MOJOK.CO – Menjadi tua tidak harus menjadi menyebalkan, melihat remaja alay tidak perlu dicaci. Namanya masa muda, emang isinya kebodohan demi kebodohan.
Waktu SMP kelas 3, kelas saya terletak di pojokan. Kelas yang lebih mirip gudang tersebut ruangnya begitu luas. Ruang yang luas, diisi dengan orang-orang turah tenagane, jadilah lapangan futsal dadakan. Bolanya pake sampah yang dibungkus plastik dan ditali pakai karet.
Karena terletak di pojokan, bolos adalah hal gampang. Kalau yang lain harus menyelinap, kelas saya tidak. Cukup jalan santai ke lantai satu, dan menunggu temen-temen cewek lempar tas dari atas. Saking seringnya, guru BK merasa perlu mengintai kami. Pernah pas kami lengah kami ketahuan guru BK di tengah prosesi menangkap tas.
Kegiatan bodoh yang saya lakukan saat itu kalau diingat-ingat itu bikin emosi juga. Kok bisa segoblok itu jaman dulu. Tapi menyenangkan juga, masa muda dipenuhi dengan adrenalin yang mengalir deras sering membuat saya melakukan keputusan bodoh yang sampai sekarang tidak pernah saya sesali. Seperti kebanyakan anak muda yang lain, saya pernah melalui masa menjadi remaja alay.
Namun semakin tua, saya menemukan bahwa sekeliling saya mengutuk tindakan anak muda alay tersebut. Mereka mengejek gaya rambut, mengejek gaya pacaran, mengejek tindakan yang dilakukan, seakan mereka terlahir ceprot langsung tua-dewasa-bijaksana.
Kalau saya disuruh jujur, keinginan saya dulu ya punya rambut macam Almarhum The Rev. Saya dulu juga pernah punya banyak kaos v-neck karena ngefans berat sama Asking Alexandria. Itu alay? Iya. Apakah saya tidak sadar itu alay? Lha gimana, saat itu menurut saya it looks good on me. Perkara lain nggak dipikirkan.
Ada ironi yang saya lihat belakangan. Alih-alih makin mengerti, makin dewasa yang kita lakukan adalah mengutuk tindakan anak muda yang sebenarnya pernah kita lakukan. Mungkin karena kita tahu bahwa itu salah, tapi kalau sebenarnya itu tidak membahayakan, kenapa kita harus mengutuk para remaja yang bertindak bodoh karena mereka menyukainya?
Bagi anak-anak remaja, hidup itu adalah bagaimana bersenang-senang. Survive bagi mereka adalah berhasil mengerjakan PR yang nggak masuk akal dan lolos dari guru killer. Kalau mereka mencari kesenangan lewat hal-hal bodoh itu ya wajar, orang hidup mereka masih di titik itu.
Kalau ada fenomena remaja alay yang kesebar di medsos macam lulus terus coret-coret baju, kalian yang tua-tua (dan mengaku tua padahal baru umur 22) langsung ngomong “kalian seneng banget nih coret-coret, belum tau rasanya skripsimu dicoret-coret,” seakan kalian paling tahu masalah hidup, Gusti Allah lewat pokoke. Ha mbok yo ben, orang mereka nggak tiap hari corat-coret, mereka merayakan sesuatu yang mereka capai. Mereka yang bahagia, kok kamu yang ngamuk-ngamuk?
Dalam mata kuliah Children’s Literature yang pernah saya ikuti, dosen saya berkata bahwa permasalahan dalam sastra anak adalah pandangan orang dewasa cenderung meremehkan kemampuan berpikir anak kecil. Mirip sama orang tua yang kalau debat sama anak muda, mulai bawa-bawa umur. Kalian yang menyebut remaja alay itu norak dan sebagainya itu ya kira-kira sama aja, kalian memandang rendah mereka hanya karena kalian pikir kalian udah (((banyak makan asam garam kehidupan))).
Kalian mau cerita tagihan, skripsi dicoret, UMR yang menyedihkan ke anak SMA sama kuliahan semester awal (1-2) ya nggak masuk ke kepala mereka. Menceritakan hal-hal menyedihkan yang ada pada kehidupan dewasa justru mematikan kesenangan mereka. Akan tiba masanya mereka menemukan itu pelan-pelan.
Memandang rendah kemampuan berpikir mereka hanya karena bertingkah alay itu fatal. Banyak orang yang lupa bahwa bertingkah bodoh dan bersenang-senang adalah salah satu coping mechanism dari rasa sakit yang mereka rasakan. Pada gerombolan remaja alay yang kalian maki, ada yang menangis tiap malam karena tidak tahu siapa orang tuanya, ada yang menangis karena ayahnya pulang-pulang mabuk, ada yang diam-diam menyimpan rasa sakit karena pelecehan yang ia terima.
Hanya karena kita menjadi menyebalkan gara-gara kehidupan dewasa yang mengerikan, bukan berarti kita berhak memandang rendah para remaja alay yang menikmati kebodohan tanpa beban. Ingat bahwa pada masa seumuran mereka, kegiatan bodoh yang menyenangkan itu menggelitik untuk dicoba.
Apakah menceritakan pengalaman memanjat tembok sekolah karena telat tapi ketahuan itu menyenangkan? Jelas. Tentu saja vibe yang diciptakan dari menceritakan kebodohan itu berbeda ketika menceritakan bagaimana kamu melibas ulangan Kimia. Kenangan akan kebodohan masa mudamu itu mewarnai hidupmu dengan berbagai warna. Bayangkan hidupmu begitu lempeng di masa muda, betapa menyebalkannya masa tuamu tidak memiliki sesuatu yang dikenang.
Saya sarankan mulai dari sekarang, kurang-kurangi memandang anak-anak muda yang lagi senang-senangnya ngebucin dan bertingkah bodoh dengan sinis. Remaja alay itu masih berusaha mencari pijakan dalam hidupnya, nanti juga menghadapi tagihan tanpa kalian minta. Di hidup yang bajingan ini, kamu bisa membuat dunia terasa lebih baik dengan tidak melarang orang bersenang-senang.
*N.p. Sheila on 7 – Kisah Klasik untuk Masa Depan*
BACA JUGA 6 Cara Mendeteksi Cewek Bucin Secara Akurat dan artikel menarik lainnya di POJOKAN.