengan demikian total biaya bulanan sebesar:
Rp1.573.000 + Rp35.000 = 1.608.000
Sisa gaji berdasarkan UMK Sleman: Rp1.903.500 – Rp1.528.000 = Rp375.500
Memakai standar upah Sleman, Rp1.903.500, dengan biaya di atas kita masih punya sisa uang Rp295.500.
Akhirnya, dengan perhitungan matematis yang matang, cermat, dan pelit, ternyata kubu pro-UMR Jogja pemenangnya. Fix sudah, rupanya UMR Jogja masih bisa dipakai untuk hidup sehari-hari, bahkan ada sisanya.
Tapi tentu saja ada catatan: pengeluarannya harus presisi. Artinya, tidak boleh nge-GoFood, tidak boleh isi pulsa, nggak boleh pesan kopi specialty, dilarang karaokean, jangan pernah ikut donasi Kitabisa, tidak pernah ganti hape, ra sah rabi, ora entuk tuku parfum, kudu ngumbah klambi dewe, laptopmu nek rusak guwak wae, ra oleh loro untu, gelasmu nek rusak ra sah tuku meneh, edan po meh tuku air fryer, ra oleh nyumbang kondangan, nek ngelayat cukup menyumbang tenaga, ra sah mbayar jimpitan, lampumu nek mati jarke wae etok-etok romantis, Sanyomu nek rusak jal dinengke sopo reti urip dewe, nek helme ajur monggo diganti mejikom, dan ra sah ngimpi mangkatke mbokmu umroh.
Menurut saya sih, angka yang direkomendasikan serikat buruh sekitar Rp2,5-2,7 juta itu jauh lebih realistis. Paling tidak uang segitu bisa menyelamatkan gizi pekerja Jogja. Biar sekali-kali bisa makan daging lah. Namun yang terutama paling penting, jika hidupnya prihatin seperti di atas, sisanya masih lumayan untuk ditabung demi memupuk mimpi bisa punya rumah sendiri. Lha, angka di atas tadi tabungannya sebulan 35 ribu thok. Itu kalau dimasukkan ke ATM setor tunai bukan cuma nggak bisa (ATM setor tunai hanya menerima pecahan terkecil Rp50 ribu), bahkan bonus diketawai ATM-nya.
Tapi namanya pendapat, mungkin perhitungan seperti ini tetap tak bisa melembutkan hati orang-orang yang ngeyel UMR Jogja tak perlu naik. Kepada mereka, saya persilakan: jika ingin hidup nelangsa seperti itu, monggo kowe wae. Nek aku wegah.
Semoga tulisan ini tidak dikomentari orang yang bawa-bawa matematika Tuhan. Habis, biasanya yang ngomong gitu orangnya udah punya tanah warisan.
BACA JUGA Dengan UMR Jogja Kita juga Bisa Hidup Foya-foya dan esai-esai Prima Sulistya lainnya.