MOJOK.CO – Teror di Christchurch, Selandia Baru adalah keprihatinan yang mendalam bagi kami, Katolik dan Kristiani. Semoga semua makhluk selalu berbahagia dan lupa dengan kebencian.
Sekitar pukul 10 malam, saya memberanikan diri membaca The Great Replacement. Bukan, bukan sebuah novel terjemahan yang akhir-akhir ini kualitas terjemahannya sedikit menurun. Ini adalah sebuah manifesto sinting, dari seorang teroris di Christchurch, Selandia Baru. Ia membunuh 49 orang, jemaah Allah, kaum muslim yang tengah menunaikan ibadah salat Jumat.
Ia memang “hanya” membunuh 49 orang. Namun, akibatnya dirasakan oleh miliaran orang di muka bumi. Mereka yang menjadi marah dengan kejahatan itu. Dan mereka, minoritas di beberapa wilayah, yang takut dengan imbas kejahatan tersebut. Hawa kecurigaan dan saling menuding pasti terjadi di beberapa tempat.
saya hanya betah membaca The Great Replacement hingga tujuh halaman saya. Mulas perut saya. Manifesto yang sudah tidak bisa diakses secara bebas tersebut, di salah satu poinnya, menegaskan soal kekhawatiran manusia akan keberadaan manusia lain. Ia, mereka, kaum kulit putih, takut dengan ancaman imigran, berkulit berwarna dan memeluk kepercayaan yang berbeda.
Si teroris ini membayangkan, bahwa pada tahun 2100 nanti, sudah tidak ada lagi kaum kulit putih di muka bumi. Cepatnya pertumbuhan warga berkulit berwarna dan pemeluk muslim, ditambah proses imigrasi yang masif terjadi membuat si teroris “terteror”. Dan pandangan ini sungguh sinting, sebuah pemikiran bahwa ada orang banyak di luar sana yang patut dikhawatirkan, bahkan dihilangkan saja.
Sebagai pemeluk Katolik, sebagai minoritas di Indonesia, saya merasa tak enak dengan saudara-saudara muslim. Teman, tetangga, saudara. Betul, selama ini kami banyak menjadi victim. Saking seringnya, kami bisa mengganggapnya sebagai salah satu “beratnya salib” yang harus kami panggul. Sudah menjadi dinamika kehidupan yang harus kami pahami, bahkan maklumi.
Namun, ketika “salah satu” dari kami, minoritas di Indonesia yang bikin masalah, rasa takut itu terasa dua kali lipat. Salah satu ketakutan kami adalah aksi teror di Christchurch, Selandia Baru adalah jawaban minoritas akan represi yang terjadi “secara halus” selama ini.
Padahal, kami, Katolik dan Kristiani di Indonesia sama sekali membenci perbuatan teror seperti di Christchurch, Selandia Baru. Salah satu pesan Paskah dari Paus Franciscus adalah, “Mari berpantang hawa nafsu,” dan itu menjadi “totem” kami ketika bersosialiasi. Manusia tempatnya khilaf, tapi kami menjaga untuk tidak pernah memberi cedera di relung kepercayaan saudara-saudara muslim.
Saya sendiri yakin kejadian di Christchurch, Selandia Baru adalah sebuah penegasan (untuk kesekian kali) bahwa teror/terorisme bukan milik satu kaum saja. Selama ini, aksi teror selalu dihubungkan dengan pemeluk muslim. Padahal, saya sendiri seratus persen yakin, kalau pemeluk muslim di sekitar saya tidak mendukung gerakan radikal itu.
Gerakan radikal, teror, adalah milik semua orang, semua kaum. Teror juga diproduksi oleh pemeluk Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan kepercayaan lainnya. Teror juga terus dibuahi oleh kaum-kaum tertentu seperti mereka yang berkulit putih. White supremacy mereka menyebutnya. Dan ini nyata, bahkan teror mereka lebih menakutkan karena didukung dan dimaklumi segelintir orang dari “negara adikuasa”.
Penembakan di Christchurch, Selandia Baru, tepatnya di masjid Linwood Avenue dan Masjid An-noor di Deans Avenue disutradarai oleh kebencian kaum kulit putih kepada imigran muslim dan mereka yang punya kulit berwarna. Dan perlu kamu ketahui, serangan teror ini sudah terencana.
Pelaku, tiga pria dan seorang perempuan tak terdaftar dalam daftar pengawasan pemerintah Selandia Baru. Tindakan mereka sudah direncanakan dengan matang. Beberapa saat setelah serangan, polisi berhasil menangkap pelaku dan mendapati keempatnya merupakan kelahiran Australia. Pun sama dengan Selandia Baru, mereka juga tak masuk daftar pengawasan Australia.
Seorang warga Christchurch bernama Nathan Cambus sempat merekam penangkapan seorang terduga teror. Nathan menyaksikan polisi menabrakan mobilnya ke mobil terduga pelaku. Brenton Tarrant, pelaku penembakan di Christchurch mengakui dirinya sebagai seorang yang terinspirasi oleh aksi Anders Behring Breivik, seorang pembunuh massal asal Norwegia.
Tarrant sempat menyiarkan secara langsung serangannya di Facebook Live ini mengakui melakukan pembunuhan itu sebagai balas dendam atas kematian Ebba Akerlund, seorang anak berusia 11 tahun yang terbunuh dalam serangan teror di Stockholm yang dilakukan Rakhmat Akilov pada 2017.
Dalam manifestonya, Tarrant menuliskan “Saya telah membaca tulisan-tulisan Dylann Roof dan banyak lainnya, tetapi hanya benar-benar mengambil inspirasi sejati dari Knight Justiciar Breivik.”
Breivik adalah pelaku pembuhunan terhadap 77 orang di Norwegia pada 2011. Dia dihukum 21 tahun penjara oleh Pengadilan Norwegia dan merupakan hukuman maksimal yang dibolehkan di negara tersebut.
Kok ya kebetulan, sebuah simbol yang tertempel di rompi antipeluru Tarrant sama seperti simbol yang digunakan di sebuah parade neo-Nazi di Charlottesville, Amerika Serikat. Parade itu diikuti ratusan orang, membawa obor menyala-nyala, meneriakkan kebencian terhadap “kaum lain” dan menegaskan supremasi sebuah kaum, yaitu mereka sendiri.
Kebencian ini mengakar kuat di dunia. Ia bergandengan tangan dengan cinta kasih itu sendiri. Namun keduanya saling memalingkan muka—sama-sama menghadap ke jemaah mereka. Keduanya berteriak-teriak, saling berebut perhatian. Kepada siapa kamu akan menengok?
Cinta kasih dan teror adalah manusia itu sendiri. Ia utuh, sebagai persona yang berpikir dan berkembang. Dan, ideologi, serta agama, ada di luar mereka. Ini mungkin soal empati, mungkin tidak. Semuanya adalah perjalanan masing-masing persona tersebut.
Ketahuilah, di mata masing-masing jemaah, baik cinta kasih maupun teror, semua benar. Cinta kasih yang menjadi posesif dan teror yang justru membebaskan. Bukankah keduanya manusiawi?
Lantaran teror ada di semua kaum, seharusnya kita juga sadar bahwa cinta kasih ada juga di semua manusia. Perdamaian hanya buah dari lidah saja ketika teror digunakan oleh politisi bajingan untuk menyerang politisi lainnya. Bukannya saling menguatkan, teror dibuat mainan untuk senang-senang mereka saja. Bagi mereka, nyawa sesama seperti hitung-hitungan di lembar Excel. Bisa dihapus, dikurangi, ketika tidak sesuai lagi dengan agenda.
Teror di Christchurch, Selandia Baru adalah keprihatinan yang mendalam bagi kami, Katolik dan Kristiani. Tolong jangan anggap kami mendukung kebiadaban itu dan berdoa bahagia memuji Tuhan karena besarnya korban. Kami justru berdoa supaya semua makhluk berbahagia dan tak ada lagi usaha saling membunuh di antara kita semua.