MOJOK.CO – Edy Mulyadi pantas diprotes suku Dayak karena tidak mengindahkan political correctness ketika bicara secara terbuka. Biar kapok.
“Mas, Anda pernah nggak nulis sesuatu lalu jadi bermasalah gitu?” tanya seseorang ke saya di suatu forum seminar.
Saya tersenyum.
“Oh, tentu saja pernah.”
Saya jawab apa adanya. Sebab, sependek pengalaman saya bekerja di media, pengalaman “bermasalah” terhadap konten itu merupakan sesuatu yang tak terhindarkan. Meminimalisir bisa, tapi menghilangkan risiko itu 100 persen? Hm, mustahil.
Mau sehati-hati apapun kita dalam membuat konten (entah itu dalam bentuk tulisan, audio, atau audio visual), selalu saja ada luputnya kalau dikorek-korek. Manusia yang ciptaan Tuhan aja bisa ada salahnya, apalagi karya yang dibuat manusia, hayaaa jelas banyak luputnya.
Mau hati-hati saja bisa bermasalah, apalagi yang tidak hati-hati seperti pernyataan Edy Mulyadi ketika menyebut daerah Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan seperti ini. “Lalu kita jual lagi, kita pindah ke ‘tempat jin buang anak’,” katanya.
Tentu saja pernyataan ‘tempat jin buang anak’ ini menyinggung masyarakat Dayak. Jelas dong. Siapa juga orang yang rela kampung halamannya disebut sebagai tempat jin buang anak?
Wajar kemudian kalau di Twitter ramai sekali postingan masyarakat Dayak yang memprotes pernyataan Edy Mulyadi, politisi yang pernah nyalon dari PKS tapi gagal itu cukup concern menolak pemindahan IKN ke Kalimantan.
Edy Mulyadi memang sempat minta maaf, gara-gara banyak orang Dayak yang tidak terima dengan pernyataan tersebut dan posting di mana-mana (serem, cuy). Problemnya, permintaan maaf Edy Mulyadi buruk sekali.
Blio minta maaf betulan aja belum tentu dimaafkan orang Dayak, ini malah pakai alasan segala kayak begini.
“Jangankan Kalimantan, dulu Monas itu disebut tempat ‘jin buang anak’. Tapi bagaimana pun jika teman di Kalimantan merasa terganggu, saya minta maaf,” katanya di akun YouTube pribadinya.
Kalau mau minta maaf, dan mengaku menyesal ya udah sih nggak usah pakai alasan banding-bandingin ‘penderitaan’. Mana perbandingannya nggak cukup relevan lagi.
Apa susahnya sih minta maaf dengan perasaan serendah hati mungkin?
Jangan mentang-mentang orang pusat dan merasa sebagai orang penting, lalu kalau ngata-ngatain daerah jadi terkesan biasa saja. Kok kayak minta maaf secara penuh rasa sesal itu jadi sesuatu yang kayak hina banget buat politisi kita sih?
Mentalitas politisi yang enggan mengakui salah ini tidak hanya terjadi pada Edy Mulyadi. Beberapa hari sebelum kasus ini keluar, politisi PDIP Arteria Dahlan juga bermasalah dengan masyarakat Sunda.
Jika Edy Mulyadi bermasalah pada daerah yang disebutnya begitu terbelakang sampai menyebut itu sebagai ‘tempat jin buang anak’, Arteria Dahlan bermasalah karena enggan dengan pemakaian selipan-selipan bahasa Sunda di forum nasional oleh seorang Kajati.
“Ada Kajati yang dalam rapat dan dalam raker itu ngomong pakai bahasa Sunda, ganti Pak itu, kita ini Indonesia, Pak,” kata Arteria Dahlan yang kemudian viral.
Orang-orang Sunda pun protes ke Arteria Dahlan. Baik dari masyarakat biasa sampai sekelas gubernur dan pejabat-pejabat lainnya. Awalnya, Arteria masih tidak langsung minta maaf. Bahkan Arteria menyatakan bakal repot kalau anggota DPR dikit-dikit disuruh minta maaf.
Blio baru minta maaf setelah Ketua DPP PDIP menegurnya. Ini sangar sih, sudah diprotes sebanyak itu orang Sunda, Arteria masih berani membela diri. Dan ternyata hanya butuh satu orang “atasan” di partainya saja yang bisa membuat Arteria langsung minta maaf.
Apa yang dilakukan Edy Mulyadi terhadap masyarakat Dayak dan Arteria Dahlan ke masyarakat Sunda ini sekaligus menunjukkan sense about political correctness politisi kita ternyata ambyar sekali.
Sekaligus menunjukkan, betapa “berkuasa”-nya mereka untuk bisa berkata-kata sembarangan di media tanpa mikir bahwa pernyataannya bakal menyinggung atau tidak menyinggung.
Kalau masalah serupa terjadi ke orang biasa seperti saya, Anda, atau orang-orang reguler di sekitar kita, tentu ceritanya bakal jauh berbeda.
Saya ingat, ketika masih ramai-ramainya Pilpres 2019 dulu. Saya pernah hampir dilaporkan secara hukum karena menulis tentang politisi di salah satu kubu tim pemenangan calon presiden. Tim itu mengontak atasan saya dan akan memperkarakan tulisan saya secara resmi.
Untungnya, saya masih selamat saat itu karena memakai satu diksi yang membuat laporan itu batal. Saya selamat karena saya pakai diksi “diduga”. Salah satu politisi yang saya tulis itu diduga masih berutang besar pada salah satu perusahaan, dan itu lumayan mengganggu citranya waktu itu, makanya saya mau diperkarakan.
Jauh sebelumnya, orang-orang yang satu profesi seperti saya ini punya pengalaman berbeda-beda soal reaksi ketersinggungan yang kadang tidak bisa kita tebak munculnya dari mana.
Agus Mulyadi contohnya, dulu ketika masih jadi Redaktur Mojok, pernah bermasalah dengan para psikolog karena menulis “orang gila” alih-alih ODGJ. Yamadipati Seno, Redaktur Mojok juga, pernah bermasalah dengan salah satu suporter bola lokal karena mengkritik mereka. Atau Ega Fansuri, illustrator Mojok, yang pernah bermasalah juga karena sosok yang dia gambar ternyata tidak direstui oleh fans-nya.
Macam-macam dan kadang-kadang efeknya sangat-sangat mengerikan. Dari dimaki-maki di media sosialnya, di-DM, atau—yang paling parah—sampai dipersekusi segala (ini beneran pernah menimpa kami ya).
Itulah kenapa, ketika ada pertanyaan soal: bagaimana meng-handle kalau tulisan atau kata-kata kita bermasalah? Ya jawaban saya akan sangat normatif, berdasarkan pengalaman saya saja, ya minta maaflah tanpa beralasan apa-apa. Lalu ke depannya, berhati-hati lah dalam menulis atau mengomentari sesuatu.
Kalau toh akhirnya itu tetap bermasalah, ya itu jadi garis batas political correctness-mu ke depan lagi kalau mau nulis topik-topik serupa. Sebab, garis batas itu benar-benar tidak ada teorinya, benar-benar harus dicoba satu demi satu.
Oh, ini bermasalah, berarti besok-besok lagi jangan. Oh yang ini nggak apa-apa kalau ditulis, berarti bisa nih diterusin. Yah, kira-kira gitu-gitu. Lama-lama garis kepekaan terhadap ketersinggungan orang lain ini akan terbentuk.
Hanya saja, ada satu cara lagi agar kita tak perlu “kena masalah dulu” supaya bisa nemu garis batasnya. Yakni, dengan cara belajar dari kesalahan orang lain.
Belajar dari kesalahannya Edy Mulyadi, kesalahannya Arteria Dahlan, atau kesalahan Pandji Pragiwaksono dengan komunitas kucingnya zaman dulu itu.
Biar orang lain saja yang bermasalah, toh kita bisa dapat hikmahnya secara cuma-cuma.
Itulah kenapa saya sih berharap, kesalahan Edy Mulyadi bisa diperbaiki. Ya gimana ya, cara komunikasinya itu buruk banget jeh. Seharusnya sih, kasus kayak gini jadi pelajaran political correctness untuk Edy Mulyadi dari masyarakat Dayak.
Ya lagian, mau nembak kritik ke pemerintah, tapi kok malah nyerempet-nyerempet ke daerah tempat tinggal Suku Dayak. Sudahlah tidak relevan, tidak substantif… lah kok ditambahi mendiskreditkan daerah orang lain lagi.
Kayak kurang bahan aja.
BACA JUGA Surat Terbuka untuk Arteria Dahlan dari Orang Sunda dan ESAI lainnya.
Editor: Ahmad Khadafi