MOJOK.CO – Tahun ajaran baru sudah bakal dibuka Juli 2020. Problem atau solusi baru yang akan muncul dari penerapan new normal di sekolah?
Cukup bisa dipahami betapa banyak orang tua merasa gelisah dengan rencana “new normal” sekolah anaknya pada 15 Juni 2020 nanti. Saya sendiri, sebagai orang tua, juga punya pandangan yang sama. Saya khawatir kalau diharuskan melepas anak ke sekolah di tengah-tengah situasi pandemi.
Ada banyak kekhawatiran saya sebagai orang tua, seperti kurva penyebaran COVID-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda penurunan signifikan, infrastruktur sekolah yang tak merata di seluruh daerah Indonesia, belum dengan anggapan bahwa program “new normal” saat ini lebih mirip seperti program putus asa Pemerintah.
Buat apa lagi marah-marah sama keteledoran pemerintah pada awal tahun ini? Ketela sudah jadi timus. Tahun ajaran baru sudah bakal dibuka Juli 2020 ini, problem baru akan muncul. Lebih baik kita konsen ke sana dulu.
Pemprov Jawa Barat, Pemprov DKI Jakarta, Kota Tangerang adalah sedikit pemerintah daerah yang sudah bersiap menerapkan new normal di sekolah.
Ada beberapa hal yang cukup menjanjikan seperti pengurangan jumlah siswa yang hadir di sekolah (dengan skema yang masih digodok). Jadi kalau normalnya ada 30-an anak di dalam kelas, lantas nanti hanya belasan anak saja yang boleh masuk kelas proses belajar mengajar bersamaan.
Pun dengan tenaga pengajar yang akan dibatasi dan dikarantina lebih dahulu untuk memastikan bukan carier COVID-19. Bahkan di Tangerang bakal dilakukan satu meja untuk satu siswa selama proses belajar mengajar.
Nah, tentu dari rencana-rencana itu, bakal muncul pertanyaan-pertanyaan simpel dari orang tua. Lah, terus anak saya kalau nggak dapat giliran masuk kelas, ke mana dong? Dijemur di lapangan? Di ruang UKS? Tetep belajar di rumah? Atau bijimana?
Plis, jangan tanya ke saya. Sebagai orang tua, itu juga pertanyaan saya. Meski menurut Kang Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, pertanyaan-pertanyaan kayak tadi masih dicarikan solusinya. Cuma untuk daerah Jabar doang tapi yha itu~
Ya wajar sih, repot juga kalau sekolah pakai sistem puasa daud, selang-seling, setengah siswa hari ini masuk sisanya di rumah. Yang bakal repot adalah gurunya: kerjanya jadi dua kali lipat. Belum dengan sekolah yang berada di lingkup pondok pesantren. Emang bisa diawasi di sekolah, lah kalau udah masuk kamar di pondok? Siapa yang ngawasi?
Di sisi lain, kekhawatiran new normal di sekolah itu bukan berarti orang tua tidak ingin anaknya bisa segera ke sekolah. Jujur saja, saya yakin banyak orang tua yang udah kebelet mengantar anaknya ke sekolah. Ngurus anak 24 jam sehari itu luar biasa melelahkan.
Ini belum dengan anak-anak yang sudah merasakan kebosanan luar biasa belajar di rumah. Udah keburu kangen sama teman-temannya, kangen sama rasa es lilin kantin sekolahnya, dan—ya mungkin aja ada—yang kangen sama pelajarannya.
Meski begitu, satu hal yang bisa kita baca dari kekhawatiran orang tua soal new normal di sekolah sebenarnya merupakan gambaran betapa rendahnya kepercayaan banyak orang tua di Indonesia terhadap kebijakan pemerintah dalam beberapa bulan ini. Ada rasa waswas, ada rasa tak yakin.
Benarkah pemerintah memerhatikan sekolah ini hanya demi pendidikan anak bangsa? Bukan hanya untuk memancing pemulihan ekonomi negara saja agar kegiatan warganya berjalan dengan new normal?
Kompleksnya situasi ini belum memasukkan betapa pelik problem pemerataan infrastruktur sekolah untuk mendukung protokol kesehatan untuk new normal sekolah di Indonesia.
Untuk urusan teknis kebersihan macam menyediakan sabun cuci di depan ruang kelas, murid dan guru yang selalu di cek suhu tubuhnya, maupun ketersediaan masker itu bukan masalah besar, saya yakin banyak sekolah yang bisa menyediakannya, namun bagaimana dengan pemerataannya?
Benarkah semua sekolah di Indonesia mampu menyediakan fasilitas itu?
Ya coba aja situ bayangin, untuk orang tua yang sekolahnya di kota-kota besar, program new normal di sekolah aja sudah memunculkan kekhawatiran, apalagi kalau kita bicara di sekolah-sekolah pelosok Indonesia?
Jangankan berharap disediakan tempat cuci tangan, kadang-kadang ada ruang sekolah yang atapnya bolong, kamar mandi nggak ada, sampai jumlah gurunya lebih sedikit dari jumlah kelasnya, atau muridnya harus berjalan menyusuri lembah untuk sekolah.
Udah deh, jangankan bicara new normal, sekolah normal aja mereka kesulitan og. Problem laten yang tak segera dibereskan sejak dulu, yang akhirnya bikin makin ruwet ketika kondisinya kayak gini. Sama persis kayak kasus penjara penuh yang akhirnya ada program asimilasi.
Lebih ngenes lagi, 34 provinsi di Indonesia itu nggak ada sama sekali yang masuk zona hijau (alias nol kasus), semua ada yang kena. Ini artinya untuk urusan pemerataan fasilitas pendidikan, pemerintah kita perlu belajar dari kesuksesan “pemerataan” kasus positif COVID-19 yang sempet “didanai” diskon wisata.
Terakhir, jangan buru-buru menyalahkan kalau nanti ada banyak anak yang tidak mendapat izin untuk berangkat ke sekolah dari orang tuanya. Negara boleh main coba-coba sama rakyatnya pakai diskon wisata, pembukaan bandara, kampanye berkedok sebar bantuan, sampai imbauan bersahabat dengan corona, tapi—maaf—buat anak…
…tak ada yang namanya coba-coba.
BACA JUGA Buat Apa ‘New Normal’ Kalau Keambyaran Ini Emang Udah Normal? atau tulisan soal New Normal lainnya.