Jujur saja, guru itu profesi paling unik bagi saya. Sebab, semua pihak berusaha membuat banyak argumen untuk mencegah mereka sejahtera dan membuat mereka tetap miskin hingga mati.
Misalnya, guru itu profesi mulia, ladang amal, maka jangan pernah tujuannya mencari uang.
Sekilas, sekilas, ucapan itu amat keren, indah, megah. Tapi bagi saya itu bunyinya selalu “terima saja nasibmu, digaji ratusan ribu saja harusnya sudah bersyukur”. Alias, sebuah usaha untuk menjadikan guru tetap miskin dan tak akan mengupayakan kesejahteraan mereka.
Kenapa saya bisa bilang begitu? Karena yang bilang seperti itu, rata-rata, adalah orang yang harusnya berwenang menyejahterakan para pendidik, dan orang yang sudah kelewat kaya.
Guru vs everybody
Kalau sudah ngomongin kesejahteraan guru, selalu ada saja kontra argumen dan usaha-usaha untuk tidak meloloskannya. Biasanya, argumen tentang kapabilitas guru jadi bahan gorengan paling utama. Banyak yang bilang, kualitas guru sekarang tak layak untuk diberi gaji tinggi.
Bagi saya, itu argumen terkonyol yang pernah dibuat di muka Bumi ini. Terlebih jika itu diucapkan orang Indonesia, yang negaranya dipenuhi pejabat bergaji kelewat tinggi tapi kompetensi kelewat rendah, mengarah ke tolol.
Padahal jika mau duduk barang sejam dengan guru-guru muda yang ada di sekolah, kalian tahu betul bahwa kompetensi guru terlihat buruk karena sistemnya buruk. Pepatah berkata, ikan busuk dari kepala, dan itu adalah gambaran terbaik kenapa pendidikan kita terjun bebas seiring berjalannya waktu.
Alih-alih memperbaiki kualitas guru, yang ada hanyalah gebrakan dan kurikulum baru yang jelas-jelas tidak menyasar perbaikan kualitas. Dengan seabrek so-called inovasi, tapi hal paling esensial seperti kesejahteraan tenaga pendidik saja tak pernah beres. Mau dilihat dari segi mana pun, ini nggak masuk logika.
Katakanlah kita beneran fokus ke kualitas guru, sebenarnya, guru-guru generasi baru itu jago-jago. Saya akan menolak argumen lulusan pendidikan UNY dan kampus sejenis itu tidak kompeten. Sebab, kurikulum yang diberikan pada mahasiswa, materinya, dan hal-hal lain amat bagus. Nggak mungkin juga UNY dapat predikat kampus pendidikan tanpa sebab. Tapi kenapa mereka nggak meneruskan profesi mereka? Nguteko sitik, digaji 300 ribu siapa yang mau.
Itu baru satu argumen. Dan masih banyak argumen lain, seakan-akan perbaikan nasib guru dari segi ekonomi itu adalah tabu. Seakan-akan kalau gaji guru naik, Dajjal keluar dari persembunyiannya.
Guru vs everybody part 2
Yang menyedihkan dari perkara kesejahteraan guru itu satu sebenarnya: secara terbuka, orang-orang yang ada di pemerintahan terkesan tidak menunjukkan dukungan mereka terhadap perbaikan kesejahteraan guru.
Sri Mulyani, mengutarakan bahwa kecilnya gaji guru dan dosen itu merupakan tantangan keuangan negara, dan (entah kenapa, anehnya) berkata apakah semuanya harus ditanggung negara atau masyarakat juga berpartisipasi. Lalu, ditambah belum lama ini, Menteri Agama berkata bahwa guru itu profesi mulia, tak perlu mengejar uang.
Dua pernyataan itu hanya segelintir dari banyaknya pernyataan buruk yang dilontarkan oleh pejabat negara yang harusnya ada di pihak rakyat. Melihat itu, saya beneran heran, apa salah guru hingga orang-orang pemerintah seakan-akan anti betul dengan isu kesejahteraan mereka.
I mean, lihat anggota DPR. Saya tahu contoh ini kelewat sering kalian dengar, tapi tetap saja penting dan relevan. Coba lihat tunjangan-tunjangan mereka, tak pernah sekali pun saya dengar ada pejabat mengeluh gaji mereka kegedean. Yang ada, malah merasa kekecilan.
Tentu saja, Sri Mulyani dan Menteri Agama tak pernah komen sejelas itu terhadap tunjangan para pejabat, tidak seperti saat mereka mengomentari gaji guru dan dosen.
Baca halaman selanjutnya
Gimana kalau menteri digaji rendah?
Gimana kalau menteri digaji 300 ribu per bulan?
Saya pikir, kalau memang kata-kata “guru itu adalah profesi mulia” bikin mereka harus menerima digaji ratusan ribu saja per bulan, maka, saatnya kita sepakati bahwa profesi ini adalah profesi yang biasa saja.
Anggap saja guru itu sebagaimana orang lain: bekerja untuk mendapat gaji dan menghidupi diri. Nggak usah dianggap mulia, yang penting mereka bisa sejahtera dan tak perlu terlilit pinjol atau menyerah dan pindah profesi di tengah jalan.
Nah, predikat profesi mulia ini, mari kita sematkan ke menteri dan pejabat-pejabat yang lain. Profesi ini beneran mulia kok. Nyatanya, mereka mendapat status sosial yang tinggi dan punya kasta tersendiri di masyarakat. Dari protokoler mereka saja, terlihat bahwa mereka ini memang “orang-orang mulia”.
Nah, karena mereka-mereka ini punya profesi yang mulia, maka saatnya mereka digaji 300 ribu per bulan, dirapel tiap 3 bulan sekali, dan nggak usah dikasih tunjangan. Ya ngapain dikasih, kan ini profesi mulia. Kalau cari uang, ya jadi pedagang, jangan jadi menteri, pejabat pemerintahan, atau orang-orang penting di pemerintahan.
Setuju kan, bapak dan ibu menteri? Setuju kan kalau jenengan digaji 300 ribu per bulan kayak guru honorer? Kan profesi mulia. Kalau jenengan nggak cocok, mungkin jadi pedagang aja, kayak yang jenengan bilang. Saya cuman pakai logika kalian lho ya.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Selama Gaji Guru Tidak Naik, Universitas Pendidikan macam UNY Hanya Akan Jadi Pencetak Orang Miskin Baru dan catatan menarik lainnya di rubrik POJOKAN
