MOJOK.CO – Sugeng Natal, Bu Maria Sutris Winarni. Terima kasih karena kembali mengajarkan inti ajaran Katolik di tengah kisruh pemotongan nisan salib.
Lewat sebuah surat pernyataan, Maria Sutris Winarni, istri dari almarhum Albertus Slamet Sugihardi, warga RT 53 RW 13, Purbayan, Kotagede, mengungkapkan bahwa dirinya iklas menerima jika simbol agama nisan salib itu dipotong oleh warga. Surat itu ditandatangani di atas materai, berjejeran dengan tanda tangan Bejo dan Ketua RT 53, Soleh Rahmad Hidayat.
“Keluarga sudah bisa menerima, dia tidak ada masalah. Mungkin yang memviralkan itu di luar keluarga,” ungkap Bejo kepada wartawan Tirto (18/12).
Bejo Mulyono adalah adalah tokoh masyakarat. Lewat penuturan Bejo, kita juga tahu bahwa alhamarhum Slamet dan keluarganya adalah warga yang aktif berkegiatan di Purbayan, Kotagede. Mereka aktif mengikuti kegiatan arisan, ronda, bahkan Slamet bersedia menjadi pelatih paduan suara ibu-ibu Muslim.
Lewat penuturan Bejo juga, pemotongan nisan salib sudah jadi “kesepakatan” antara warga dengan pihak keluarga alhamarhum, dan tokoh agama. Jenazah almarhum boleh dikuburkan di pemakaman Purbayan, tetapi tidak boleh ada simbol-simbol agama Nasrani. Lewat sebuah proses yang pada dasarnya kita semua tidak tahu kecuali berada di tempat, keluarga sepakat. Masalah selesai.
Seharusnya seperti itu. Masalah selesai, lewat sebuah surat pernyataan. Dengan semangat berbaik sangka, keluarga alhamarhum dan warga tidak punya masalah. Menjadi agak runyam ketika foto nisan salib yang terpotong itu menjadi viral di media sosial. Ramai-ramai, ribuan akun, menyuarakan bahwa Jogja sudah berhenti “berhati nyaman”. Toleransi di kota yang dianggap adem ayem ini dirasakan sudah hilang.
Saya tidak ingin masuk ke dalam konflik horizontal, konflik yang pada ujungnya tidak memberi manfaat bagi kedua kubu yang berseteru. Hal ini pun sebetulnya bisa dilihat dari sikap keluarga yang “memaklumi” keadaan, bahkan menerimanya secara iklas. Bukankah penyerahan diri ini bentuk tertinggi dari sikap tenggang rasa.
Saya yakin, tenggang rasa tidak berlaku satu arah, dari mayoritas untuk minoritas. Tenggang rasa juga berlaku dari minoritas kepada mayoritas. Banyak akun yang “mendorong” keluarga alhamarhum Slamet untuk menolak pemotongan nisan salib.
Namun, tahukah kamu, mereka adalah keluarga Katolik. Dan di ajaran Katolik, ajaran yang saya anut, bentuk iklas dan mengasihi sesama meski kita berada dalam tekanan, adalah inti dari yang namanya “memeluk agama Katolik”.
Akun-akun beragama Katolik marah dengan peristiwa pemotongan nisan salib? Ya nggak apa-apa. Marah adalah kehendak bebas, dan saya pun tidak bisa menjadi hakim yang menetapkan larangan. Toh tidak ada manusia yang sempurna, tidak cacat dari hasrat untuk marah. Bahkan Yesus pun bisa marah ketika Bait Allah justru digunakan untuk berjualan.
Namun, sebelum kamu marah dan menjadi SJW secara kaffah, mari kita duduk melingkar dan membicarakannya secara baik-baik. Seperti layaknya orang Katolik.
Mari berkaca, dan jika perlu, meneladani nama Maria, seperti nama baptis yang digunakan oleh istri alhamarhum: Maria Sutris Winarni.
Maria, ibu Yesus, adalah sosok paling paripurna menerapkan yang namanya devosi. Peristiwanya adalah kabar gembira ketika Maria tahu bahwa dirinya akan mengemban tugas dari Allah. Seorang malaikat datang kepadanya.
“Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh anugerah di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya tahta Daud, bapak leluhur-Nya, dan Ia akan memerintah atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.”
Maria memang akan menerima kehendak Allah secara iklas dan penuh. Tetapi, ia tidak kehilangan logika akan sebuah keadaan. Maka, Maria lalu bertanya kepada malaikat: “Bagaimana hal itu akan mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?”
Malaikat lalu memberi penjelasan, bukan sekadar mengingatkan saja. “Roh kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.”
Mendengar penjelasan malaikat, Maria lalu berserah diri. “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Lukas 1:26-38).
Ibu Maria Sutris Winarni dan keluarga alhamarhum meneladani Ibu Maria, ibu Yesus secara sempurna. Lalu, mengapa kamu masih sibuk marah dan menyalahkan keadaan bahwa keluarga Katolik itu hidup di tengah-tengah kampung Islam?
Soal perdebatan hilangnya rasa toleransi di Jogja, silakan diperdebatkan secara sehat. Bicarakan baik-baik dengan pihak Keraton Jogja dan GKR Hayu. Toh mau tak mau, jika Keraton bergerak, Jogja tidak akan kehilangan frasa “berhati nyaman” yang ditumpuk oleh “istimewa” itu.
Namun, dari sudut pandang Katolik, ketika Ibu Maria Sutris Winarni sudah iklas di peristiwa pemotongan nisan salib, kita bisa apa? Situasi ini bisa berdiri sendiri, bisa juga tidak. Tergantung dari sudut pandang kamu.
Saya memilih melihatnya dari sudut pandang Katolik, dengan narasi tenggang rasa mengasihi sesama dan sebuah devosi. Mengapa? Karena jika pikiran radikal yang dominan, keluarga Ibu Maria Sutris Winarni yang bakal menanggung risiko dari kisruh pemotongan nisan salib secara langsung karena mereka yang hidup di tengah Purbayan, Kotagede. Bukan kamu, para SJW yang memburu RT, likes, share, dan subscribe.
Melihat dari sudut pandang yang berbeda memang bisa jadi pekerjaan yang berat. Tapi, bukankah rasa damai dan hidup tenang itu dimulai dari usaha-usaha untuk duduk tenang dan melihat sebuah situasi dari sudut yang terang?
Kepada keluarga Ibu Maria Sutris Winarni, saya ikut berbela sungkawa. Kepada Ibu Maria Sutris Winarni, secara pribadi, saya ucapkan terima kasih karena kembali mengingatkan saya akan inti ajaran Katolik, yaitu cinta kasih dan rasa iklas yang paripurna.
Sugeng Natal, Bu Maria Sutris Winarni. Berkah dalem.