MOJOK.CO – Mencintai sosok Nobita, bagi saya, adalah sebuah penerimaan akan keunikan manusia. Tentang kelemahan yang harus diterima, dan kelebihan yang dirayakan bersama-sama.
Tiga hari yang lalu, Bianca, teman saya di Twitter mengunggah salah satu karyanya. Bianca menggambar rumah Nobita dari sisi depan. Gambar itu sangat indah. Warnanya bikin nyaman mata. Selama 15 menit saya amati detail rumah Nobita hasil karya Bianca itu.
Selalu ga ngerti kenapa Nobita pulang dari sekolah, bawa hasil upangannya yang nol, harus lewat pintu? Padahal dia ngantongin baling-baling bambu.
Atau mungkin karena, sepatu bututnya bau kaki, jadi ga mungkin dia bawa ke kamar?
Tau ah, pusing. pic.twitter.com/Tf03gWweWi
— Dek Bianca (@Bianconerria) May 19, 2020
Karya Bianca membuat saya termenung selama beberapa saat. Meskipun bertingkat dua, rumah Nobita tidak bisa dibilang besar. Namun, kalau dibilang kecil juga kurang tepat. Rumah itu, mungkin, bisa diterjemahkan sebagai rumah ideal untuk keluarga kecil. Sebuah rumah yang terasa pas.
Sepeti kebanyakan rumah Jepang, bahan kayu mendominasi. Istilahnya rumah “sahabat gempa”. Ketika memejamkan mata dan membayangkan isi rumah Nobita, muncul rasa nyaman. Terutama ruang tamu mungil dengan pintu geser (shoji) menghadap taman. Ada selasar kecil di mana penghuninya bisa duduk santai, minum teh sambil mengagumi warna-warna musim gugur.
Ketika mengamati desain rumah Nobita, saya menyadari ada dua ruang yang “spesial”. Pertama, ruang tamu yang kerap dijadikan “ruang menghitung keuangan” oleh ibunya Nobita. Kedua, kamar Nobita itu sendiri. Ruangan ini menggunakan model washitsu. Sebuah ruangan tradisional Jepang dengan alas tatami.
Mengurut waktu ke belakang, ruangan dengan model washitsu adalah bentuk ruang tempat tinggal biksu dan orang kaya atau terpandang. Konon, mereka yang mempelajari desain washitsu, bisa mengukur derajat sebuah keluarga di lingkungan sosial.
Seiring zaman, tidak semua rumah menggunakan model washitsu lagi. Bahkan disebutkan, ruangan dengan model washitsu hanya populer untuk orang tua Jepang saja. Tolong dikoreksi, ya, kalau saya salah.
Namun, pertanyaannya, kenapa Fujiko F. Fujio memutuskan menggunakan model washitsu untuk kamar Nobita? Menurut saya, ini keputusan yang cemerlang. Sangat cerdas.
Untuk memahaminya, kita juga perlu menyertakan satu lagi kecerdasan Fujiko F. Fujio di sini, yaitu pemilihan warga kuning sebagai signature Nobita. Anak SD ini bukannya nggak pernah pakai baju warna lain. Namun, setiap karakter pasti punya penanda khusus. Bagi Nobita, kaos kerah dengan warna kuning adalah identitas. Kuning, saya menyebutnya sebagai warna musim gugur.
Washitsu dan warna Nobita
Ketika masih belajar di kampus, salah satu dosen saya pernah menjelaskan soal penokohan. Pada umumnya, untuk membaca penokohan seseorang, kamu mengamatinya dari tutur kata, ekspresi wajah yang dideskripsikan, dan sifat-sifat yang diudarkan oleh penulis secara gamblang.
Namun, ada juga penulis yang, entah iseng atau memang brilian, membuat banyak penanda untuk penokohan seorang tokoh. Berbagai analisis diungkapkan, salah satunya adalah fenomena ini menjelaskan kecintaan penulis kepada tokoh. Bisa juga, menjadi usaha penulis untuk menegaskan sifat si tokoh secara lebih tegas, tetapi dengan cara menyamarkannya.
Kita sudahi soal teknik menulis. Bagaimana dengan washitsu dan warna musim gugur yang menegaskan sifat Nobita?
Washitsu, pada umumnya, adalah ruangan multi-guna. Sebagai ruang keluarga, yang juga bisa diubah menjadi ruang makan dengan kotetsu di tengah. Kotetsu adalah meja kecil dengan built-in pemanas di dalamnya. Ketika musim dingin, keluarga Jepang biasa meriung di sekitar kotetsu untuk ngobrol, minum teh, menghabiskan waktu bersama.
Di lain waktu, washitsu bisa menjadi ruang tidur dengan menggelar futon atau kasur lipat khas Jepang. Intinya, washitsu adalah ruang komunal yang bisa “bersahabat” dengan segala situasi. Nah, kamu sudah mulai mendapatkan makna yang terkandung, bukan.
Pada dasarnya, Nobita bisa berteman dengan siapa saja. Dia takut dan sering menghindari Giant, tetapi bukan berarti membenci. Suatu kali dia pernah berkata: “Pertengkaran itu wajar dalam berteman tapi jangan karena sebuah pertengkaran kecil bisa merusak pertemanan yang indah.”
Nobita cemburu kepada Dekisugi, tapi tidak pernah membenci. Dia mudah iri sama Suneo, tetapi tidak pernah membenci. Mungkin cuma PR yang “agak dibenci” sama Nobita.
Meskipun terkadang menyebalkan karena pemalas, cengeng, dan terlalu bergantung sama Doraemon, Fujiko F. Fujio berhasil membangun sosok Nobita yang hangat. Tokoh satu ini digambarkan tidak tegaan kepada hewan yang dibuang, membantu orang tua menyeberang jalan, dan sangat sayang sama neneknya.
Nobita adalah sosok lembut. Bahkan terkadang seperti orang tua yang suka menggerutu, tetapi sebetulnya sangat sayang. Seperti hangatnya washitsu yang bisa menjadi apa saja untuk tuan rumah. Menjadi ruangan favorit sebuah keluarga.
Nah, meskipun lembut, terkadang Nobita bisa jadi pemberani dan bisa diandalkan. Fujiko F. Fujio menggunakan warna kuning sebagai penegasan.
Sosok Nobita adalah penggambaran warna kuning di budaya barat dan Jepang sendiri. Di budaya barat, warna kuning diidentikkan dengan sifat pengecut. Namun, di budaya Jepang, warna kuning melambangkan keberanian, kekayaan, kehalusan, dan pemurnian.
Selain itu, warna kuning juga melambangkan perjuangan. Dulu, sekitar tahun 1357, para prajurit menyematkan bunga krisan kuning. Bunga ini menunjukkan kekaisaran Jepang dan bagi pemakainya menjadi pengenal bahwa mereka berasal dari keluarga terpandang.
Satu hal lagi yang menarik dari warna kuning sebagai bentuk perjuangan: tahukah kamu, pewarna kuning, di Jepang, dihasilkan dengan mengekstrak partikel warna dari rumput kariyasu. Rumput ini tumbuh di daerah pegunungan. Ia melindungi diri dari sinar ultraviolet dengan memproduksi bunga berwarna kuning cerah.
Nobita memang pengecut, bahkan penakut. Namun, ketika terdesak, terutama di cerita-cerita Doraemon Petualangan, dia menjadi “pahlawan”. Keberaniannya muncu ketika teman-temannya tersakiti. Sekuat mungkin, dia akan berjuang. Tidak mau meninggalkan teman-temannya menderita sendirian.
Mencintai sosok Nobita, bagi saya, adalah sebuah penerimaan akan keunikan manusia. Tentang kelemahan yang harus diterima, dan kelebihan yang dirayakan bersama-sama. Tidak egois, setia kawan, dan hangat.
Satu kalimat dari Nobita yang bakal dicintai sepanjang masa berbunyi seperti ini: “Biarin aku nggak keren, tapi aku bisa membuatmu selalu tertawa.”
Keren.
BACA JUGA Orang Indonesia Meremehkan Komik Sementara Tsubasa dan Doraemon Mengubah Dunia atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.