MOJOK.CO – Menghukum anak memang perlu trik tertentu. Apalagi kalau sampai meludahi orang nggak tahu apa-apa kayak cerita di bawah ini.
Rusli, teman saya yang merupakan sopir rental mobil paling berbakat di Jogja, barangkali tak menduga bakal mendapat pengalaman tak menyenangkan bersama anak-anak.
Jika biasanya anak-anak selalu membawa keceriaan, entah kenapa Rusli apes sekali bertemu dengan seorang anak yang nuakalnya nadzubillah setan sampai uring-uringan waktu menceritakannya ke saya.
Saat itu, Rusli sedang membawa pelanggan carteran mobil rentalnya. Ketika istirahat di minimarket, Rusli duduk di kursi depan minimarket sambil menunggu pelanggannya belanja. Lagi asyik-asyiknya leyeh-leyeh di depan minimarket, anak dari pelanggan Rusli mendekati Rusli ketika belanja sudah mau selesai. Usia si anak mungkin sekitar 4-5 tahun.
Tanpa ada kejelasan, tanpa tedeng aling-aling, tiba-tiba anak ini meludahi Rusli.
“Ciuh!”
Yup, itu betul-betul ludah yang mendarat tepat ke arah Rusli.
Rusli sangat terkejut, rasa amarahnya naik sampai ke ubun-ubun. Bagaimanapun juga, diludahi secara sengaja begitu merupakan penghinaan paling besar bagi manusia normal.
Apalagi Rusli tahu betul, anak ini meludah dengan effort. Bukan yang memang ingin mengeluarkan slilit di gigi lalu tak sengaja meludah ke Rusli. Bukan, bukan seperti itu. Si anak benar-benar meludahi Rusli karena memang ingin melecehkan Rusli.
Kalau saja Rusli tak menyadari posisinya saat itu, yang “hanya” seorang sopir di mata si anak pelanggannya, Rusli bisa saja muntab dan menjewer si anak. Hanya saja Rusli tahu, ibu si anak melihat kejadian tersebut. Si ibu pasti sama marahnya dengan Rusli.
Rusli pun berharap si ibu akan menghukum si anak. Apalagi meludahi orang kan bukan pemandangan lumrah, terutama jika dilakukan ke orang yang tidak dikenal.
Hanya saja, adegan berikutnya malah jadi kejutan kedua bagi Rusli di hari itu. Dengan santai, ibu si anak hanya bersuara dari samping mobil, “Eh, *** (nama si anak) nggak boleh gitu. Nggak baik.” Tanpa ada reaksi apapun yang bisa bikin si anak mengerti kalau tindakannya sudah keterlaluan.
Rusli makin muntab. Cuma ditahan sekuatnya. Tak habis pikir dia. Bagaimana bisa seorang ibu hanya menegur ringan perilaku seorang balita yang meludahi orang lain?
“Yen kuwi anakku, wis tak uyel-uyel ndase, tak jewer, tak kan njaluk ngapuro langsung, Daf!”
(Kalau itu anakku, sudah aku uyel-uyel kepalanya, aku jewer, dan aku minta minta maaf langsung, Daf!)
Kata Rusli ketika menceritakan pengalaman itu ke saya.
Pengalaman Rusli itu bukanlah satu-satunya pengalaman yang saya tahu. Saya sendiri juga punya pengalaman seperti itu, melihat seorang anak yang melakukan kenakalan sampai merugikan orang lain dan orang tua si anak hanya menegur santai tanpa menghukum sama sekali.
Menghukum anak memang kelihatan jadi pilihan sulit bagi banyak orang tua. Terutama ada banyak artikel soal parenting yang menunjukkan bahwa cara menghukum anak itu kalau tidak tepat malah jadi masalah baru.
Buat kamu, orang tua yang enggan menghukum anak… sini saya kasih tahu. Setidaknya, kamu bisa pakai tiga cara hukuman ini ke anak. Ya gimana ya, menghukum anak itu tetep penting sih, apalagi kalau anak sudah kelewat keterlaluan nakalnya.
Pertama, beri tahu si anak kalau apa yang dilakukan itu sebuah kesalahan. Beri pengertian dengan menunjuk orang yang ‘dirugikan’ dari kelakuannya. Tentu saja ini perlu kehati-hatian, karena anak suka sekali mengalihkan perhatian kalau sedang ditegur.
Ajak ngobrol dan tanyakan bagaimana rasanya kalau si anak juga diperlakukan seperti itu. Misalnya, dalam kasus meludahi orang lain. Tak perlu mempraktikkan dengan meludahi si anak, tapi beri tahu bahwa tindakan itu menjijikkan. Dan pahamkan dengan sekuat tenaga kalau diludahi itu adalah peristiwa yang melecehkan.
Selain itu, ada baiknya kita sebagai orang tua muhasabah alias evaluasi diri. Soalnya bukan tidak mungkin aktivitas nakal yang kelewatan ini muncul bukan dari apa yang dilihat dari orang tua si anak, tapi dari tontonan di televisi atau di YouTube.
Jika sudah seperti itu, ada kemungkinan kita sebagai orang tua lalai dengan tontonan anak di YouTube selama ini. Apalagi sampai si anak punya pikiran untuk separah itu sampai meludahi orang lain.
Kedua. Jika cara mengajak dialog itu gagal, menghukum anak bisa dilakukan dengan melarang aktivitas kesukaannya.
Misalnya, si anak punya mainan favorit robot-robotan yang selalu dimainkan tiap hari, ambil mainan itu dan jangan beri akses untuk jangka waktu tertentu. Perlu diingat, tindakan ini perlu keteguhan mental dari orang tuanya.
Soalnya gini, ada cukup banyak proses memberi hukuman anak ini gagal karena orang tua tidak tega melihat anak sendiri menangis. Padahal ini penting agar si anak tahu konsekuensi dari melakukan kenakalan ke orang lain.
Ketiga, beri ancaman hukuman yang lebih parah jika si anak mengulangi perbuatannya lagi di masa depan.
Pada praktiknya menghukum anak tidak bisa seketika. Harus ada kesepakatan-kesepakatan terlebih dahulu. Saya misalnya, ketika akan menghukum anak, selalu memberi kesempatan tiga kali sebelum mempraktikkan hukuman yang lebih berat dari biasanya.
Jika sampai kesempatan kedua si anak masih membandel dan mengulangi perbuatan yang sama, maka si anak diingatkan akan mendapat hukuman lebih berat. Jika masih ngeyel, sudah saatnya hukuman ini dieksekusi.
Hukuman ini pada praktiknya bisa berbeda antar-satu orang tua dengan orang tua yang lain.
Cara yang saya gunakan biasanya adalah dengan memeluk si anak dan mendekapnya selama 2 menit. Anak kecil, yang selalu ingin bergerak, sebenarnya sudah cukup “tersiksa” ketika tidak bisa bergerak hanya dalam waktu 2 menit saja.
Ini langkah yang cukup efektif untuk anak saya. Jika di masa depan si anak melakukan kenakalan lagi, dan saya sudah menegur untuk kedua kalinya, biasanya anak saya akan berhenti melakukan aktivitas nakalnya. Hal ini bisa terjadi karena si anak sudah merekam konsekuensi apa yang bakal dia terima kalau masih membandel.
Kembali ke cerita teman saya, Rusli, dengan anak dari pelanggannya tadi. Dalam cerita itu, saya berani menilai kalau kesalahan yang terjadi bukan lah pada si anak, tapi murni dari pola parenting orang tua yang terkesan “terbiasa” dengan kenakalan luar biasa si anak.
Lah, gimana?
Meludahi orang seperti itu, mau pakai ilmu parenting apapun ya reaksi wajar orang ya bakalan menjewer atau ngeplak. Lah, lah, sek bentar, haaakok jadi main fisik begitu?
Maap, itu bukan buat ngeplak si anak, itu buat ngeplak orang tuanya.
BACA JUGA Mau Jadi Ibu Rumah Tangga atau Ibu yang Bekerja itu Pilihan yang Sama Baik dan tulisan soal Parenting lainnya.