Mengenang Nasib dari Susu Murni Nasional

susu murni nasional

Susu Nasional, karena jinglenya yang khas, orang mengenalnya dengan Susu Murni Nasional. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Tiap kali saya dengar suara jingle Susu Murni Nasional yang suaranya sangat legendaris itu, ingatan saya kerap terlempar ke masa lalu. Terlempar pada sosok gadis kecil yang dulu adalah tetangga dekat saya.

Sebuah fragmen yang melibatkan dirinya dan juga Susu Murni Nasional itu rasanya tak akan pernah saya lupakan. Fragmen tentang kemiskinan dan perputaran nasib yang serba rahasia.

Gadis kecil itu berlari sekencang-kencangnya tatkala mendengar suara jingle susu murni nasional dari speaker yang terpasang di gerobak penjual susu murni nasional.

“Susu murniiiii nasionaaal…” begitu bunyi jingle itu.

Ratih, sebut saja gadis berusia 10 tahun namanya begitu. Si gadis kecil itu, berlari untuk memberitahu ayahnya bahwa penjual susu murni sedang melintas. Ia memang sangat sudah lama ingin sekali bisa minum susu murni nasional seperti teman-temannya.

Bukan sekali-dua saya melihatnya penuh rasa cemburu pada teman-temannya yang asyik menyeruput susu murni sedangkan dirinya mungkin hanya bisa menelan ludah..

Entah sudah berapa kali ayahnya menolak untuk membelikan Ratih susu kemasan yang saat itu hargaya seribu lima ratus rupiah. Tentu saja alasannya karena uang. Bagi keluarga Ratih, uang seribu lima ratus bukan uang yang sedikit.

Maka, ketika suatu saat ayahnya berjanji akan membelikan Ratih satu cup susu murni nasional, Ratih girang bukan kepalang. Gadis kecil itu pun kemudian mulai rajin memasang telinganya baik-baik. Berharap agar ia tidak ketinggalan saat si penjual susu lewat di jalan dekat gang rumahnya yang mungil.

“Paaaaak, bakule susu murni lewaat!!!” teriaknya.

Saya mendengar dengan jelas teriakan yang bercampur gembira itu.

Ayah Ratih keluar dari rumah. Ratih langsung menggeret tangan ayahnya, berharap agar sang ayah berjalan lebih cepat.

“Cepet, Pak. Cepet, Pak…”

“Iyooo, sabar, bakule ora bakal adoh, kok”

Penjual susu kemudian dipanggil. Susu pun dibeli. Wajah Ratih semringah. Wajah bapaknya jauh lebih semringah.

Ratih kemudian meminum susu kemasan itu dengan sangat hati-hati. Sesruput demi sesruput. Setipis mungkin. Seirit mungkin. Berharap agar susunya tidak cepat habis.

Wajah penuh kegembiraan itu rasanya susah untuk saya lupakan. Wajah yang mungkin akan susah saya lihat lagi sebab tak berapa lama kemudian, ia sekeluarga pindah karena rumahnya dijual pada orang lain.

Bertahun-tahun berselang, beberapa bulan yang lalu, dalam acara resepsi pernikahan adik saya, Ratih datang. Saya pangling setengah mampus. Ratih yang dulu saya kenal sebagai gadis kecil itu kini sudah besar dan sudah berkeluarga. Parasnya cantik, senyumnya menawan, pakaiannya begitu modis. Ia tumbuh dengan sangat baik, dan bertemu dengan pria yang baik pula.

“Cepet nyusul adike, Mas Agus,” ujarnya pada saya sembari tersenyum.

Siang tadi, penjual Susu Murni Nasional lewat di jalan depan kantor. Harganya sekarang tiga ribu rupiah per cup. Saya beli dua. Satunya saya minum, satunya lagi ingin saya kasih ke Ratih, tapi karena hal itu tak mungkin, maka saya taruh di kulkas saja.

Exit mobile version