Penyesalan Saya Menggunakan MacBook Air 2017, Setelah Sebelumnya Menggunakan Laptop Asus yang Bongsor dan Kumuh Itu

Menyesal Pakai MacBook Air Setelah Lama Disiksa Laptop Asus (Unsplash)

Menyesal Pakai MacBook Air Setelah Lama Disiksa Laptop Asus (Unsplash)

Cukup lama saya memakai laptop ASUS A455L. Saya beli di pertengahan tahun 2015 dan ganti ke MacBook Air 2017 ketika 2021 mau habis. Dan ketika memikirkan itu semua, saya merasa “menyesal” sudah pindah ke MacBook Air. Iya, menyesal kenapa nggak segera ganti ke produk Apple ini. 

Jadi, di pertengahan 2015, saya bimbang dalam waktu yang agak lama. Saat itu, laptop Acer yang sudah saya pakai sejak 2010 mulai sering eror. Beberapa kali saya membawanya ke tempat servis, tapi masalah yang ada tak kunjung selesai. Hingga akhirnya, laptop Acer yang dibelikan bapak itu mengalami blue screen.

Laptop sering mengalami blue screen, atau Blue Screen of Death (BSOD), karena berbagai masalah pada perangkat keras, perangkat lunak, atau sistem operasi. Penyebabnya bisa beragam. Mulai dari masalah driver yang tidak kompatibel, kerusakan RAM, masalah pada hard drive, overheat, hingga kesalahan pada sistem operasi itu sendiri.

Intinya saya harus ganti dan pilihan jatuh kepada laptop Asus A455L. Sebenarnya, di 2015 itu, saya sudah jatuh cinta dengan sebuah laptop bernama MacBook Air. kebetulan dua laptop ini rilis di Indonesia pada waktu yang sama. Bimbang, saya rada ragu-ragu memilih Asus.

Perbedaan harga antara laptop Asus dan MacBook Air

Kebimbangan terbesar saya saat itu adalah soal harga. Saat kali pertama rilis, harga laptop Asus A455L ada di Rp5 juta. Sementara itu, Apple membanderol MacBook Air 2015 di harga Rp13 juta untuk versi paling rendah. Beda Rp8 juta ini bukan nilai yang kecil buat saya.

Pasalnya, di 2015, gaji saya sangat mepet UMR Jogja. Iya, saya juga punya pekerjaan sambilan. Namun, saat itu, saya memproyeksikan honor dari pekerjaan sambilan sebagai tabungan jangka panjang. Jadi, saya tidak boleh gegabah dalam menentukan laptop baru sebagai “modal kerja”.

Sebetulnya bisa saja saya menuruti dorongan, bahkan terasa hampir impulsif, untuk membeli MacBook Air. Tabungan saya sudah cukup ideal untuk membayar DP jika membelinya secara kredit. Namun, saya berhasil menahan nafsu untuk kredit. Sudah begitu, saya juga tidak begitu senang membeli barang secara kredit.

Maklum, meski datang promo cicilan 0%, pada akhirnya saya harus membayar MacBook Air lebih mahal dari harga asli. Begitulah yang ada di dalam pikiran saya kala itu sebelum memutuskan membeli laptop Asus. Sebuah pemikiran yang saya sesali kemudian karena kredit itu nggak salah-salah banget.

Baca juga: Menyesal kenapa nggak dari dulu pakai MacBook.

Laptop Asus yang berat dan bongsor

Salah satu alasan saya jatuh cinta kepada MacBook Air adalah bentuknya yang simpel dan ringan. Maklum, setelah lama pakai Acer, saya ingin laptop yang bobotnya lebih ringan. Namun, seperti yang saya ungkapkan di atas, akhirnya saya memilih laptop Asus.

Jadi, laptop Asus yang saya beli dengan harga Rp5 juta itu punya bobot 2,1 kilogram. Awalnya sih saya nggak terlalu mempermasalahkan bobot itu karena terbiasa pakai Acer yang sama-sama berat. Namun, seiring waktu, salah satunya ketika saya mulai aktif penelitian lapangan, bobot laptop ternyata se-menyiksa itu.

Penelitian menuntut saya lebih aktif di lapangan. Untuk menyingkat waktu selama proses wawancara, saya selalu membawa laptop Asus itu. Jadi, setelah wawancara, saya mencari tempat yang enak untuk menuliskannya. Selama hampir satu bulan di lapangan dan 10 hari menyusun laporan, pundak saya tersiksa betul.

Sudah berat, laptop Asus itu jadi terlihat makin “menyebalkan” karena tingkah saya sendiri. Sebetulnya saya punya satu paket alat membersihkan laptop. Namun, karena malas dan selalu kelelahan ketika sampai rumah, kotoran di laptop jadi menumpuk. Laptop itu terlihat jadi lebih kumuh.

Sampai di sini saya sering berpikir kenapa nggak “nekat” saja beli MacBook Air. Selain ringan sehingga mudah dibawa penelitian, ternyata MacBook Air lebih mudah dibersihkan ketimbang Asus. Ini sejauh pengalaman saya, sih. Selain itu, honor penelitian bisa saya pakai untuk menutup kredit MacBook. Ah, menyesal sudah.

Mulai memakai MacBook Air di 2021

Setelah memakai laptop Asus selama 6 tahun, akhirnya saya harus mengucapkan selamat tinggal. Saya harus mengganti laptop karena sambungan antara bodi dan layar Asus saya tiba-tiba “semplok”. Sudah begitu, layarnya jadi semakin buram gara-gara saya malas membersihkan. Maaf ya, Asus.

Akhirnya, di 2021 akhir, saya membeli MacBook Air 2017 dengan harga Rp10 juta. Tentu saja saya membeli yang bekas.

Perbedaan antara laptop Asus dengan MacBook Air sangat terasa tentu saja. Misalnya, dari bobot saja sudah sangat jomplang. Kalau Asus di 2,1 kilogram, MacBook Air cuma 1,3 kilogram. Mungkin saat itu pundak saya menyanyi gembira karena nggak lagi harus memanggul laptop yang berat.

Saya memang memakai laptop bekas, tapi MacBook Air jauh lebih tangkas untuk saya ajak multitasking. Beda dengan laptop Asus yang ketika menginjak di tahun keempat, sudah ngos-ngosan kalau saya buka banyak tab di Google Chrome

Satu hal lain yang membuat saya lebih mobile adalah daya tahan baterai. Saya tidak begitu tahu soal kapasitas atau kekuatan baterai laptop. Perbandingannya, baterai Asus lebih cepat jatuh di pemakaian yang cukup intens. Sementara itu, untuk MacBook Air, saya hanya satu kali menambah daya dalam satu hari kerja. 

Ringkih tapi dapat diandalkan  

Iya, sekali lagi, tulisan ini adalah preferensi pribadi berdasarkan pengalaman. Tentu banyak laptop yang oke selain MacBook Air atau Pro di luar sana. Namun bagi saya, secara kebetulan, berjodoh dengan MacBook Air.

Betul sekali, MacBook memang ringkih. Mungkin sama seperti produk Apple dalam kategori hape. Makanya, karena tahu laptop ini ringkih, saya jadi lebih hati-hati memperlakukannya. Memang masih “kumuh” juga, sama seperti laptop Asus saya dulu, tapi lebih mendingan.

Makanya, sekarang saya menyesal sama MacBook Air. Menyesal karena kenapa nggak dari dulu saya lebih bernyali untuk membelinya. Mungkin, jika lebih berani menutup mata sama laptop Asus itu, saya bisa lebih produktif. 

Namun, pada akhirnya, penyesalan tidak ada gunanya. Laptop Asus yang bongsor dan berat itu tetap berjasa. Namun kini, saya sudah kadung cinta sama MacBook Air. Mau bagaimana lagi.

Penulis: Yamadipati Seno

Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Penyesalan Saya Setelah Menggunakan MacBook Pro M1 dan iPhone 6s dan catatan menarik lainnya di rubrik POJOKAN.  

Exit mobile version