“Tilik” Adalah Film yang Biasa Saja dan Justru Karena Itu Orang-Orang Menyukainya

tilik

MOJOK.CO Tilik tak ubahnya seperti film biografi singkat atas karakter kita.

Setelah banyak orang memposting review dan tanggapannya di sosial media, pada akhirnya,  film pendek “Tilik” itu saya tonton juga. Istri saya yang memaksa saya terus-terusan agar saya menontonnya.

“Mas, cepetan nonton, itu film bagus banget, lho,” begitu pinta istri saya berkali-kali sebelum akhirnya saya turuti.

Puluhan testimoni dari kawan-kawan saya yang mereka tulis di dinding Facebook tentu saja tidak menipu. Tilik benar-benar bagus. Ia benar-benar memblejeti realitas kehidupan senyata-nyatanya tentang praktik “rasan-rasan” yang memang ada dan tumbuh subur sebagai salah satu laku yang mempererat —sekaligus memisahkan— hubungan sesrawungan masyarakat.

Tilik benar-benar film yang sangat tidak film, semata karena akting para pemainnya benar-benar tak tampak seperti akting. Ia tak ubahnya seperti ibu-ibu kampung biasa yang benar-benar sedang dalam perjalanan ke rumah sakit untuk tilik tetangganya yang sakit dengan menumpang truk bak terbuka tanpa ada kameramen dan kru film yang ikut serta bersama mereka.

“Tilik” seharusnya menjadi film yang biasa saja. Ia tak memberikan sesuatu yang baru. Ia menampilkan hal-hal yang sudah kita kenal sebelumnya.

Maksud saya, bukankah sosok seperti Bu Tejo itu adalah sosok yang kita pasti pernah menjumpainya? Bukankah memang kita ini ditakdirkan untuk terlahir di masyarakat yang senantiasa rasan-rasan?

Saya meyakini, bahwa hampir kebanyakan kita, hidup di dunia yang penuh dengan rasan-rasan. Penuh dengan gosip. Ia serupa suplemen makanan yang setiap hari kita santap, baik dengan sengaja maupun tidak.

Adalah biasa bagi kita mendapatkan suplai kabar burung yang amat banyak tentang apa saja yang kebenarannya belum tentu terbukti dari kawan atau tetangga kita yang disampaikan dengan sedemikian rupa. Kabar burung yang kerap didahului dengan kalimat pembuka “Jangan bilang-bilang ya, ini rahasia” namun kemudian menyebar dengan sangat kolosal.

Ketika saya “bertemu” dengan Bu Tejo dan kawan-kawannya itu, saya merasa sedang menyaksikan kehidupan yang biasanya. Kehidupan nyata yang kebetulan dialihwahanakan ke dalam film.

Dalam kehidupan saya, saya sudah kadung menemukan Bu Tejo dalam diri kawan-kawan saya, dalam diri adik saya, dalam diri ibu saya, dalam diri istri saya, bahkan, dalam diri saya sendiri. Dan saya pikir, hal ini tentu bukan hanya terjadi pada saya.

Dengan segala ke-biasa-an tersebut, lantas kenapa begitu banyak orang yang tampak merasa sangat takjub pada “Tilik” wabilkhusus pada sosok Bu Tejo?

Dugaan saya satu: Sebab orang-orang begitu suka saat karakternya diwakilkan oleh sesuatu.

Kita semua mafhum bahwa orang patah hati akan merasa sentimentil saat mendengarkan lagu tentang patah hati. Orang yang jatuh cinta akan bahagia saat mendengarkan lagu tentang jatuh cinta. Pun orang yang gelisah akan merasa puas saat mendengarkan lagu tentang kegelisahan.

Dalam film “Tilik”, orang-orang yang hobi rasan-rasan atau malah sering menjadi bahan rasan-rasan, bersuka-cita merayakan kemunculan Bu Tejo, sosok yang di dalam dirinya terdapat spirit rasan-rasan.

Mark Zuckerberg yang gigih dan kreatif itu pernah dibikinkan film biografi berjudul “The Social Network”, Stephen Hawking yang cerdasnya keterlalauan itu dibikinkan film biografi berjudul “The Theory of Everything”, Freddy Mercury yang legendaris itu dibikinkan film biogri berjudul “Bohemian Rhapsody”.

Nah, kita yang hobi rasan-rasan ini pada akhirnya juga kebagian buat dibikinkan film biografi, dengan judul “Tilik”, dengan tokoh utama Bu Tejo.

Dan sekarang tugas kita adalah bersuka-cita merayakannya.

Exit mobile version