Pengguna internet veteran pasti tahu, akun alter bukan barang baru di dunia korespondensi.
Jika sekarang kita punya diksi “akun alter”, yang diambil dari kata alternatif, untuk menyebutnya, dulu konsep ini dikenal dengan nama lain. Gampangnya, ini adalah akun samaran, atau dalam istilah era cetak: nama pena. Si pemilik biasanya menyembunyikan nama asli, nama lengkap, foto diri, hingga jenis kelamin.
Seberapa banyak data pribadi disembunyikan, ada derajat-derajatnya. Alasannya memakai identitas samaran pun beragam. Bisa untuk melindungi kehidupan personal dari popularitas, menjaga keamanan diri, atau penasaran punya jati diri baru.
Siapa saja pesohor dengan identitas samaran? Sastra Indonesia punya Ki Panji Kusmin. Musik dunia punya Daft Punk, walau kini mereka tak lagi misterius. Kancah perlawanan Inggris punya Guy Fawkes yang menginspirasi kelompok hacker Anonymous. Juga tak sedikit buzzer ahli doxing di media sosial yang dikenal cuma dengan nama panggung. Lalu masih ada pembunuh berantai Zodiac, Jack the Ripper, seniman grafiti Banksy. Kalau dicari-cari, pasti masih ada banyak.
Intinya, dunia kejahatan, panggung musik, jagat sastra, ruang virtual seperti milis, blog, website, dan sekarang media sosial, semua punya koleksi tak terhitung para persona yang tak mau membuka diri.
Tapi di media sosial hari ini, akun alter menjadi tren, bukan lagi preferensi personal. Dan ia kini justru dipakai untuk membuka diri. Lebih ekspresif pada kemungkinan, peluang, dan gagasan yang tak bisa dengan nyaman mereka tunjukkan sembari menampilkan identitas asli.
Akun alter di media sosial, terutama Twitter, adalah gejala yang makin massal di kalangan Gen Z (kelahiran 1997-2012). Pertanyaannya: mengapa mereka membutuhkannya?
Selamat datang di alterland.
***
Bambang*, 20 tahun dan tinggal di Jogja, mulai memakai akun alter di Twitter sejak 2016 karena bosan dengan kehidupannya di real life. Saat itu ia duduk di kelas X SMA. Ia memakai akun alter untuk mendapat lingkungan baru.
“Aku bikin akun alter tahun 2016, pas awal aku main Twitter. Aku bukan orang yang gampang akrab kalau di real life, susah akrab sama orang baru kalau ketemu langsung. Aku juga nggak sreg sama lingkunganku saat itu. Ya terus aku lari ke alter. Pengin cari lingkungan baru lah intinya,” kata Bambang kepada Mojok lewat pesan di Twitter. “Nggak ada (teman di real life) yang tahu (akun alter Bambang) karena ini kayak kehidupan yang lain.”
Situasi penuh kerahasiaan itu memang ia jaga betul. “Baru-baru ini malah, tiba-tiba ada temen real life aku yang follow akun ini. Panik, langsung aku block, ganti username sama ganti foto profil, terus deactive akun.”
Karena tak bisa berjejaring dengan teman “lama”, ia harus mencari tempat untuk mendapat kawan baru. Jadi hal pertama yang Bambang lakukan adalah mengikuti akun base.
Base di Twitter mungkin bisa dijelaskan seperti ini: ialah akun Twitter tempat sekelompok orang yang tak saling kenal berkumpul di bawah tema tertentu, baik mereka yang pakai identitas asli maupun palsu. Salah satu genre base yang populer di Twitter adalah akun menfess, akronim mention confess, tempat orang bisa curhat atau nanya-nanya tanpa harus membuka jati dirinya.
Base awal yang diikuti Bambang khusus tempat kumpul akun alter. Di sana, ia rajin membalas twit yang dipos. Twit-twit kiriman pengikut di sini blak-blakan menyatakan mereka ingin cari teman. Dari saling reply, mereka bisa lanjut ngobrol di DM pribadi dan kemudian saling mengikuti.
“Kalau cuma cari teman, bukannya nggak perlu nutupin identitas ya?” tanya Mojok.
Soal ini, Bambang punya penjelasannya. Kita harus kembali ke masalah utama, yakni ia tak nyaman dengan lingkungan real life-nya—biasa disingkat sebagai “rl”. Sebagai dunia alternatif, Bambang perlu menciptakan lingkungan baru yang bersih sama sekali dari “kontaminasi” orang-orang yang mengenalnya di rl. Emang jadinya masuk akal kenapa ia perlu anonim total.
“Nggak asyik jadinya kalau buka identitas. Jadi banyak yang tahu, apalagi bisa aja ada yang kenal di rl,” kata Bambang.
Di kancah alter-alteran, Yayat*, 19 tahun, lebih junior. Ia baru bergabung di semesta alter Twitter sejak Januari 2020 alias baru setahun. Namun, ia sama protektifnya dengan Bambang perihal kerahasiaan akunnya dari teman-teman di dunia nyata. Kerahasiaan ini dikenal jamaah alter sebagai discreet.
“(Temen-temen di rl) nggak (tahu),” cerita Yayat, “Bukan urusan mereka. Ada beberapa hal yang orang lain nggak perlu tahu dari kita.”
“Mmm, gini deh. Mungkin kalimatku itu terkesan, ‘Lah, berarti kamu pikir alter jelek dong? Kalau nggak kan kamu harusnya kasih tahu temen kamu.’ Sebenernya bukan gitu, cuman ya sebatas, ‘Ya udah, emang kenapa kamu harus tau.’ Gitu aja.”
Kata Yayat sih, dia bukan nggak nyaman sama teman rl-nya. Lewat akun alter, ia sekadar mencari teman mengobrol baru dengan sudut pandang berbeda yang sekiranya tak bisa ia temukan di lingkaran rl-nya.
Untuk mencari teman, Yayat memakai cara yang persis sama dengan Bambang: pertama-tama follow base dulu. Bedanya, Yayat bergabung di base idol (artis favorit). Di sana, ia kerap nimbrung di obrolan orang asing, atau dalam bahasa mereka, “jbjb” alias join bareng. Jbjb juga bisa dilakukan di lapak yang sudah tergelar di akun alter lain. Dari sana, jika tertarik dengan opini akun lain maupun sebaliknya, mereka akan mulai berteman dengan cara saling follow. Yah, sampai sini praktiknya persis kayak kebiasaan di medsos aja sih, bedanya Yayat dan Bambang memakai akun samaran.
Selain mencari teman, akun alter dipakai Yayat untuk bermacam hal lain: bicara hal-hal sepele, mengeluh, mengekspresikan kekaguman pada idol, juga memantau atau bahkan berpartisipasi dalam perang argumen dengan sesama fans.
“Akunku selain alter juga setengah fan account. Selain buat mencari temen baru ya aku nge-hype idol juga kalau rame. Tapi aku jarang ikut war (antar-fans artis) walau aku suka kalau ada war. Seru aja,” terang Yayat.
Ia masih lanjut bercerita. “Sebenernya akun alterku sama akunku yang lain [akun dengan identitas asli], posisinya sama. Bedanya, akun yang ini [alter] identitasku kan nggak kelihatan. Jadi aku bilangnya nggak sampai nyaman banget, biasa aja. Sama kayak aku pakai akun yang lain. (Aku tetep pakai akun alter) karena yang aku cari lewat akun alter adalah teman dari sudut pandang lain dan nge-hype idol. Aku ngerasa ngedapetin apa yang aku cari di akun (alter) ini.”
Mencari sudut pandang lain adalah kesamaan yang kesekian antara Bambang dan Yayat. Dengan menggunakan akun alter, Bambang jadi tahu sebenarnya dunia rl dan dunia maya mirip-mirip saja. Keduanya sama-sama diisi orang-orang yang bikin geng sendiri dan eksklusif dengan gaya hidup berada. Alhasil, ia tak sepenuhnya nyaman di sini, hal yang ia rasakan pada rl-nya.
“Kalau dibilang nyaman (di dunia alter) juga nggak. Kehidupanku jauh lebih buruk dari mereka-mereka (sesama akun alter) dan aku nggak enjoy,” kata Bambang.
“(Sejak pakai akun alter) makin kebuka aja kesenjangan sosial. Dan yang di atas tiap hari cuma bikin down. Gini contohnya, ada orang yang hapenya iPhone, tiap hari haha-hihi, maen, nongki-nongki di kafe. Nah, (orang kayak gini) twitnya caper banget.
“Di sisi lain ada yang harus kerja ini-itu, banting tulang, intinya kerja keras. Pengin (ini-itu) tapi nggak kesampaian. Jadi kamu ngerasa di rl sama di alter sama aja, malah lebih kerasa kesenjangan sosial di alter gitu.”
Menurut Bambang, ada geng akun alter yang kerap nongkrong bersama secara fisik dan selalu memamerkan kumpulan mereka. “Ya pansos, nyari follower, kan gila atensi juga. Aku ada cerita: jadi ada orang yang sok-sokan pake iPhone dll., itu ternyata cuma pinjem, mana ngutang banyak lagi. Dia suka pamer lah intinya, tapi ternyata tu barang-barang pinjem dan kalau hangout itu bayarnya pakai duit ngutang. Itu dulu mutualan aku, tapi aku aja udah di-unfoll.”
Ini jenis lingkaran, populer dengan istilah circle, yang tak bisa Bambang tembus sekalipun dengan akun alter. “Ini agak menyakitkan. Jadi aku tu nggak dimasukin circle gegara aku kentang dan aku miskin.” Kentang di sini merujuk pada ‘jelek’, ‘nggak keren’.
“Gimana mereka tahu kamu miskin dan kentang? Kan ini akun samaran?” tanya Mojok.
“:Jadi kalau di Twitter itu kan setiap ngetwit di bawahnya ada tulisan ‘Twitter from Android’ atau iPhone. Nah, aku tu ‘Twitter from Android’. Sama ini, mereka kan kalau hangout gitu di kafe yang mahal-mahal gitu, nah aku nggak pernah twit lokasi kalau aku nongki di kafe.”
Wah, wah, wah. Sekalipun identitasnya samaran, tetep keras ya pertarungan gengsinya 🙁
***
Sisi lain akun alter adalah cinta dan seksualitas. Di semesta Twitter, (((pegiat))) akun alter seperti Bambang dan Yayat bisa leluasa mengakses pornografi. Baik akun video porno maupun akun rated—akun alter yang memang mengumbar seksualitas.
Kata Bambang, situasi ini membuatnya bisa memahami mengapa ada warganet yang menanggap akun alter identik dengan motif pornografi. Entah itu buat ekshibisionisme, maupun mengakses tontonan mesum. “Sejatinya emang banyak orang yang pakai alter buat nyari begituan (pornografi) biar nggak seperti Bang (menyebut nama salah politikus) kemarin yang salah like pakai akun pribadinya,” kata Bambang.
Tapi, menurutnya, seksualitas bukan the one and only tujuan sebagian besar akun alter. Ia sendiri memakai akun alter untuk banyak fungsi. Dari memantau kabar viral, mengikuti perkembangan dunia anak muda, sampai mencari pacar. “Intinya kalau pemahaman tentang alter itu selangkangan doang, kamu tu kurang dalem (pemahamannya).”
Bambang yang veteran alter sudah empat kali mendapat pacar lewat jalur anonim ini. Hubungan pertama bertahan 1 tahun, yang kedua 10 bulan, yang ketiga 1 bulan, dan yang terakhir masih langgeng. Sedangkan Yayat, ia baru satu kali dapat pacar selama jadi alter. Santai, Yan, bukan prestasi yang buruklah untuk orang yang baru setahun join.
Boomer jelas bisa bingung setengah mati, kenapa media sosial, pakai akun samaran pula, bisa bikin orang menjalin cinta. Yah, meski jika dipikir, dulu kan ada juga orang yang bisa kawin cuma karena awalnya jadi sahabat pena.
Begini kira-kira panduan cari pacar ala anak alter versi Bambang dan Yayat.
Mulanya mereka “ketemuan” di akun base. Dari sana, mereka lalu berteman dengan cara “mutualan” (saling mengikuti). Dari sana obrolan pindah ke chat privat lewat direct message (DM). Selanjutnya seperti cerita Yayat ini.
“Terus ya sering cerita-cerita, aku jadi support system dia, terus muncul rasa lah. Abis itu pindah ngobrol ke Line, terus ya jadian.”
Meski pacaran membuat mereka membuka identitas satu sama lain, itu bukan jaminan mereka akan berakhir dengan kopi darat apalagi menikah. Yayat, misalnya, tak pernah bertemu kekasihnya karena mereka tinggal di kota yang berjauhan.
Kata Bambang, jika mereka tak bisa bertemu, trade pic atau bertukar foto diri serta saling follow di Instagram “asli”, sudah cukup jadi modal untuk menjalin kasih. Karena Bambang emang pengin cari pacar sekota, tiga dari empat pacarnya berdomisili (atau diksi mereka: “dom”) di Jogja.
“Jadi kalau pacaran ya chat, ya ketemuan, kayak pacaran biasa. Tapi emang awalnya belum tahu identitas asli, tapi kan lama-lama juga kenal,” kata Bambang.
“Emang gimana cara nyari pacar yang se-dom semua?”
“Ya wawancara lah. Kayak PDKT normal aja. PDKT kan kenalan satu sama lain lebih dalam.”
Baik Bambang maupun Yayat hanya punya persona anonim di media sosial Twitter, tidak yang lain. Mereka juga tetap memiliki media sosial pribadi dengan identitas asli. Yayat bahkan punya akun Twitter “asli” untuk dipakai bersamaan dengan akun Twitter alternya. Setiap hari mereka aktif dengan akun alter tersebut untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan. Setidaknya sampai keadaan tidak memungkinkan buat melakukan lebih. Misalnya masuk circle alter seleb tadi.
Kisah dunia alter membuat saya ingat masa-masa awal Facebook populer di Indonesia. Itu tahun 2009. Saya dan teman-teman, para milenial, berbondong membuat akun dengan nama yang nyentrik dan bikin malu kalau diingat. Akun Facebook saya pernah dinamai Mademoiselle Mima. Teman saya memakai nama Tuanku Eddward. Teman lain menyematkan nama Ardyan González Iñárritu. Yang paling absurd, Rusli Hariyanto dulu saya ingat betul menamai akunnya Rusli Penjual Kunyit.
Di masa itu kami tentu bukan sedang mempraktikkan kultur anonim atau alter. Tapi yang teringat jelas dari masa itu, sempat ada kegelisahan tentang “yang asli” dan “yang palsu”. Datangnya dari kekagetan ketika ada kenalan yang di dunia nyata dikenal sopan, ternyata bisa fasih memaki di media sosial, misalnya. Seingat saya, waktu itu seperti ada kesepakatan, media sosial adalah tempat segala kepalsuan.
Tampaknya, tren akun alter di kalangan Gen Z menjadi penanda terang bahwa “asli” dan “palsu” tak relevan bagi mereka. Mereka bahkan dengan sadar menduplikat diri dalam berbagai jati diri.
Sebelum kejauhan menyinggung Jean Baudrillard dan simulakranya, saya ingin menceritakan kesan dari reporter tulisan ini, seorang Gen Z, terhadap topik yang ia liput.
“Kesan saya, alterland ini tidak ada bedanya dengan dunia nyata. Di sini ada yang baik, ada yang jahat. Ada nilai-nilai sosial seperti pertemanan dan percintaan. Mereka hanya ingin bebas dan tidak terikat dengan orang-orang di sekitarnya karena memang mungkin mereka kurang diterima di lingkungannya. Pada akhirnya, kisah percintaan Bambang dan Yayat yang terlihat indah hanya membuat saya sebagai jomblo sejak orok iri saja. Mungkin saya perlu melirik dunia baru yang sepertinya menjanjikan ini.”
Oh, jadi begitu ya pesan moral yang ia terima setelah liputan ini. Hm hm hm.
Reporter: Bachtiar Aldhe Saputra
*Narasumber meminta namanya disamarkan.
BACA JUGA Lelaki yang 26 Tahun Menunggu Kekasihnya di Tempat yang Sama, Setiap Hari, lalu Mati di Sana dan liputan Mojok lainnya.
[Sassy_Social_Share]