MOJOK.CO – Bukan lagi politisasi agama yang akan digunakan para politisi untuk kampanye Pilpres 2019 dalam waktu dekat ini. Alasannya sederhana, karena ada “panggung bencana” di Palu dan Donggala.
Frasa “politisasi agama” mulai tenggelam dalam beberapa waktu belakangan ini. Entah karena kedua kubu sudah merasa kampanye model begini sudah tidak cukup ampuh lagi untuk dilakukan atau memang karena dua kubu mulai menggunakan strategi yang sama. Eh.
Yang jelas, usai sedikit tenggelamnya pamor frasa “politisasi agama” di panggung utama kampanye politik, kali ini kampanye agama sudah tidak begitu dilirik karena ada yang lebih penting untuk diperhatikan untuk dijadikan panggung.
Bukan, bukan, panggung kasus Ratna Sarumpaet atau dolar yang sedang naik klasemen dengan poin tak terkendali belakangan ini tentu saja. Melainkan karena gempa tsunami di Palu dan Donggala kini mulai ramai-ramai jadi “rebutan” para politisi untuk naik panggung.
Gempa dan tsunami di Palu dan Donggala membuat banyak politisasi sibuk ikut turun gunung. Semua ikut bahu-membahu ingin membantu. Tanpa mengecilkan niat tulus untuk membantu sesama, akan tetapi tudingan serta serangan saling lempar antara pihak pemerintah maupun oposisi dalam penanganan bencana benar-benar ikut “memeriahkan” atmosfer kampanye politik di tanah duka.
Genderang politisasi bencana ini setidaknya muncul pertama kali dari Partai Gerindra. Usai stripping acara prank Ratna Sarumpaet berakhir dengan genggap gempita, kubu oposisi langsung melemparkan kritik kepada Pemerintahan Jokowi yang dinilai lamban dalam merespons penanganan bencana.
“Dalam kasus Palu dan Donggala, saya merasa pemerintah lambat dalam menangani itu. Pemerintah seperti kelelahan [gempa] Lombok, kemudian bencana Palu dalam waktu dekat,” ujar Sekjen Gerindra, Ahmad Muzani.
Pihak Gerindra juga menuding Pemerintah cukup kelewatan ketika memberi instruksi kepada masyarakat Palu dan Donggala dengan mengizinkan masyarakat untuk mengambil kebutuhan pangan di minimarket-minimarket terdekat—di mana nanti biaya operasionalnya akan diganti oleh Pemerintah.
“Apa yang terjadi, pemerintah seperti ketinggalan layanan tanggap darurat, seperti pemerintah mengizinkan rakyatnya mengambil bahan makanan. Di satu sisi, itu adalah kedaruratan yang mungkin memotong kebutuhan yang sangat mendesak. Namun di sisi lain, itu adalah pendidikan yang salah dalam kedaruratan ini,” lanjut Muzani.
Lemparan ini segera disambut oleh Staf Presiden, Lord Ali Mochtar Ngabalin, yang bukannya merespons dengan adem ujaran tersebut, tapi malah balik melakukan serangan. “Apa Muzani lupa? Yang dibutuhkan itu juga motivasi kalian kepada Gubernurnya yang orang Gerindra itu. Dia itu Ketua Gerindra Sulawesi Tengah. Jangan pasif dalam situasi seperti itu,” balas Ngabalin.
Saling lempar kritik ini mewarnai dalam upaya rekonsiliasi masyarakat terdampak gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah. Tidak bisa ditampik, bahwa sorotan media memang sedang mengarah ke Palu dan Donggala, hal ini memang dimanfaatkan sebaik mungkin oleh beberapa politisi untuk berebut panggung demi agenda yang lebih besar pada tahun depan.
Selain Ngabalin, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), juga ikut-ikutan membalas kritik yang disampaikan Muzani dari Gerindra. “Pertanyaannya kini, apa yang sudah dilakukan Gerindra selain nyinyir?” tanya Tsamara Amany, Ketua DPP PSI seperti diberitakan detik.com.
Tsamara juga mengaku heran karena ketika negara sedang berduka, pihak oposisi malah tidak ikut membantu memikirkan jalan keluar melainkan justru sibuk dengan prank Ratna Sarumpaet.
“Ketika Pak Jokowi sibuk mengurus Palu, kalian (Gerindra) justru sibuk dengan kebohongan Ratna Sarumpaet dan menyebarkannya,” kata Tsamara lagi.
Apa yang disampaikan tersebut juga diakui Tsamara semakin menambah kesedihan usai bencana. “Sungguh sedih, oposisi kita lebih asyik berkomentar tanpa cari tahu terlebih dahulu, dibanding membantu menyelesaikan persoalan,” katanya.
Mendapatkan serangan balik tersebut, Gerindra tidak tinggal diam. Menurut Gerindra, anak-anak muda di PSI ini masih harus belajar lagi dalam menyikapi kritik. “Adik-adik PSI ini mungkin perlu lebih banyak belajar,” kata Habiburrokhman, Ketua DPP Gerindra.
Habiburrokhman kemudian menjelaskan bahwa memang sudah jadi tugas Fraksi Gerindra di DPR untuk melakukan pengawasan jika memang ada yang kurang dari pemerintahan saat ini. Termasuk juga mengenai kekurangan dalam penanganan bencana alam di Palu dan Donggala.
Untuk itu, Habiburrokhman mengaku tidak ingin terpancing dengan balasan sikap PSI yang merupakan partai pendukung pemerintah.
“Kami juga nggak mau mengajukan pertanyaan bodoh ‘PSI sudah buat apa?’ Karena PSI malah bukan di eksekutif maupun legislatif,” kata Habiburrokhman.
Pun dengan balasan Ali Ngabalin, Gerindra melalui Andre Rosiade juga menanggapi bahwa Staf Kepresidenan tersebut tidak tahu pasti situasi di Palu dan Donggala karena baru datang satu kali.
“Pertanyaannya Bang Ngabalin sudah berapa kali ke Palu? Kan baru sekali. Makanya nggak tahu bagaimana Pak Longki [Gubernur Sulteng] bekerja pagi, siang, dan malam melayani rakyatnya yang tertimpa gempa dan tsunami,” kata Andre.
Jika memang Longki Djanggola, Gubernur Sulteng dari Partai Gerindra, tidak terlihat ikut sibuk, menurut Andre karena kader partai tersebut melakukannya bukan untuk pencitraan seperti Jokowi.
“Bedanya Pak Longki nggak pencitraan bawa media seperti Pak Jokowi yang membangun pencitraan supaya terlihat bekerja tapi hasilnya tidak dirasakan masyarakat. Saran saya ke Bang Ngabalin, masyarakat butuh hasil kerja Pak Jokowi, bukan foto-foto Pak Jokowi terkesan peduli dan bekerja di tengah pengungsi,” kata Andre.
Saling lempar kesalahan ini menunjukkan bahwa kedua kubu memang sama-sama sedang cari panggung di Palu dan Donggala. Dan rakyat kembali disuguhi silat lidah para politisi untuk mencitrakan diri sebagai pihak yang lebih peduli ketimbang lawannya. Ikut bantu dibilang pencitraan, ingin mengritik ditanya “sudah lakukan apa?” semua riuh berseliweran di linimasa kita sebagai rakyat yang cuma bisa memerhatikan dengan keplok-keplok.
Hal seperti ini memang tidak bisa ditolak karena walau bagaimana pun masa kampanye sudah dimulai, dan gempa di Palu dan Donggala terjadi pada momentum tersebut. Bagi para politisi, hal semacam ini tentu akan sangat disayangkan sekali untuk tidak menjadikannya sebagai panggung.
Setelah tenggelamnya “politisasi agama” di dunia perpolitikan tanah air, ternyata kita kembali menemukan satu frasa baru untuk Pemilu dan Pilpres 2019 nanti, namanya: politisasi bencana.