Yang Harus Kami Relakan Saat Warung Burjo Tutup

MOJOK.CO Lagi puasa, eh warung burjo tutup menjelang akhir Ramadan. Selain perkara makanan, tidakkah orang-orang mengerti bahwa ini menimbulkan luka hati yang dalam?

Kawan saya dari Jakarta pernah datang berlibur ke Jogja. Dengan penuh semangat, saya datang ke stasiun dan menjemputnya dengan segera. Setelah bersalaman dan berpelukan, tahu apa yang dia bilang pada saya?

“Makan, yuk, Li. Aku pengin tahu rasanya makan di warung burjo.”

Wow, kejayaan warung burjo—atau burjo, atau burjonan—yang memang segitu banyaknya ditemukan di Jogja,  ternyata tak main-main. Teman saya ini tipe orang yang bodo amat, bahkan lebih bodo amat daripada orang yang bodo amat itu sendiri, tapi lihat apa yang terjadi: dia tahu bahwa di Jogja, tempat yang jaraknya hampir 600 kilometer dari rumahnya, ada sebuah tempat bernama warung burjo!!!!1!11!!!

Warung burjo adalah tren yang mengenyangkan. Semasa saya kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) sejak tahun 2011 sampai 2015 (astaghfirullah, mau pamer lulusnya tepat waktu, ya, Mbak?!), hampir setiap hari saya mampir ke burjo di dekat kos. Burjo yang tersedia pun cukup banyak. Di daerah Karangmalang saja, sekali masuk ke jalan kecil belakang Fakultas Bahasa dan Seni UNY kala itu, kamu bisa menemukan setidaknya 5-6 burjo sekaligus.

Meski berjudul “burjo”, yang berarti “bubur kacang ijo”, menu yang dijual pun bukan cuma bubur kacang hijau saja. Malah, yang menjadi ciri khas warung ini adalah mi instan, baik rebus maupun goreng, dengan atau tanpa telur.

Dulu, saya dan (mantan) pacar bahkan pernah berdebat soal merek mi instan yang seharusnya disediakan di warung burjo. Saya memilih Indomie, sedangkan dia memilih Mie Sedaap. Pada akhirnya, kami tidak pernah merendahkan pilihan masing-masing—setidaknya sampai kami akhirnya putus (HAHAHA)—dan kini kita semua tahu siapa pemenangnya: Indomie jauh lebih berjaya di warung-warung burjo, terbukti dari evolusi namanya menjadi warmindo, yang merupakan kepanjangan dari Warung Makan Indomie.

Tapi, tenang, tulisan ini tidak akan menjadi nostalgia masa-masa pacaran kami di burjonan. Justru, saya ingin mengenang sesuatu yang lebih menyedihkan: perasaan saya saat menyadari bahwa warung burjo tutup satu per satu, sejak masa-masa akhir bulan Ramadan hingga selepas lebaran.

Pengalaman ini saya alami bukan cuma di Karangmalang. Di Jogja bagian barat pun—atau kita sebut saja daerah Gamping—hal yang sama juga terjadi. Burjo langganan saya mendadak tampak gelap dan suram seperti hati saya, lengkap dengan kursi yang ditumpuk-tumpuk, pertanda warung tengah tidak beroperasi.

Meski terkesan sepele, kisah warmindo alias warung burjo tutup di bulan puasa ini menimbulkan masalah tersendiri. Penyebab terbesarnya tentu saja adalah kesulitan kita dalam mencari makanan yang enak, murah, dan mengenyangkan dalam satu waktu.

Tapi, tapi, tapiiiii, ternyata masih ada hal-hal lain yang menorehkan sedikit luka dan nyeri di dalam hati gara-gara burjonan-burjonan ini tutup satu per satu. Hmm, kok bisa, ya???

Pertama, saat warung makan tempat para Aa Burjo setiap hari merilis hasil karya berupa nasi telur dan mie dog-dog ini tutup di semingguan terakhir bulan puasa, tentu kita tahu bahwa mereka sedang mudik, pulang ke rumah, dan bertemu keluarga.

Saya, yang juga menjadi manusia perantauan selama delapan tahunan di Jogja, pun mengenang hal ini sambil sedikit meringis. Saya jelas nggak bisa mudik secepat para Aa Burjo sekarang, tapi setidaknya ada bagian dalam diri saya yang akhirnya belajar merelakan sesuatu, yaitu waktu bertatap muka dengan bapak, ibu, dan adik di rumah.

Maksud saya, Aa Burjo itu tiap hari ada di warung dan baru mudik di akhir-akhir bulan puasa, loh. Bayangkan, seberapa besarnya mereka menahan rindu pada keluarga di rumah, sebelum akhirnya diperbolehkan pulang ke kampung halaman?

Jadi, yah, semestinya, saya pun “membayar” utang tersebut dengan lebih sabar, bekerja, dan bersikap yang baik di tanah rantau demi keluarga saya di rumah. Eaaa~

Kedua, keadaan warung burjo tutup ini juga mendorong kita (hah, kita???) untuk merelakan absennya nasi telur paket lengkap yang harganya sangat terjangkau.

Teman saya dari Jakarta yang muncul di awal tulisan ini sempat protes waktu nasi telur yang dia pesan di burjo dilengkapi dengan sayuran oleh si Aa, sebagaimana menu nasi telur di burjo pada umumnya. Dengan heran, dia bertanya, “Tapi aku pesannya, kan, nasi telur, Li! Di bayanganku, ya, nasi sama telur aja. Terus, ini kenapa ada sayurnya? Banyak banget, pula. Emang si Aa-nya nggak rugi?”

Itulah, Saudara-saudara sekalian, apa yang membuat burjonan spesial.

Ketiga, tutupnya burjonan menimbulkan kesepian tersendiri, dan saya pernah menyadari poin ini begitu dalam, sampai-sampai rasanya ingin menangis.

Iya, iya, saya memang lebay~

DI daerah Gamping, kos saya dulu berada tepat di depan warung burjo alias warmindo yang buka 24 jam. Lingkungan kos dan burjo ini tidak berisik, tapi cukup ramai dan tidak bakal membuatmu merasa malam hari adalah waktu-waktu yang menyeramkan. Justru, bagi manusia yang lebih suka melek di malam hari seperti saya, ini adalah berkat yang menenangkan.

Kalau saya lagi nggak bisa tidur, karena di sana nggak ada working space atau kedai kopi 24 jam, saya bakal keluar dan mampir ke burjo hanya untuk menikmati keramaian-keramaian ini: sekumpulan mahasiswa yang mengobrol, mas-mas yang teriak-teriak nonton bola, atau sekadar pasangan yang makan mi goreng tanpa telur dan tanpa perdebatan remeh soal Indomie dan Mi Sedaap.

Jadi, ketika akhirnya si warung burjo tutup di minggu-minggu terakhir bulan puasa, rasanya ada sepi yang besar dan membuat malam-malam saya hampa.

Haashhh, repot, lah, pokoknya, udah kayak orang sedih abis putus cinta gitu!

Keempat, yang tak kalah menyedihkan adalah saat warung burjo tutup, bahkan setelah kita sudah selesai mudik lebaran.

Semasa masih kuliah di UNY dari tahun 2011 sampai 2015 (astaghfirullah, mau pamer lagi lulusnya tepat waktu, ya, Mbak?!), saya nggak cuma mengalami kesedihan sekali atau dua kali karena burjonan tutup cukup lama, bahkan setelah euforia lebaran telah berlalu.

Sekalipun akhirnya burjo ini buka, hal menyedihkan lainnya pun harus saya terima: Aa Burjo yang jaga di burjonan udah ganti dan bukan lagi Aa yang sebelumnya udah hafal betapa saya nggak suka nasi goreng kornet saya dibuat terlalu pedas dan terlalu manis. Artinya, saya harus request dari awal lagi, atau memilih menyesuaikan lidah dengan cita rasa yang baru.

Ah, tapi, mau bagaimana lagi? Toh, segala jenis kehilangan dan perubahan situasi-kondisi memang selalu membuat ngilu….

Exit mobile version