MOJOK.CO – Ketika kamu gagal mengasihi sesama termasuk Ustaz Abdul Somad, mungkin doa Bapa Kami yang kamu lantunkan setiap akhir minggu itu belum merasuk dalam jiwa Katolikmu.
Saya menikmati dinamika menjadi seorang Katolik. Sampai saat ini juga, saya masih betah “memanggul salib”, sebuah istilah untuk menggambarkan susahnya memegang nilai-nilai yang diajarkan Yesus. Karena pada ujungnya, Katolik adalah kesantaian sejati ketika memeluk agama.
Tentu saja itu pandangan dari mata saya sendiri. Kenapa kok santai? Karena Yesus sudah membayar lunas dosa-dosa manusia ketika Dia memberikan nyawanya di atas salib. Manusia hanya perlu melewati api penyucian untuk masuk surga. Enak, kan? Cuma dibakar api saja sudah bisa masuk Firdaus yang dijanjikan. Syaratnya bahkan cuma satu: berbuat baik kepada semua manusia.
Diapit dua penyamun, dua orang jahat, Yesus mati. Ini kematian yang indah, ketika Anak Manusia mengorbankan diri untuk kesejahteraan orang lain.
Makanya, salib menjadi simbol penebusan, menjadi sebuah penanda, bahkan identitas Katolik dan Kristen. Mau ada patung Yesus-nya, mau polosan, maknanya tetap sama. Sayangnya, banyak yang malah menuhankan salib. Sebagian dari jati diri adalah simbol. Dan “sebagian” ini yang masih sulit dipahami sebagai simbol sifat Yesus: mengasihi siapa pun manusia, seperti mengasihi diri sendiri.
Makanya, ketika Ustaz Abdul Somad menyenggol “kesucian” salib, umat Katolik dan Kristen banyak yang meradang. Istilah “penistaan agama” langsung ramai mewarnai media. Padahal, Ustaz Abdul Somad hanya menjawab pertanyaan dari jemaat di kala ceramah subuh suatu pagi tiga tahun lalu.
Bahkan yang dijelaskan oleh Ustaz Abdul Somad itu punya dasar ilmu. Di dalam Islam, membuat patung yang menyerupai manusia itu dilarang. Nanti takutnya menjadi berhala bagi umat Islam. Nah, kalau menyimak klarifikasi dari Ustaz Abdul Somad, kamu akan mendapati beliau membawa pertanyaan jemaat ke arah berhala itu. Pun di sekolah-sekolah Alquran diajarkan kalau patung-patung itu takutnya menjadi rumahnya jin.
Sebentar, bukankah di dalam Katolik juga ada larangan tidak boleh menyembah berhala? Ada di dalam daftar 10 Perintah Allah kalau kamu lupa. Nah, bukankah ajaran Islam dan Katolik soal berhala itu sama? Sama-sama mengajarkan tidak boleh memalingkan muka dan menyembah berhala. Ajaran Islam dan Katolik memang berbeda di beberapa prinsip dan itu hal yang biasa.
Apesnya Ustaz Abdul Somad cuma sekarang itu jejak digital sangat jahat. Video dipotong dan dibuat konteks baru, yang melenceng jauh dari konteks sebenarnya. Masalah viral ucapan Ustaz Abdul Somad ini sebenarnya juga mirip dengan kasus pemotongan nisan salib di Bantul, DIY.
Maria Sutris Winarni, istri dari almarhum Albertus Slamet Sugihardi, warga RT 53 RW 13, Purbayan, Kotagede, mengungkapkan bahwa dirinya iklas menerima jika simbol agama nisan salib itu dipotong oleh warga. Surat itu ditandatangani di atas materai, berjejeran dengan tanda tangan Bejo dan Ketua RT 53, Soleh Rahmad Hidayat.
“Keluarga sudah bisa menerima, dia tidak ada masalah. Mungkin yang memviralkan itu di luar keluarga,” ungkap Bejo kepada wartawan Tirto (18/12).
Bejo Mulyono adalah adalah tokoh masyakarat. Lewat penuturan Bejo, kita juga tahu bahwa Almarhum Slamet dan keluarganya adalah warga yang aktif berkegiatan di Purbayan, Kotagede. Mereka aktif mengikuti kegiatan arisan, ronda, bahkan Slamet bersedia menjadi pelatih paduan suara ibu-ibu muslim.
Lewat penuturan Bejo juga, pemotongan nisan salib sudah jadi “kesepakatan” antara warga dengan pihak keluarga alhamarhum, dan tokoh agama. Jenazah almarhum boleh dikuburkan di pemakaman Purbayan, tetapi tidak boleh ada simbol-simbol agama Nasrani. Lewat sebuah proses yang pada dasarnya kita semua tidak tahu kecuali berada di tempat, keluarga sepakat. Masalah selesai.
Seharusnya seperti itu. Lewat semangat berbaik sangka, keluarga alhamarhum dan warga tidak punya masalah. Menjadi agak runyam ketika foto nisan salib yang terpotong itu menjadi viral di media sosial. Ramai-ramai, ribuan akun, menyuarakan bahwa Jogja sudah berhenti “berhati nyaman”. Toleransi di kota yang dianggap adem ayem ini dirasakan sudah hilang.
Penjelasan Ustaz Abdul Somad dikemukakan di dalam forum tertutup, bukan di stadion atau disiarkan stasiun TV. Banyak yang berkeras kalau ucapan itu tetap salah, mau di mana pun forumnya. Meskipun tertutup “menyerang” agama lain tetap tidak pantas.
Sebentar, buat yang merasa benar itu, apakah ketika di tengah forum tertutup agamamu sendiri, kamu tidak menggunjingkan agama lain? Nggak usah di dalam forum deh, coba di tengah keluarga inti. Apakah sudah bersih dari prasangka kepada agama lain?
Kalau merasa sudah bersih dari prasangka, meminjam tindakan Yesus ketika membela Maria Magdalena, silakan maju ke dapan untuk melempar batu pertama kali. Kalau belum bersih dari prasangka, ya sudah, yuk bikin kopi dan berbagi kretek untuk menemani obrolan soal persatuan Indonesia.
Buat umat Katolik terutama, setiap kali ibadah di akhir minggu, selalu menyanyikan doa Bapa Kami, di mana salah satu syairnya berbunyi: “… ampunilah kesalahan kami, seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami.”
Buat Ustaz Abdul Somad, kata maaf itu tidak perlu karena beliau tidak bersalah. Umat Katolik tak perlu repot-repot memaafkannya. Yang perlu umat Katolik lakukan justru mencintai beliau, bahkan mungkin berterima kasih. Lewat penjelasan Ustaz Abdul Somad, kita malah bisa belajar soal hukum utama dalam Katolik, Hukum Cinta Kasih sekali lagi.
“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Mencintai Tuhan dengan akal budi juga berlaku untuk cinta kepada sesama. Kalau kamu gagal mengasihi sesama, mungkin doa Bapa Kami yang kamu lantunkan itu belum khusyuk.
Salam damai, Ustaz Abdul Somad. Berkah dalem.