MOJOK.CO – Apresiasi terhadap UMY yang telah berpihak terhadap korban dan tetap berhati-hati dalam menangani kasus kekerasan seksual. Nggak kayak UGM.
Harus diakui, kasus kekerasan seksual di dunia akademik menjadi sorotan publik dan menjadi perbincangan sangat intens beberapa tahun belakangan sejak kasus “Agni UGM”.
Saya ingat betul pada November 2018 ketika itu. Masa-masa ketika laporan dari Balairung, Pers Mahasiswa UGM, merilis laporan kekerasan seksual. Sejak itu, 3-4 tahun sampai sekarang, laporan soal kasus kekerasan seksual di kampus jadi lebih sering mencuat ke permukaan. Media lokal atau internal kampus, tidak lagi “takut” memuat laporan tersebut.
Sebagai seorang mantan jurnalis pers mahasiswa, saya tentu merasa sangat bangga dan kagum dengan adik-adik mahasiswa Balairung ketika dengan berani memuat laporan kekerasan seksual seperti itu.
Mengingat, berita semacam ini, punya risiko yang tidak main-main. Bisa saja laporan ini akan menjadi backfire karena dianggap mencemarkan nama baik UGM. Salah satu kampus paling prestisius seantero negeri. Si mahasiswa, baik korban maupun jurnalis kampus yang memuat laporan itu bisa saja berada dalam posisi rawan.
Keberanian mereka–baik Agni sebagai korban maupun Balairung sebagai media yang mengakomodasi laporan itu—setidaknya benar-benar mengubah mindset banyak orang bahwa dunia akademik tidaklah suci-suci amat.
Bahwa dunia akademik juga punya dosa terselubung dalam kasus kekerasan seksual iya, namun bukan soal bagaimana dosa itu yang kemudian disorot, melainkan bagaimana langkah kampus berusaha bertanggung jawab menghadapinya.
Inilah yang kemudian dicontohkan oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Kamis (6/1) kemarin. Kampus yang agak mencit di area Selatan kota Yogyakarta itu dengan “berani” melakukan tindakan tegas terhadap mahasiswa berinisial MKA yang diduga telah melakukan kekerasan seksual.
MKA, inisial pelaku ini, merupakan mahasiswa UMY angkatan 2017 dan dikenal sebagai aktivis kamus. Tanpa kebanyakan petingsing, UMY memutuskan mengeluarkan si terduga pelaku (disebut “terduga” karena kasus ini belum dibawa ke ranah pidana).
Tindakan tegas ini juga bukan karena desakan emosional belaka, namun setelah hasil investigasi kampus menunjukkan bukti-bukti bahwa si pelaku melakukan kekerasan seksual terhadap 3 mahasiswi UMY.
Apresiasi dan standing applause rasanya layak diberikan kepada jajaran pejabat-pejabat UMY, bukan hanya soal bagaimana mengawal kasus ini secara hati-hati, tapi juga bagaimana mereka punya keberpihakan yang sangat jelas terhadap korban.
“Yang bersangkutan sudah mengaku. Dan korban ada yang sangat kronologis (menceritakannya), saya diginiin terus diginiin,” kata Rektor UMY, Gunawan Budiyanto.
Tidak hanya tindakan tegas pada pelaku, UMY juga akan mengawal dan mendampingi para korban. Mengingat ketiga korban dari MKA ini masih menjadi mahasiswi aktif di UMY.
“Tiga-tiganya aktif kuliah. Kita dampingi sampai selesai. Jangan sampai jatuh tertimpa tangga, kita lugas, tegas, detail, tapi secara langsung kita ikut menghancurkan si korban,” kata Rektor UMY.
Sikap dari UMY semacam ini seolah menjadi oase bagi ‘gurun’ kasus kekerasan seksual yang terjadi di dunia akademik Indonesia. Apalagi mengingat, kasus semacam ini acapkali justru jadi bencana tambahan bagi korban.
Padahal, menurut laporan kolaboratif #namaBaikKampus yang melibatkan beberapa media populer Indonesia, seperti Tirto.id, The Jakarta Post, dan Vice Indonesia, diketahui bahwa sedikitnya ada 174 korban kekerasan seksual yang menyebar di 79 kampus di seluruh Indonesia dari penelusuran sejak 13 Februari sampai 28 Maret 2019.
Ratusan korban ini tentu punya spesifikasi kasus yang berbeda-beda. Ada yang dilecehkan, diintimidasi secara seksual, dan 13 di antaranya korban pemerkosaan. Secara keseluruhan, hanya 20 persen dari 174 korban itu yang pada akhirnya melapor. Rata-rata khawatir bahwa laporannya justru dianggap “berlebihan”.
Kekhawatiran inilah yang menguatkan asumsi bahwa kasus kekerasan seksual di Indonesia seperti fenomena gunung es. Kasus-kasus viral yang ada di sekitar kita, di media sosial kita, sebenarnya hanyalah segelintir.
Asumsi ini dikuatkan juga dari hasil survei daring oleh Lentera Sintas Indonesia dan Magdalena.co. Survei tersebut menemukan bahwa ada 93 persen penyintas kekerasan seksual tidak melaporkan kasusnya ke aparat penegak hukum. Sebagai catatan, survei ini dilakukan 2016, atau dua tahun sebelum kasus “Agni UGM” mencuat ke publik.
Berbanding terbalik dengan kasus UMY, di mana pihak rektorat bergerak cepat sekaligus lebih dulu memakai perspektif korban—di kampus UGM, Agni harus “berdarah-darah” untuk menemukan keadilan. Bahkan keadilan yang diharapkan tak datang-datang juga sampai sekarang.
Meski begitu, justru karena kasus Agni tersebut, beberapa kampus jadi lebih punya concern yang lebih soal cara penanganan kasus kekerasan seksual di instansinya. Terlebih lagi, banyak media dan SJW-SJW di media sosial semakin galak kalau soal urusan begini-begini. Ini juga bikin beberapa kampus jadi hati-hati.
Dan salah satu yang melakukannya dengan hati-hati dan layak diberi apresiasi setinggi-tingginya dalam periode sekarang ini jelas UMY.
Setidaknya, UMY layak sudah mereka jadi uswatun hasanah. Ibarat status SD Inpres, UMY ini harus segera mendapat gelar sebagai kampus percontohan.
BACA JUGA 7 Hal yang Bikin Netizen Muntab dalam Kasus Novia Widyasari dan artikel lainnya di POJOKAN.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Ahmad Khadafi