Dipikir-pikir, repot juga jadi penjual warung Tegal atau Warteg. Sehari-hari mereka dituntut menyediakan menu yang beragam dan enak oleh pelanggan. Padahal, semua yang berkaitan dengan rasa itu selera. Lidah pembeli dengan pembeli lain berbeda. Dan, mustahil bisa menyenangkan semua lidah.
Selain rasa, kebanyakan pelanggan menuntut makanan dan minuman yang murah meriah. Memang, kemunculan Warteg memang menyasar kelas menengah ke bawah. Namun, penjual sebenarnya tidak memiliki kuasa penuh untuk mempertahankan harga murah. Apalagi in this economy ~
Seperti yang sama-sama diketahui harga bahan baku makanan sekarang ini kerap bikin pusing penjual makanan. Naik dan turunnya harga bergantung pada ketersediaan di pasar. Sementara, ketersedian bahan baku di pasar begitu mudah terpengaruh akan banyak hal. Faktor alam hingga politik bisa jadi sebab.
Ya namanya usaha memang ada tantangannya. Usaha makanan dan minuman tantangan terbesarnya memang ada pada ketersedian bahan baku dan perubahan harga. Akan tetapi, banyak pembeli terkadang nggak mau tahu itu. Mereka tahunya cuma seporsi makanan tersedia di hadapan mereka dengan harga terjangkau. Lengkap dengan rasa yang menggugah, pelayanan ramah dan cekatan, serta tempat yang bersih.
Jam kerja panjang dan persaingan makin ketat
Di balik berbagai menu makanan yang terpajang di etalase, ada proses yang begitu panjang. Proses yang jarang diketahui pembeli. Para penjual warung Tegal menyiapkan berbagai macam menu itu sejak subuh. Maklum saja, macam menu yang disajikan memang banyak dan porsinya besar.
Tidak hanya berhenti sampai terpajang di etalase. Selama seharian, penjual harus memeriksa kelayakan menu dari waktu ke waktu. Begitu pula dengan menghangatkan makanan supaya selalu enak ketika disajikan. Itu semua harus dilakukan sambil melayani pembeli yang datang silih berganti.
Di beberapa warung Tegal yang tergabung dalam jaringan waralaba, penjaga warung sudah terbagi dalam shift-shift. Namun, ingat, ada juga warteg yang berdiri sendiri. Tenaga yang tersedia lebih terbatas di warung-warung seperti ini. Itu mengapa penjualnya bisa bekerja berkali-kali lipat lebih keras.
Baca halaman selanjutnya: Di sisi lain …
Di sisi lain, warteg harus menghadapi persaingan yang kian ketat. Melansir Kompas.com warung Tegal di Jakarta Selatan pernah mencapai puluhan ribu di 2020 Jumlah itu kemungkinan besar sudah berubah karena pandemi dan banyak faktor lain. Namun, dari catatan ini setidaknya kita tahu bahwa persaingan warteg di berbagai daerah begitu ketat. Apalagi di kota-kota besar.
Asal tahu saja, dahulu, warung Tegal memang identik dengan makanan kelas menengah ke bawah. Tapi, semakin ke sini, menu dari warung ini jadi andalan bagi siapa saja. Tidak terkecuali pegawai kantoran di kota-kota besar.
Menghadapi pelanggan warteg yang menyebalkan, nggak, jujur dan suka ngutang
Pelanggan yang banyak tuntutan memang menyebalkan. Apalagi yang nggak mau tahu dengan proses panjang di balik menu yang terpasang di etalase. Tapi, ada yang nggak kalah mengesalkan dari itu, pelanggan yang nggak jujur. Entah sudah berapa banyak pembeli yang diam-diam mengambil gorengan atau kerupuk lebih banyak dari yang dibayarkan. Belum lagi, pembeli yang pura-pura lupa akan lauk dan sayur yang disantapnya.
Penjual warteg maupun tempat makan mana pun itu sebenarnya sudah hafal siasat pembeli. Namun, apa daya, tindak tanduk curang ini kerap luput dari perhatian. Berakhir dengan mengikhlaskan.
Belum lagi pembeli yang suka ngebon alias ngutang. Di satu sisi, penjual mungkin ada rasa kasihan hingga akhirnya mengizinkan pembeli ngutang. Apalagi kalau pembeli adalah pelanggan. Mungkin selain kasihan ada juga rasa nggak enak yang membuat penjual akhirnya menanggung kerugian besar dari waktu ke waktu.
Saking banyaknya kasus pembeli yang ngutang pada penjual. Entah di warteg atau warung-warung lain, ada tempelan “Hiroshima Hancur karena BOM Warung kecil Hancur karena BON”. Pasti pernah mendengarnya kan? Sekilas terderngar lucu, tapi kalau didalami lagi. Tindak-tanduk pelanggan yang semacam ini yang terkadang membuat penjual warteg seolah-olah ngga ada harganya.
Di atas kesulitan menjadi penjual warung Tegal. Selain tantangan akan bahan pangan dan pengelolaan warung, warteg masih harus menghadapi pelanggan yang menyebalkan. Jadi, lain kali mampir ke warteg, jangan cuma lihat harganya yang murah atau menunya yang banyak. Ingat juga, di balik seporsi nasi itu, ada tenaga yang luar biasa dan kesabaran yang nggak sedikit.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Alasan Orang Jogja Malas Kulineran ke Sate Ratu dan catatan menarik lainnya di rubrik POJOKAN.
