MOJOK.CO – Tubir di media sosial sering dihiasi dengan kalimat penuh kesantunan: ‘No offense’ bla bla bla dan ‘Bukan bermaksud’ bla bla bla. Padahal itu semua palshu!!1!
Sehari saja nggak ribut di media sosial adalah sebuah kemustahilan. Sebagai penikmat keributan tentu saya mendukung perdebatan terus terjadi di sana. Bayangkan kalau semua orang setuju satu sama lain, rasanya kayak goyang Inul tanpa Rhoma Irama.
Keributan bisa dimulai dari statemen ngawur, atau sebuah opini yang seharusnya cuma layak dibatin tapi diungkapkan ke khalayak luas. Sejurus kemudian bakal muncul kaum-kaum pembela keadilan yang dengan sigap pakai data, teori, sains, agama, dan senjata-senjata tak terkalahkan lainnya di ranah penyanggahan statemen.
Sejatinya kita cuma nggak ada kerjaan aja.
Lucunya, ada saja netizen yang selalu memulai kalimat dengan ‘no offense’ lalu dilanjutkan dengan kata-kata menyakitkan yang bisa seketika bikin mental orang yang dibantah langsung terkuras.
no offense jah tapi instagram adalah virus paling toxic di dunia ini karna isinya cuma pamer kehidupan lewat foto dan video… *walaupun sadar akan hal itu tapi gua tetep main??
— peduli syaitan (@raidputra) February 7, 2020
No offense tapi w selalu merinding liat cewek yang ngizinin swaminya nikah lagi atas dalih surga agama dan tetek bengeknya. Hhhhhhhh nda.
— Grace (@budakafeksyen) February 6, 2020
/mvs/ no offense tapi aku tidak menemukan keseruan di once upon a time in Hollywood. Ada yg bisa bantu apa yg membuat film ini begitu wow?
— CEK BIO – CEK RULES DI LIKES. (@moviemenfes) February 5, 2020
Perhatian, twit di atas saya ambil secara acak dari pencarian di Twitter. Nggak ada tendensi apa pun sama pengunggahnya lo ya, no offense, uwh!
Kata ‘no offense’ kan sebenarnya dilontarkan agar orang tidak tersingung. Tapi bagaimana pun juga, kalimat selanjutnya menyinggung. Jadi gimana dong? Intinya ada atau tidak ada, kehadiran ‘no offense’ tidak memberikan efek apa-apa.
Selanjutnya ada kata ‘bukan bermaksud’ yang juga bermakna hampir sama. Kehadirannya juga digunakan buat mengawali kalimat pedas. Bedanya cuma pakai bahasa Indonesia saja.
Bukan bermaksud gender comparison. Kalau di karya sastra, aku cenderung lebih suka tulisan penulis laki2, tapi ya tetep ada penulis perempuan favorit ogud seperti Leila Chudori. Nah kalau sutradara perempuan di film kayaknya ya Greta Gerwig ini!
— Zulfa Zakiah (@zulfazkh) February 7, 2020
bukan bermaksud lebay ato kepedean, tapi ini pertama kali ngobrol bareng kakel trs lgsg nyambung rasanya pic.twitter.com/yluunhSSbU
— taz ⎊۞ (@starkgazing) February 7, 2020
Penggunaan kalimat tersebut kalau dipikir-pikir agak rancu sebab menegasikan apa yang dibilang sebelumnya. Kebanyakan diringi kata ‘tapi’ sebagai bukti bahwa lontaran kata-kata sesudahnya akan jadi berkebalikan. Aduh, makin nggak bisa dimengerti kan?
Intinya, saya sungguh jengah dengan penggunaan ‘no offense‘ dan ‘bukan bermaksud’ yang malah jadi salah kaprah karena tetap bikin orang tersinggung. Lagian, saya merasa keduanya hanya sebuah basa-basi dan kepantasan saja biar nggak frontal-frontal amat dalam berdebat.
Di sisi lain saya jadi menyadari kalau netizen di Indonesia memang sebuah entitas yang mudah tersinggung. Untuk itu beberapa orang ingin mencegahnya dengan mengucapkan kedua mantra sakti nan berwibawa tersebut. Padahal sudah semestinya di dalam perdebatan tidak ada ketersinggungan. Lha wong lagi saling beropini dan menyanggah kok, harusnya objektif dan nggak terjebak pada ad hominem.
Kalau sudah ad hominem artinya perdebatan sudah tidak sehat dan harus ditinggalkan. Nggak ada gunanya menyerang personalitas. Sama aja kayak ejek-ejekan nama bapak zaman SD dong ah!
Buat kalian yang sering pakai kedua istilah ajaib tersebut, saya nggak bermaksud nyindir. Tapi memang sedang menyalahkan.
BACA JUGA Sebenarnya Definisi Open Minded Nggak Sesimpel Bacot Orang di Medsos atau artikel AJENG RIZKA lainnya.