MOJOK.CO – Jutaan orang tak menyadari sampai Ridwan Remin bicara bertahun-tahun silam, bahwa peyek itu juga gorengan. Hm, iya juga sih.
Ridwan Remin, juara Stand Up Comedy Kompas TV, pernah melayangkan pertanyaan fundamental soal diskriminasi yang dialami peyek oleh tukang gorengan.
Sebuah pertanyaan yang sudah menguar ke publik bertahun-tahun silam. Pertanyaan yang juga sempat mengejutkan bagi pecinta gorengan, namun yang jauh lebih mengejutkan lagi, sampai sekarang—tak ada jawaban pasti soal masalah ini.
Padahal, dari pertanyaan Ridwan Remin itu kita bisa tahu, peyek itu kan sama-sama digoreng pakai minyak, sama-sama renyah, tapi kenapa ia tak pernah dimasukkan dalam klasifikasi gorengan? Konspirasi macam apa ini?
Ada banyak kecurigaan-kecurigaan yang patut dilayangkan bagi tukang gorengan mengenai hal ini. Pertanyaan kontemplatif yang tak juga saya temukan jawabannya meski sudah susah payah search di Google atau Quora. Bahkan konon, Ridwan Remin yang melemparkan wacana ini ke publik pun tak juga terlihat mau mencari jawabannya. Bedebah memang.
Pertanyaan lanjutan dari Ridwan Remin bahkan jadi semakin menganggu saja bagi kehidupan berbangsa dan bernegara pecinta gorengan.
Seperti, kenapa peyek yang sangat renyah itu justru tidak pernah dijual oleh abang tukang gorengan, mengingat dari sisi yang sama, abang tukang gorengan selalu mengupayakan tempe goreng bisa garing dan krispi kayak peyek.
Ini kan jelas aneh banget. Kalau emang mau bikin tempe goreng krispi tapi melupakan esensi tempe dengan mengirisnya begitu tipis bak kertas HVS 60 gsm, kenapa nggak sekalian jual peyek yang jelas-jelas pasti garing dan krispi?
Pertanyaan kontemplatif kedua adalah; peyek justru sering dimasukkan dalam klasifikasi kerupuk.
Padahal secara genus dan spesies, baik peyek maupun kerupuk itu berbeda. Ini ibarat kamu memasukkan cicak dalam klasifikasi buaya, gurita dalam klasifikasi babi ngepet, atau cendana dalam klasifikasi bunga bangkai.
Diksriminasi yang dialami peyek ini sangat nyata dan sudah berlipat ganda kelakuannya. Lihat saja di warung makan padang, peyek jarang sekali berada di atas piring dengan tumpukan lombok hijau, namun malah disendirikan di dalam toples atau diplastikin.
(((diplastikin)))
Apa salah peyek sehingga perlu disendirikan dan tidak diperkenankan membaur dengan gorengan-gorengan yang lain? Apa takut gorengannya jadi nggak laku karena segala macam kerenyahan bakwan, tempe, dan tahu isi bakal kalah dengan sebiji peyek?
Kalau memang mau bertanding secara fair, kenapa tidak dimasukan aja dalam satu klasifikasi? Biarkan pembeli yang menentukan mana yang lebih baik antara peyek dengan gorengan, jangan dibikin diskriminasi begini seolah-olah peyek bukan termasuk gorengan dong!
Oke, oke, sabar dulu. Jangan buru-buru ngegas hanya gara-gara peyek.
Beberapa pertanyaan tadi memang secara kasar begitu sulit untuk dijawab. Namun, setelah melalui perenungan yang panjang dan sedikit riset. Saya mendapat wangsit yang bisa memberi jawaban sederhana kenapa peyek tidak dijual oleh abang gorengan.
Jawaban yang bisa menjawab pula keresahan Ridwan Remin yang cuma dilempar ke publik tanpa mencoba mencari solusinya itu.
Oke, pertama, persoalan harga.
Secara umum, uang 2 ribu sudah cukup untuk bisa mendapat 3 biji gorengan bhineka tunggal ika (baca: beraneka rupa). Plus ditambah beberapa lombok dan fasilitas gratis plastik transparan. Nah, masalah bakal jadi berbeda ketika kamu beli peyek.
Meski sama-sama gorengan, substansi peyek sebenarnya mirip-mirip sama bakwan. Yang dijual cuma tepungnya doang. Kalau peyek kacang, pada umumnya komposisi tepungnya jauh lebih banyak daripada kacangnya.
Kompaksi alias kerapatannya nggak terlalu. Menyediakan rongga-rongga agar bisa tetep krispi. Ada sih yang jual isinya kacang semua, tapi harganya jelas lebih mahal dan ini bukan semata-mata buat lauk, tapi emang cemilan. Untuk yang ini, kita bahas lain waktu biar nggak kepanjangan. Kita bahas peyek pada umumnya saja.
Dengan uang 2 ribu kamu bisa dapet tiga biji gorengan, lantas berapa duit yang harus bisa didapet dari sebiji peyek?
Sebelum menjawabnya, saya perlu kasih tahu dulu kalau peyek hampir selalu dijual per plastik atau gram-graman. Ada sih yang jual bijian, tapi itu pun setelah dimasukkan dalam spesifikasi kerupuk, yang harga per bijinya kisaran 500-1000 rupiah.
Sekarang kalau harga per bijinya 500, dengan uang 2 ribu artinya kamu bisa dapet 4 biji peyek. Sedikit lebih banyak dari beli gorengan. Dengan tingkat kesulitan menggorengnya yang harus sampai krispi, harga segitu jelas harga yang sangat berisiko.
Kenapa jadi harga yang berisiko? (Nah, Ridwan Remin, kamu harus dengar penjelasan di bawah ini).
Karena orang akan berpikir…. “Ngapain aku beli gorengan 3, kalau dengan milih peyek aku bisa dapet 4 dengan duit yang sama?”
Sedangkan kalau dijual 1 ribu rupiah, orang nggak akan beli karena… “Ngapain aku beli peyek kalau duit 2 ribu cuma dapet 2 biji, sedangkan beli gorengan bisa dapet 3?”
Selisih inilah yang menyulitkan abang tukang gorengan, yang udah ribet sama kembalian orang kurang ajar yang kadang beli pakai pecahan 50-100 ribuan. Ketimbang pusing-pusing, masuk akal kalau nggak jual peyek sekalian.
Itu alasan pertama.
Sedangkan alasan kedua lebih fundamental lagi, dan Ridwan Remin perlu tahu ini. Bahwa peyek itu… rapuh, Min, Remin.
Kerapuhan peyek ini sudah terlihat dari cara pembuatan dan teksturnya. Tidak seperti tempe goreng—misalnya, ketika udah digoreng dengan sangat krispi masih cukup tahan kalau kena benturan karena difasilitasi oleh jamur yang mengikat kedelai sehingga menciptakan suspensi alami sehingga lebih tahan banting.
Sedangkan peyek? Tak ada suspensinya sama sekali. Peyek adalah makanan yang keras tanpa suspensi. Artinya, setelah digoreng dan mau dimasukkan dalam kerumunan peyek yang lain, peyek relatif gampang retak dan hancur.
Ini meruwetkan perhitungan harga jual. Coba kamu bayangin kalau dari 10 menggoreng peyek, dan yang utuh cuma 3? Lak ya gulung tiker itu abang tukang gorengannya, Markonaaah!
Lagian, sudah jadi pemandangan umum bagi pembeli peyek di belahan dunia manapun, ketika beli peyek plastikan selalu ada remah-remah bekas pertempuran antar-peyek. Kadang malah tinggal remukan doang jatuhnya. Ini bukti nyata soal kerapuhan peyek dibandingkan gorengan.
Di sisi lain, dalam pikiran abang tukang gorengan, remukan gorengan adalah sedekah bagi mereka ketika ada pelanggan. Abang tukang gorengan biasa memberi bonus remukan gorengan.
Coba kalau hal ini diterapkan kalau abang tukang gorengan juga jualan peyek? Hayaaa bangkrut, Booos, kalau isinya remuk semua. Mau disedekahin semua remukan peyeknya? Lah itu kan abang tukang gorengan kan emang mau jualan, bukan mau donasi.
BACA JUGA Kasta Gorengan Diurutkan dari yang Tertinggi sampai Terendah atau tulisan rubrik POJOKAN lainnya.