Saya Nikah Muda dan Saya Baik-baik Saja

Nikah muda zaman dulu lebih sederhana. Tak seperti sekarang yang sudah jadi bahan perdebatan di kelompok konservatif dengan progresif.

Saya Nikah Muda dan Saya Baik-baik Saja

Saya Nikah Muda dan Saya Baik-baik Saja. (mojok.co/ega fansuri).

MOJOK.COSeorang teman pernah menasihati saya soal keputusan saya nikah muda. Katanya, saya kelewat berani karena saya (dinilainya) belum siap mental.

Iya, betul, saya adalah pria yang memutuskan nikah muda.

Di saat teman-teman tongkrongan saya masih asyik-asyiknya kerja atau kuliah, saya sudah punya tambahan kesibukan, yakni mengurus keluarga. Bagi beberapa teman, keputusan saya itu dibilang terlalu cepat. Umur segitu seharusnya masih bisa main-main, dolan-dolan dulu.

Oke, saya tahu, dalam lingkungan tertentu, usia awal 20-an tahun tidak bisa dikategorikan serta merta sebagai usia nikah muda. Di daerah lain, usia saya itu bisa jadi dikategorikan usia nikah yang ideal. Oh iya, itu memang betul. Tapi di lingkungan saya, di kota Jogja, dengan banyak aktivitas yang bisa kamu lakukan kalau kamu masih bujang, keputusan saya ini bisa dibilang kecepatan.

Teman saya bahkan pernah menasihati saya ketika saya memutuskan nikah muda itu, keputusan saya dianggap telah menutup peluang-peluang saya ke depan untuk berkembang, sekaligus saya dianggapnya belum siap secara mental.

Soal kekhawatiran itu, saya akui itu ada benarnya. Saya memang sempat agak terasing dari pergaulan teman-teman saya—dan itu agak mengganggu buat saya pada mulanya.

Di tongkrongan, ketika teman saya yang lain bisa dengan enteng begadang semalaman, saya harus pulang sebelum jam 10 malam. Sudah ada istri yang menunggu di rumah.

Atau ketika ada kerjaan penelitian atau penulisan, yang membutuhkan waktu sampai nginep di tempat yang jauh, saya adalah yang paling rumit untuk diajak. Bukan apa-apa, saya harus minta izin dulu karena ada istri di rumah.

Bahkan istri saya punya julukan sendiri dari teman-teman saya, yakni “Ibu Kapolda”, karena kerap menelepon ketika saya masih rapat atau diskusi dengan teman-teman saya. Bahkan saya perlu bikin SKCK ke istri kalau mau sekadar ngopi ketemu teman, dan perlu legalisir kalau ingin melakukannya lagi di lain hari.

Namun saya percaya, setiap manusia itu yang berhasil adalah yang bisa beradaptasi, bukan mereka yang berusaha mengubah dunia di sekitar sesuai dengan ekspektasinya. Hal yang ternyata cukup berhasil saya jalani.

Dulu, ketika saya menikah, belum ada itu kampanye nikah muda yang masif. Dunia ini juga masih terlihat begitu sangat sederhana, mungkin karena media sosial belum sebanal seperti sekarang sih.

Kampanye nikah muda untuk menghindari zina dan segala tetek bengeknya belum ada. Ada sih, tapi mungkin terkonsentrasi di pengajian-pengajian tertentu. Dulu, dalam dunia yang lebih sederhana itu, nikah ya nikah aja. Belum ada perdebatan soal nikah harus ada kesiapan mental, kesiapan finansial, dan segala macam.

Itulah kenapa saya kadang justru bingung dengan perdebatan soal nikah muda atau usia nikah ideal. Ada yang setuju nikah muda karena dianggap bisa menghindarkan zina (hambok kiro yen wis nikah ki ra ono peluang zina juga po yo?), tapi ada juga menolak karena menikah muda itu rawan sekali karena dua pasangan belum ada kesiapan mental yang cukup.

Sebelum media sosial sebrutal seperti sekarang, perkara nikah itu simpel saja. Asal kedua keluarga cocok, kedua mempelai cocok, ya sudah nikah aja. Sekarang, dengan banyak istilah-istilah seperti quarter life crisis sampai overthinking, saya justru heran melihat orang mau memutuskan menikah saja kok kesannya jadi rumit sekali.

Kayak hidup sesudah nikah itu nggak ada, padahal hidup yang sebenarnya (bagi yang mau nikah lho tentunya) ya ada di sana.

Nikah itu kan bukan tujuan, tapi fase. Perjalanan hidup, Lur. Artinya, kalau kamu terlalu kelamaan persiapan, terlalu berharap semuanya berjalan sempurna, yakin sama saya, kamu nggak akan ke mana-mana. Nikah hanya akan jadi wacana dan perdebatan doang.

Namun, bukan berarti saya bilang bahwa faktor mental dan finansial itu tidak harus disiapkan. Iya, itu memang perlu disiapkan, tapi nggak yang terlalu butuh dipikirkan. Karena nikah itu urusannya adalah perkara-perkara empirik, bukan perkara-perkara rasional.

Mau muda mau tua, itu jauh lebih banyak urusan pengalamannya. Pemikiran yang kelewatan hanya akan membuatmu jadi penuh ketakutan.

Dulu, ketika saya memutuskan nikah muda, saya memang tidak punya gaji yang cukup. Kalau keputusan saya dilandasi pada alasan rasional saja, ya bisa saja saya nggak nikah sampai sekarang. Karena ukuran cukup secara ekonomi itu kan sebenarnya nggak ada.

Saya jadi ingat dengan nasihat kakak saya, “Hidup itu adalah soal apa yang terjadi di sekitar kita, dan bagaimana kita bereaksi terhadapnya.”

Dengan memutuskan nikah muda, reaksi-reaksi saya terhadap persoalan yang hadir itulah yang membuat saya justru jadi “hidup”. Hidup jadi penuh tuntutan di sana-sini dan bagaimana saya beradaptasi dengan itu semua.

Saya dulu pikir, saya tak akan mampu menghadapinya (tuntutan dari mertua, dari keluarga), tapi ketika saya harus menjalaninya, ternyata saya kuat-kuat saja, bisa-bisa saja.

Ketika teman-teman saya kerja dan ketika gajian bisa dimakan sendiri, bisa untuk foya-foya untuk beli ini-itu, saya harus menabung. Ketika teman-teman saya (yang belum nikah), proyeksi masa depannya hanya 3-4 tahun ke depan, saya sudah 10-20 tahun ke depan. Bukan apa-apa, karena saya tak hanya memikirkan istri saja, tapi juga harus memikirkan bagaimana hidup anak-anak saya.

Bahkan saya jadi ingat, pada salah satu fase hidup saya, saya adalah satu-satunya pegawai di kantor saya yang bawa bekal makan siang di kantor. Dan itu saya lakukan bertahun-tahun.

Saya juga sempat ada pada fase, tak punya uang di ATM, dan beneran harus puasa karena saya dan istri kehabisan uang. Fase-fase kehidupan yang sudah saya alami ketika banyak orang di usia segitu masih sibuk dengan quarter life crisis, saya malah mengalami life crisis secara harfiah.

Buat beberapa teman, itu adalah kutukan saya karena saya nikah muda, meski bagi saya itu sesuatu yang menyenangkan dan menggembirakan. Karena setidaknya, fase tersulit dari pernikahan, saya sudah pernah mengalami dan terbiasa dengannya.

Karena satu saja; saya merasakan kesulitan itu semua pada usia yang masih benar-benar muda sehingga saya masih bisa mengubah diri untuk bernegosiasi dengannya.

BACA JUGA Merencanakan Pernikahan Jauh Lebih Rumit Ketimbang Mencari Pasangan atau ESAI lainnya.

Penulis: Ahmad Khadafi

Editor: Ahmad Khadafi.

Exit mobile version