MOJOK.CO – Istilah “sujok” mendadak ramai karena seorang ibu memposting sebuah foto jempol tangan dan kaki anaknya yang berwarna biru kayak tinta Pemilu.
Netizen Indonesia baru saja mendapat bahan baku ghibah yang baru. Jika beberapa bulan kemarin kita asyik ribut soal politik, sekarang ada bahan baru berupa pengobatan alternatif berupa sujok. Sebuah terapi dengan memanfaatkan warna untuk meredakan penyakit.
Istilah “sujok” mendadak ramai karena seorang ibu memposting sebuah foto jempol tangan dan kaki anaknya yang berwarna biru kayak tinta Pemilu. Postingannya sendiri memang agak kontroversial, karena diklaim bisa menurunkan panas anak tidak sampai 15 menit.
Terang saja, netizen yang sangat rasional dalam berpikir menghina-hina kepercayaan terapi sujok yang dianggap mampu meredakan penyakit. Sebagai warga negara yang menjunjung tinggi nalar, tentu saja terapi sujok dianggap tak masuk akal dan tak pelak jadi bahan lucu-lucuan. Bahkan komentar-komentar di postingan tersebut ada yang sudah masuk kategori menghina.
Barangkali postingan ini memang tidak komplet menjelaskan soal terapi sujok. Padahal sebenarnya terapi ini secara konsep sudah dikenal lama. Paling tidak National Geographic Indonesia pernah memuat laporan tentang terapi pengobatan memanfaatkan jenis warna.
Pada laporan itu disebutkan kalau terapi warna semacam ini sudah dikenal sejak zaman Mesir kuno. Sebagai bangsa yang punya ketergantungan besar terhadap matahari—sampai disembah—orang Mesir kuno percaya kalau efek warna punya efek fisiologis terhadap tubuh.
Malah disebutkan pula kalau pemikir Islam bernama Avicenna atau Ibnu Sina, pada abad ke-11 memperkenalkan pentingnya warna untuk menggambarkan kondisi tubuh manusia. Penggunaan warna ini juga dipercaya penting untuk menstimulasi aspek fisik dan psikis manusia dalam proses penyembuhan.
Masalahnya, pengobatan alternatif suljok ini memang masih dianggap kontroversial sampai sekarang. Belum ada penelitian medis yang membenarkan apakah terapi sujok benar-benar efisien secara fisiologis. Kalau secara psikologis sih bisa saja—toh pada kenyataannya, ibu-ibu yang posting tadi mengklaim anaknya benar-benar sembuh dari panas.
Akan tetapi, bukan itu sebenarnya yang jadi masalah dari terapi sujok. Masalah terbesar ya ada di kita karena sering meremehkan hal-hal yang belum bisa dipahami oleh sebuah rezim pemikiran. Dalam medis, ya rezim ini namanya rezim medis. Selama tidak bisa dijelaskan oleh medis, maka apapun itu akan dianggap takhayul dan gaib. Meski pada kenyataannya ada juga orang-orang yang bisa disembuhkan dengan cara tersebut—meski ada juga yang tidak.
Sikap ini sebenarnya menunjukkan betapa bias kelasnya kita sebagai masyarakat sosial. Seperti menciptakan fasis-fasis kecil. Kalau nggak sepemikiran ya berarti salah total. Melihat ada terapi sujok lalu diklaim bisa menyembuhkan saja bawaannya pingin ngata-ngatain goblok. Lihat orang antre panjang banget di tempat pengobatan alternatif bilang kalau orang-orang itu belum tercerahkan.
Padahal, keberadaaan pengobatan alternatif tidak melulu buruk. Bahkan ketika terapinya terkesan belum masuk akal.
Saya ambil contoh ketika fenomena “batu Ponari” booming di Jombang beberapa tahun silam, misalnya. Ratusan orang sampai rela antre berjam-jam (bahkan berhari-hari) agar bisa sembuh pakai sentuhan batu Ponari. Apakah mereka goblok? Ya nggak, mereka cuma nggak mampu bayar biaya dokter mahal kayak kamu aja. Hanya dengan membayar uang parkir dan tarif seikhlasnya, mereka jadi punya harapan bisa sembuh. Dan hal seperti itu jauh lebih baik ketimbang komentar kita yang ngata-ngatain mereka tolol.
Oke baiklah, saat ini mungkin kita sudah terfasilitasi dengan adanya BPJS Kesehatan, tapi asal kamu tahu, tak semua daerah di Indonesia punya akses BPJS Kesehatan yang baik layaknya kota-kota besar di Jawa. Ada juga daerah yang pelayanan kesehatannya tidak sebaik yang dimiliki oleh orang-orang dengan nalar sebaik kamu. Apakah harapan mereka sembuh dengan cara yang tidak bisa kamu pahami lantas membuatmu layak merasa lebih baik?
Mau sekontroversial apapun sebuah terapi penyembuhan, ada baiknya tak segampang itu mendiskriminasi apalagi sampai menghina. Kalau memang kamu merasa lebih tercerahkan dan lebih menjunjung nalar tinggi, kenapa kamu nggak sumbang saja sedikit rezekimu untuk bawa pasien-pasien terapi suljok (selain yang di postingan tadi) ke dokter spesialis.
Lantas ketika kamu ditanya, apa ada jaminan 100 persen kalau dibawa ke dokter spesialis pasti hilang penyakitnya? Kalau lebih bisa dijelasin sih memang iya karena ada teorinya, lha kalau sembuh? Berani jamin? Jawab, Markonaaah… Jawaaab.