Menjadi Minoritas di Tengah Mayoritas, Kisah dari Tangan Pertama

minoritas mayoritas pojokan mojok

MOJOK.COBegitu berita bendera tauhid menyeruak, saya sudah membatin. Kira-kira begini: “Semoga masalah mayoritas ini nggak merembet ke minoritas.”

Sebagai minoritas yang berusaha sadar diri, tidak berkomentar terkait masalah bendera tauhid dan HTI sudah seperti menjadi SOP. Secara lebih luas, menahan diri untuk tidak mengomentari dinamika di agama mayoritas–dalam hal ini Islam–sudah paling betul. Tidak perlu dijelaskan, bukan. Masalah di depan akan rumit, pelik, dan “pasti salah”.

Tetapi kok ya yang saya khawatirkan tetap terjadi. Sudah diam dan tidak berkomentar pun, tetap “disenggol”. Sabtu, 27 Oktober 2018, dua gereja dan satu sekolah di Magelang dan Muntilan dirusak oleh “seorang oknum” berinisial NA.

Dua gereja yang dirusak adalah Gereja Kristi Tyas Dalem Mandungan, Desa Bringin, Kecamatan Srumbung dan Gereja Antonius di Kecamatan Muntilan. Satu sekolah yang dirusak adalah SMK Pangudi Luhur, Kecamatan Muntilan. Pelaku melempar batu yang merusak kaca jendela gereja dan SMK tersebut.

Kapolres Magelang AKP Hari Purnomo mengungkapkan motif perusakan gereja tersebut. katanya, “Motif pelaku bentuk reaksi dari pembakaran bendera HTI oleh oknum Banser di Limbangan, Kabupaten Garut. Pelaku kita amankan di dekat rumahnya ketika perjalanan menuju rumah. Kasus ini terungkap dari pemeriksaan saksi-saksi dan CCTV dan barang bukti lainnya.”

Saya berusaha memahami logika di balik aksi perusakan ini. Dahulu, Banser pernah melindungi gereja di sebuah malam Natal. Nahas, malam itu, sebuah bom meledak. Salah satu anggota Banser bernama Riyanto mengorbankan diri. Ia mendekap bom tersebut supaya tidak melukai umat Katolik yang sedang melaksanakan ibadah malam Natal.

Sejak saat itu, Banser dianggap sebagai “pelindung gereja”. Ya kalau buat saya pribadi, status tersebut terdengar keren. Mengorbankan diri demi keselamatan orang lain itu bukankah sangat hebat? Sudah seperti pahlawan. Dan, berbuat baik, apa pun bentuknya, pasti diterima oleh Tuhan. Pahalanya besar. Ya itu kalau menurut ajaran yang saya dapatkan ketika belajar agama Katolik.

Tetapi, ada beberapa hal yang mengganggu dari situasi ini. Bukan, bukan soal pengorbanan Banser dan saudara-saudara Muslim lainnya yang masih menganggap Katolik (atau minoritas lainnya) sebagai sesama.

Pertama, minoritas menjadi sasaran tembak ini tidak pernah menjadi tajuk penting di arus pemberitaan nasional.

Ketika berita pengurasakan gereja muncul, gaungnya paling hanya dua hingga tiga hari. Kembali lagi, saya maklum kalau minoritas itu kurang menarik untuk dijadikan headline, kecuali sudah terjadi kerusuhan besar dan berdampak nasional.

Padahal, media punya kekuatan besar untuk mengubah pola pikir masyarakat. Kamu tidak percaya dengan kekuatan media? Contohnya begini. Ketika terjadi gempa dan Tsunami di Jepang, media-media tidak memberi banyak porsi untuk pertanyaan-pertanyaan “Bagaimana perasaan bapak/ibu setelah ditinggal meninggal keluarga” atau “Apakah sebelumnya mendapatkan firasat?”

Media di Jepang fokus menaikkan pemberitaan dengan narasi optimisme. Mereka banyak memberitakan berapa heroiknya para relawan, proses pembangunan kembali yang diwarnai kerja sama dan kerja keras warga, dan memberi banyak porsi untuk pemberitaan soal mitigasi bencana. Menonton teve atau membaca koran, pola pikir masyarakat menjadi lebih positif.

Nah, untuk soal masalah minoritas, porsi yang sedikit dan berakhir dengan “Saya harap saudara-saudara menahan diri…” tidak akan mengedukasi warga. Lantas, bagaimana contoh konkret supaya media bisa menjadi corong mengabarkan kedamaian?

Ya gampang saja, beri porsi lebih banyak untuk orang-orang kompeten untuk berbicara. Ustaz-ustaz, pendeta, biarawan, bahkan warga biasa yang berjuang mendamaikan situasi. Pola pikir kekerasan yang beredar di tengah warga, perlu dilawan dengan sesuatu yang juga punya kekuatan masif: media.

Memohon minoritas untuk menahan diri itu urusan gampang. Toh, tidak disuruh menahan diri pun kami tetap sadar. Lha kalau sekali merespons dengan keras, nanti dikiranya mau melawan mayoritas. Yang terjadi adalah dianggap penistaan agama atau di-jihad-i oleh mayoritas. Ngeri.

Kedua, apakah jika minoritas membuat sebuah gerakan, mayoritas akan mendukung? Atau merasa terganggu?

Beberapa hari yang lalu, di Twitter sempat ramai soal masalah minoritas dan mayoritas ini. Jika kaum minor ini membuat gerakan damai untuk memberi masukan perihal perdamaian, apakah sebagian dari kaum mayor akan membantu? Masalahnya pelik lho. Karena mereka yang satu golongan akan terpaksa berbenturan satu sama lain ketika menolong “yang sedikit”.

Lha nggak ada urusan sama “yang sedikit” saja bisa gontok-gontokan, bahkan saling melukai. Saya khawatir saja kalau ditambah menjadi teman “kaum kami”, yang mayoritas akan semakin berdarah-darah. Ini masalah yang pelik. Karena jika tidak ditemukan jalan tengah, kejadian perusakan yang sama akan terulang. Sudah seperti siklus: terjadi benturan, diminta menahan diri, lalu hilang masalahnya.

Nah, sulit bukan memosisikan diri sebagai kaum minoritas. Kamu pikir gampang? Salah ucap, jejak media bisa sangat jahat.

Yah, masalah ini, saya yakin tidak terjadi di Indonesia saja di mana mayoritasnya adalah Islam. Di sebuah negara yang mayoritasnya Katolik dan Kristen, masalah serupa pasti terjadi. Kalau sudah begini, pada akhirnya, ini menurut saya ya: kedamaian hanya bisa bisa tercipta ketika kita melepas jubah agama dan memeluk sesama sebagai manusia yang berbudi dan cinta damai.

Exit mobile version