MOJOK.CO – Keresahan pekerja karena WhatsApp Web masih bunyi terus bahkan di luar jam kerja itu memang baiknya diatasi dengan ganti aplikasi pesan.
Saya beneran penasaran, apa yang dilakukan pekerja medioker, karyawan swasta, dan para ASN di zaman sebelum WhatsApp Web dan tetek bengeknya muncul. Jawaban dari pertanyaan ini jelas bervariasi, tapi yang pasti mereka bisa tetap berkoordinasi, ngobrolin masalah kerjaan, dan meeting tepat waktu walau tanpa aplikasi pesan.
Kita boleh yakin bahwa di zaman dulu mungkin nggak ada keluhan dengan nada-nada galak seperti sekarang. Ketika banyak pekerja yang protes perihal dihubungi di luar jam kerja, WhatsApp Web bunyi terus pas lagi nonton film, sampai WhatsApp grup kerjaan malah membahas perkara absurd yang cuma dipahami segelintir orang. Tapi, setiap zaman, pasti punya keluhan mereka masing-masing.
Entah sejak kapan WhatsApp jadi aplikasi pesan yang identik dengan grup kerjaan. Legitimasi seorang karyawan baru gabung juga ditandai dengan masuknya ia di grup-grup WhatsApp kantor. Mulai dari grup besar kantor yang isinya semua karyawan dan bos, grup divisi yang kepentingannya untuk koordinasi, grup underground yang nggak ada bosnya, sampai grup-grup iseng yang obrolannya seputar makanan di kulkas kantor.
Template sambutannya pun sama.
“Halo, Ega, selamat bergabung di grup WhatsApp kantor kita.”
“Halo, Ega, kalau yang ini grup divisi ya. Jangan lupa WhatsApp Web harus on terus selama jam kerja.”
“Bro Ega, ini grup gibah.”
Makin bertambah grup WhatsApp, makin bertambah juga notifikasi dan keribetan yang menunggu di kemudian hari.
Niatnya memang baik. Menjadikan aplikasi WhatsApp sebagai workplace memungkinkan semua pekerja aktif dalam berkoordinasi dan responsif ketika dihubungi. Lagi pula, WhatsApp terasa lebih accessible ketimbang surel yang banyak berisi press release dan promosi. Yang jelas, hampir setiap orang sudah punya WhatsApp, jadi nggak perlu pusing-pusing download dan daftar.
Sayangnya, sekali waktu anggapan ini jadi terasa salah kaprah, saat semua pekerjaan justru menumpuk jadi notifikasi WhatsApp dan cuma bikin pusing. Belum lagi, jika saat jam kerja kita mengaktifkan WhatsApp Web, notifikasi yang masuk benar-benar tercampur. Grup kerjaan rame, japrian dari bos juga belum dibalas, emak bapak di rumah juga tanya kabar dan minta pesannya segera dibalas.
Dalam satu kesempatan, kantor di mana saya bekerja dulu pernah mencoba alternatif lain selain WhatsApp. Mereka menggunakan Trello, sebuah situs yang memungkinkan kita nget-track kerjaan dengan mudah. Lewat situs ini, si bos bisa mengawasi kerja officer-officer mereka, dan para officer juga bisa nge-track apa yang belum mereka kerjakan. Trello memang terasa jauh lebih profesional ketimbang WhatsApp Web.
Sayangnya, orang-orang kembali ke grup WhatsApp lagi. Si bos mulai nge-chat japri lagi, grup mulai ramai dengan pertanyaan ini-itu seputar pekerjaan, dan klien dari kantor-kantor lain juga pakai WhatsApp buat “ngobrol”. Jadilah kami terjerembab di lubang WhatsApp Web yang sama, menyala sepanjang hari demi cuan kami mengabdi.
Sebenarnya WhatsApp Web punya banyak banget kekurangan kalau nekat dijadikan aplikasi buat kerja. Pertama, jelas, di luar jam kerja orang-orang dari kantor bakal tuman ngomongin kerjaan padahal konteksnya lagi santai. Kedua, dokumen penting yang dibagikan lewat grup chat mudah hilang dan ketumpuk percakapan nggak penting yang bisa kapan saja muncul. Sebab, ya WhatsApp kan memang aplikasi pesan yang memancing psikologis kita buat bercakap-cakap santai. Ya begitulah jadinya, tiba-tiba ngomongin hantu di kantor, ngomongin stok Indomie di dapur, sampai ngecengin karyawan yang baru jadian. Hadith, dasar kerumunan manusia~
Ketiga, WhatsApp tidak didesain untuk bekerja. Nggak ada fitur memo, fitus acc, dll. yang bisa dikirimkan ke officer, nggak ada fitur cc dokumen, dan nggak didesain untuk berkoordinasi secara khusus.
Lebih-lebih dari ketiga faktor di atas, WhatsApp sudah paling mutlak kebanyakan notifikasi dari kanan kiri, utara selatan tenggara barat daya dan bikin lelah secara mental. Ya kali, buka laptop, buka WhatsApp Web, lalu anxiety. Harusnya kan jadi semangat kerja, kerja, kerja!
Problem macam ini adalah pertanda kita harus hijrah dari aplikasi WhatsApp yang mahapelik. Misalnya bikin grup kerjaan di Telegram, mulai pakai Trello lagi, atau memfungsikan surel sebagaimana mestinya. Penggunaan surel ini udah paling bener. Sebab surel, bikin kita mudah cari data dan cari percakapan yang lama. Jadi kalau suatu saat ada brief kerjaan yang nggak dipenuhi oleh rekanmu yang kerjanya ngawur sekarep udel, buktinya sudah jelas tertera.
Terpenting, surel nggak akan seberisik WhatsApp Web dan notifikasinya terkontrol. Nggak bakal ada percakapan sampah donat di kulkas kantor boleh dimakan atau nggak.
BACA JUGA WhatsApp Sekarang Jadi Medsos yang Bikin Capek Lahir Batin atau artikel lainnya di POJOKAN.