RUU PKS: Jawaban atas Tren Pemerkosaan dan Kekerasan Seksual

Kalau saja RUU PKS sudah menjadi UU, para korban akan mendapat keadilan.

Melihat lebih utuh kasus pelecehan seksual difabel terhadap mahasiswi Mataram MOJOK.CO

Ilustrasi - Melihat lebih utuh kasus pelecehan seksual difabel terhadap mahasiswi Mataram. (Mojok.co)

MOJOK.CORUU PKS seperti mendapatkan jalan. Ndilalah, sekarang ini wis wayahe, terutama jika kita menengok tren kekerasan seksual dengan pemerkosaan.

Sebagai orang Jawa, saya cukup akrab dengan kata ndilalah. Makna dari kata tersebut, bagi saya, tidak bisa dijelaskan dengan padanan satu kata saja. Proses munculnya kata ndilalah mengandung banyak aspek. Salah duanya adalah sebab dan akibat. Ada hubungan kausalitas yang seperti “muncul begitu saja”.

Bagi beberapa orang Jawa lainnya, ini seperti wahyu dari Tuhan. Seperti sebuah petunjuk bahwa sesuatu sudah seharusnya terjadi. Orang Jawa menyebutnya dengan istilah wis wayahe. Sebuah kondisi di mana sebuah peristiwa harus terjadi. Tidak bisa ditawar. Kalau ditolak, hal-hal buruk tidak akan hilang.

Iya, saya sedang bicara soal RUU PKS atau Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Sebuah RUU untuk melindungi korban dari berbagai rupa kekerasan seksual. Sebuah RUU yang sampai saat ini belum “melihat cahaya”. Masih gelap di atas tumpukan berkas para wakil rakyat.

RUU PKS adalah sebuah ide mulia yang dipikirkan dengan matang oleh Komnas Perempuan. Kalau RUU PKS disahkan menjadi UU, untuk kali pertama, hukum di Indonesia akan memandang brengseknya kekerasan seksual dari mata korban.

Selama ini, korban kekerasan seksual tidak pernah mendapat tempat paling mulia. Mereka dibungkam. Dianggap hina oleh keluarga. Dicampakkan oleh masyarakat. Luka yang mereka derita bukan hanya luka fisik. Namun, mereka menanggung luka batin yang lebih destruktif.

Saya sangat prihatin ketika perjuangan mengesahkan RUU PKS coba diganjal dengan berbagai hoaks. Salah satunya petisi yang pernah dibuat oleh Maimon Herawati, sroang dosen jurnalistik. Maimon menyebut RUU PKS sebagai RUU Pro Zina. Luar biasa menyeramkan tuduhannya.

Tuduhan ini dibantah dengan keras oleh Komnas Perempuan. “Kenapa kami sebut bohong, karena apa yang disampaikan itu (informasi yang beredar di internet atau sosial media-red) memang yang tidak ada dalam RUU. Ada nggak dalam RUU itu menyebutkan bahwa orangtua yang meminta anak-anaknya pakai jilbab akan dipidinakan? Dan (soal) melegalkan LGBT, tidak ada satu LGBT pun yang muncul dalam RUU. Tidak ada kata free sex, zina. Itu semua ngga ada,” jelas Azriana, Ketua Kompas Perempuan.

Saya bersyukur serangan dari Maimon, orang yang dulu pernah sengit betul sama Blackpink, tidak punya kekuatan lagi. Bahkan, seperti yang saya jelaskan di awal tulisan, RUU PKS seperti mendapatkan jalan. Ndilalah, sekarang ini wis wayahe, terutama jika kita menengok tren kekerasan seksual dengan pemerkosaan sebagai salah satu tindakannya, mulai sering muncul di media.

Topik kekerasan seksual dan pemerkosaan, yang sebelumnya hanya terasa hangat, kemudian meledak setelah Project Multatuli merilis sebuah laporan panjang. Sebuah laporan tentang pemerkosaan tiga anak yang dilakukan oleh bapaknya sendiri. Laporan yang menggegerkan media sosial.

Hingga kini, kasus tersebut belum menemukan kesimpulannya. Tentu sebuah kesimpulan yang seharusnya berpihak kepada korban. Belum juga beres, masyarakat kembali dihantam oleh kabar yang menghantam ulu hati, ketika Novia Widyasari bunuh diri di depan pusara bapaknya.

Novia Widyasari diperkosa oleh pacarnya, seorang anggota kepolisian. Ketika hamil, dipaksa untuk menggugurkan kandungannya. Dia dibenci keluarga calon mertuanya. Menjadi aib keluarga. Luka batin yang teramat dalam menghantarnya ke gerbang kematian.

Sampai di sini, seharusnya pembaca tahu bahwa RUU PKS harus segera disahkan. Para korban tidak pernah mendapat keadilan. Sudah jadi korban, mereka masih “disembelih” oleh kondisi yang sungguh brengsek.

Masih kurang bukti?

Seorang ibu muda di Riau, korban pemerkosaan, dimarai dan dipaksa untuk berdamai oleh petugas kepolisian. Sekali lagi, korban tak pernah mendapatkan perlindungan, apalagi keadilan. Mereka justru dibungkam.

Pembungkaman juga terjadi di kasus pemerkosaan 13 santriwati di Jawa Barat yang dilakukan oleh Herry Wirawan, pengelola ponpes. Lucunya, MUI Bandung justru mengajak masyarakat untuk tidak lagi menyebarkan aib ini. Iya, selalu, yang lebih penting adalah nama baik yang sebetulnya sudah kadung koyak, ketimbang nasib korban.

RUU PKS memang bukan alat super untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual dan pemerkosaan. Setidaknya, RUU ini akan menjadi pelindung bagi para korban. Apa, sih, susahnya meresmikan sebuah RUU yang untuk kali pertama berpihak kepada korban?

Tahukah kamu, berdasarkan data Komnas Perempuan, setiap dua jam, ada tiga perempuan di Indonesia mengalami kekerasan seksual. Selama ini, berbagai kasus yang terjadi tidak terendus, antara tidak terselesaikan atau korban takut melapor. Saat ini, semakin banyak kasus yang terdengar berkat kekuatan viral media sosial.

Ketika korban berani speak up, keberadaan mereka justru berusaha dimatikan. Pola pikir yang memandang korban sebagai aib ini harus diubah. Pola pikir kolot yang sangat tidak membantu usaha pencegahan kekerasan seksual dan pemerkosaan.

Masih ingat kasus Baiq Nuril? Dia dianggap bersalah melanggar UU ITE karena menyebarluaskan konten elektronik yang berisi tindakan asusila. Dokumen elektronik yang dimaksud berupa rekaman percakapan telepon dari Kepala Sekolah SMAN 7 bernama Muslim, kepada Baiq Nuril yang dianggap berisi muatan pornografi. Baiq Nuril menyimpan rekaman itu karena dia telah mengalami pelecehan seksual dan berusaha mencari keadilan.

RUU PKS sendiri akan membantu penegak hukum ketika memproses sembilan jenis tindak kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Selama ini, belum ada pengaturan yang komprehensif untuk sembilan jenis kejahatan kekerasan seksual di atas. Oleh sebab itu, korban akan menemui keterbatasan untuk mengakses keadilan dan hak penanganan. Artinya, kasus tersebut tidak bisa diproses melalui sistem peradilan pidana di Indonesia. Tidak ada landasan normatif bagi penegak hukum.

Pemulihan atas hak korban? Sudah pasti tidak ada. Pelaku kekerasan seksual saja bisa bebas tanpa jerat hukum. Lihat saja nanti….

Untuk memeriksa tren kekerasan seksual dan pemerkosaan, salah satunya, kamu bisa memeriksan kembali rekaman tagar “1 hari 1 oknum”. Ketika melakukannya, perasaan saya langsung berkata bahwa kalau saja RUU PKS sudah menjadi UU, para korban akan mendapat keadilan.

Novia Widyasari tidak perlu mengakhiri hidupnya karena luka batin. Baiq Nuril mendapatkan keadilan. Tiga belas santriwati bisa diselamatkan dari perbudakan seks dan fisik. Para korban dan calon korban mendapat payung. Punya pelindung dan kepastian bahwa keadilan pasti ditegakkan.

Apakah kamu juga sudah merasakannya? Ketika semua yang terjadi ini kok ya ndilalah sangat pas. Rasanya, memang wis wahaye ada sebuah UU yang menjaga kehormatan para perempuan. Para korban yang selama ini dibungkam dan dianggap sampah.

Sahkan RUU PKS!

BACA JUGA Laki-Laki Mendukung RUU PKS, Sebab Ia Memang Nggak Takut Dilaporin Istrinya ke Polisi dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version