Tiap hari, selalu ada konten tentang keindahan Jogja yang selalu bikin kita berdecak kagum, entah karena bagus, entah karena ngawurnya kebangetan. Dan ada satu konten yang saya temukan siang ini, tentang “keindahan Jogja”, yang bawa-bawa UMR Jogja.
“Orang gila mana yang udah tau UMR Jogja, tapi masih milih bertahan di Jogja?”
“GUE! GUE ORANG GILANYA”
Konten kreator tersebut melanjutkan narasi tentang kenapa dia (dan orang-orang lain) bertahan di Jogja. Yah, biasa lah alasan yang dia kemukakan tentang kenapa bertahan di Jogja meski UMR rendah. Tapi, ada satu yang menurut saya agak mengganggu. Banget, malah.
Ada narasi seperti ini:
“Ketika kenyamanan itu terbentuk, bukannya itu bisa jadi kekuatan juga?”
Lho, sek. Iki perkara UMR. Finansial. Nggak nyambung. Narasinya bikin pusing. Aku nggak tahu gimana alur berpikirnya, tiba-tiba lompat ke kesimpulan kenyamanan jadi kekuatan, padahal urusannya sama finansial dan UMR. Untung ini keluar dari mulut konten kreator. Kalau dari politisi, genah diarak netizen ini di medsos.
Saya tahu, konten tersebut adalah konten iklan. Jadi ya saya nggak perlu pikir pusing itu konten, atau capek-capek menganalisisnya. Wong iklan, yang penting awareness tentang produknya sampe ke orang-orang. Narasinya gimana, selama nggak nyenggol moral, yaudah fine.
Cuma, rasanya kok eman-eman ya, pertanyaan yang sebenarnya amat esensial itu tidak dijawab dengan serius, dan malah muncul narasi “kenyamanan”.
Kenapa masih bertahan kalau UMR Jogja kecil? Ya karena nggak punya pilihan
Kira-kira kenapa orang masih bertahan di Jogja, meski UMR Jogja sebegitu tiarap?
Jawabannya, bisa jadi kayak konten kreator tersebut: kenyamanan. Tapi benarkah kenyamanan saja? Ya tentu saja tidak. Kalau Anda mau menggali jawabannya lagi, bisa jadi, kenyamanan itu sebenarnya adalah perasaan palsu yang diada-adain biar dia punya alasan yang lebih bagus.
Bisa jadi, orang tetap bertahan di Daerah Istimewa karena memang ya nggak punya pilihan lagi.
Skenario “tak punya pilihan lagi” ini valid, dan saya temui pada banyak orang, terutama perantau. Banyak orang yang saya kenal (terpaksa) pantang pulang sebelum sukses karena terpaksa. Dia sudah menghabiskan banyak harta orang tuanya, jika tidak pulang dalam keadaan sukses, itu akan jadi masalah dan beban baru untuk keluarganya.
Pindah kota untuk merantau juga tidak semudah itu. Kalau pindah kota selalu jadi solusi, eksodus pekerja Jogja ke Jakarta pasti amat besar. Yang terjadi kan tidak seperti itu. Malah banyak perusahaan buka di Jogja, karena bisa menekan cost gaji. Cari aja beritanya, banyak.
Jadi ya, alasan kenyamanan itu baiknya dibuang jauh-jauh. Sebab realitasnya, ya sebenernya orang nggak mikirin nyaman atau nggak. Mereka—pekerja Jogja—itu bertahan di Kota Istimewa karena mereka bertahan hidup. Survival. Plain and simple.
Baca halaman selanjutnya
Memang indah, tapi…
Saya tahu betul bahwa konten kreator tersebut memang niche-nya tentang Jogja yang indah, romantis, penuh arti, dan kata-kata indah lain yang sering diucapkan oleh mahasiswa semester 13 yang merasa dirinya filsuf. Ya wajar kalau realitas menyedihkan tentang Jogja nggak akan diangkat.
Cuma saya juga merasa bahwa harus ada yang orang-orang tahu, bahwa begitu banyak orang bertahan di Jogja itu terkadang bukan karena hal-hal indah. Terkadang, mereka tak punya pilihan lagi. Bahkan banyak yang begini. Apalagi jika bilang bahwa kenyamanan bisa jadi bentuk kekuatan. Nyatanya, finansial yang bagus lah yang akan menciptakan kenyamanan.
Saya sih yakin, narasi Jogja indah nggak akan muncul jika gajimu separuh UMR, jam kerja tinggi, dan hak-hakmu sebagai pekerja tidak dipenuhi oleh perusahaan. Gajimu UMR saja sudah sengsara, apalagi jika nggak.
Tetap saja, Jogja butuh konten kreator yang menyajikan indahnya Kota Istimewa ini. Sangat butuh, malah. Sebab, saya sendiri tahu kalau kota ini (bisa dan at certain degree, memang) indah. Tapi ya, bisa kali narasinya dibikin nggak kayak postingan ICJ dengan susunan kalimat yang lebih bagus.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Jogja, Kota yang Keburukannya (Entah Kenapa) Selalu Dimaafkan
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.
