MOJOK.CO – Ada dua kemungkinan orang nggak tertarik sama kisah keluarga halilintar. Pertama, lebih tajir. Kedua, punya saudara kandung yang hampir sama banyaknya.
Dulu, ketika Keluarga Halilintar mulai terkenal dan sering muncul di televisi, saya termasuk orang yang merasa biasa aja menyaksikan kemunculan keluarga ini.
Bukan, bukan karena keluarga mereka memang biasa aja, Keluarga Halilintar tetap luar biasa—jalan-jalan ke luar negeri, kaya raya, bahkan anak-anaknya kreatif semua. Mau bagaimana pun, hal itu harus diakui merupakan keunikan yang tak semua orang punya.
Hanya saja—sampai sekarang—saya menganggap; emang apa istimewanya punya saudara sebanyak itu?
Sampai kemudian saya punya kesimpulan sederhana. Jika ada orang yang tak merasa tertarik dengan kisah Keluarga Halilintar, bisa jadi ada dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama, karena memang orang itu dari keluarga tajir yang tingkat ketajirannya mungkin melebihi Keluarga Halilintar. Atau kedua, punya saudara kandung yang jumlahnya mendekati atau melebihi jumlah anak-anak di Keluarga Halilintar.
Sayangnya, kok ya saya ini adalah kelompok yang kedua, bukan pertama. Ealah, nasib.
Yak tul, saya adalah anak dari pasangan orang tua yang punya anak 10 biji. Benar-benar genap 10 biji. Yah, kurang satu biji ketimbang keluarganya Halilintar sih. Tapi tetap aja itu kebanyakan biji.
Saya berani memakai diksi “kebanyakan” karena hampir setiap orang tanya, “kamu anak ke berapa emang?” lalu saya jawab, “ke sepuluh,” dengan ekspresi muka biasa aja. Rata-rata reaksinya langsung lebay, “Hah, sepuluh?”
Emang apa salahnya punya anak sepuluh? Mbok ya biasa aja. Saya lho biasa aja.
Pengalaman hidup bersama 9 saudara di rumah memang jadi hal yang biasa saja saat saya kecil. Sampai kemudian saya menyadari kalau bapak ibu saya memang agak kelebihan kalau soal jumlah anak gara-gara reaksi teman-teman saya selalu begitu.
Itu juga yang jadi sebab, ketika masih kecil saya sering dikatain Boboho karena merujuk film Cina tahun 1990-an berjudul Ten Brothers yang sedang booming saat itu. Padahal jelas, saat itu saya anak yang kurus. Ya maklum sih, jaman itu kan referensinya cuma film Boboho yang itu-itu aja.
Dengan keluarga 10, bapak saya yang PNS saat itu jelas tidak menjalankan titah Pak Harto dengan program KB-nya. Yah, bisa dibilang bapak saya sudah melawan rezim Orde Baru dengan jumlah anak melebihi 5 kali batas aman Pemerintah. Disuruh punya anak dua saja cukup, ini malah sepuluh. Ealah, ngelunjak, Pak, Pak.
Dengan 10 anak, rumah saya tentu saja ramai. Cuma sayangnya, keluarga saya tidak tajir kayak keluarga Gen Halilintar. Makanya, setiap jam makan, selalu ada ritual khusus. Ibu saya selalu meminta kami untuk makan bersama, duduk lesehan depan tipi. Persis kayak di sinetron-sinetron gitu.
Cuma bedanya, kalau adegan makan bareng keluarga di sinetron lauknya ingkung sampai tumpeng, keluarga saya mah paling cuma tahu, tempe, pete, terong, sama kadang telur dadar yang dibagi rata untuk 10 anaknya kalau pas hari gajian.
Alasan kenapa makan harus selalu bersama bukan mau sok akrab atau biar jadi keluarga percontohan, tapi cuma urusan sepele aja. Kalau makannya sendiri-sendiri repot. Nggak bisa dikontrol jatah makannya. Jadi makan bareng-bareng itu alasannya sangat prinsipil: biar irit.
Makanya, sekali masak untuk satu menu makan, ibu saya udah kayak koki buat acara kondangan. Tiga kali sehari selama puluhan tahun. Tentu dibantu juga dengan kakak-kakak saya yang udah gede. Nanti ketika kelar makan, baru anak yang kecil-kecil ikut nyuci piring.
Yakin dah, udah benar-benar kayak petugas sinoman. Cuma ini yang shift harian, dengan jadwal pagi, siang, malam. Nah, biar nggak ruwet dengan aktivitas “sinoman” itu, keluarga saya pada akhirnya harus memiliki jadwal piket per hari.
Hari Senin siapa yang harus nguras kamar mandi, hari Selasa siapa yang harus ikut bantuin ibu masak, hari Rabu siapa yang harus antar-jemput adik paling kecil. Begitu seterusnya. Dipajang di pintu kamar masing-masing. Udah kayak jadwal piket sekolah aja.
Di sisi lain, dengan jumlah keluarga segede gaban ini, usia saya dengan kakak pertama sangat jauh. Hampir 20 tahun. Hal ini kadang jadi masalah ketika kakak saya ngajak jalan-jalan.
“Lho, ini anakmu kok udah gede aja sih? Lahir kapan emangnya?” adalah pertanyaan normal teman-teman kakak saya ketika saya diajak.
Nah, jarak 20 tahun itu juga jadi penanda bahwa ibu saya mengalami periode hamil selama dua dekade tanpa putus. Jadi selama itu, ibu saya tak pernah tak hamil. Baru melahirkan kakak saya, nggak sampai satu tahun hamil lagi. Begitu seterusnya sampai saya lahir.
Jadi kalau ada acara kumpulan keluarga besar, hampir semua foto ibu saya posisinya sedang hamil. Udah kayak kebiasaan aja. Udah jadi lifestyle. Kalau nggak hamil ya bukan ibu saya berarti.
Bahkan kakak saya yang ke-7 lahir, ibu saya posisinya lagi tidur-tiduran santai di rumah. Baru mau dicarikan taksi, eh, tau-tau udah mbrojol aja tanpa dibantu siapa pun. Hal yang menunjukkan betapa pengalamannya ibu saya soal kehamilan. Bidan kuliah bertahun-tahun saya jamin bakal masih kalah sama ibu saya.
Lha gimana? Persalinan bisa suuaantai banget kayak orang boker atau bersin. Biasa aja.
“Hasyyin!” bukan ingus yang keluar, tapi anak.
Itulah kenapa, ketika anak pertama saya mau lahir, istri saya ngotot mau ditemeni sama ibu saya saat persalinan. Padahal wajarnya, calon ibu itu hampir selalu ingin ditemenin sama ibu kandungnya sendiri. Terutama kalau itu pengalaman melahirkan yang pertama.
Lha ini malah aneh, istri saya justru minta ditemeni ibu mertua.
Kata istri saya, “Ditemenin sama yang paling pengalaman aja, Mas. Sepuluh anak, bisa lahir normal semua je. Bidan satu Kecamatan juga belum tentu ada yang punya pengalaman kayak gitu.”
Hm, bener juga yak.