Membaca Pertemuan Prabowo-Surya Paloh yang Sepakati Amandemen UUD 1945

MOJOK.COPrabowo dan Surya Paloh keluarkan tiga poin hasil pertemuan. Salah satunya soal amandemen UUD 1945. Hm, dapaniya.

Kunjungan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, ke kediaman Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, pada 13 Oktober 2019 malam memunculkan beberapa kesepakatan penting. Nah, publik menjadi ramai karena salah satu kesepakatan itu adalah rencana amandemen UUD 1954 secara menyeluruh.

(((secara menyeluruh)))

Setidaknya ada tiga poin kesepakatan antara Surya Paloh dengan Prabowo. Tiga poin yang sebenarnya sangat normatif dan general saja. Tak ada penjelasan yang begitu spesifik kenapa tiga kesepakatan itu diambil.

Pertama, kesepakatan untuk memperbaiki citra partai politik dengan meletakkan kepentingan nasional di atas kepentingan lain. Kedua, kesepakatan bagi semua pemimpin partai politik untuk mencegah tindakan radikalisme yang dianggap bisa mengancam ideologi Pancasila. Ketiga—nah ini yang ramai—mengamandemen UUD 1945 secara keseluruhan.

Kalau kita membaca satu demi satu hasil kesepakatan tersebut, kita bisa melihat bagaimana Surya Paloh dan Prabowo sebenarnya khawatir dengan citra DPR selama ini. Kekhawatiran yang bisa saja merembet juga ke citra partai pengusung para anggota DPR di Senayan. Lebih-lebih kalau anggota DPR yang citranya buruk itu diusung dari partai mereka berdua.

Maklum, beberapa bulan ke belakang DPR menjadi sasaran aksi mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia. Isu UU KPK, RUU KUHP, bahkan sampai penundaan pengesahan UU PKS, semua menjadi akumulasi yang ikut serta menjatuhkan citra DPR semakin dalam.

Seolah menambah beban DPR yang dicitrakan sering bolos rapat, ketiduran saat rapat, sampai menjadi lembaga negara paling banyak oknum koruptornya. Belum dengan kelakuan Arteria Dahlan pada program Mata Najwa yang sampai jadi sorotan publik.

Paling tidak kita bisa berkaca dari hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), di mana DPR cuma dipercaya 40 persen oleh publik. Jauh di bawah KPK yang punya kepercayaan publik 72 persen dan Presiden sebesar 71 persen.

Senada, Litbang Kompas juga pernah merilis hasil survei soal citra DPR. Sebanyak 62,7 persen menilai DPR punya citra yang buruk, dan hanya 24,8 persen yang menganggap DPR bekerja dengan baik. Sisanya tidak tahu dan tidak menjawab.

Bobroknya citra DPR ini harus segera diatasi kalau para elite partai tidak ingin citra partai mereka ikut-ikutan kena sasaran citra buruk. Kayak kasus Arteria Dahlan misalnya, bukan secara personal Arteria saja yang kena, tapi partai pengusungnya, yakni PDIP, yang ikut-ikut kena citra buruk.

Masuk akal kemudian kalau Surya Paloh dan Prabowo perlu bikin kesepakatan memperbaiki citra partai. Sebelum semua terlambat ya kan?

Kedua, soal isu radikalisme.

Tak ada yang terkejut kalau kesepakatan ini muncul. Adanya ancaman secara langsung terhadap Wiranto, seorang pejabat negara di ruang publik, memang menciptakan kekhawatiran tersendiri bagi para elite kita.  Apalagi si pelaku diduga terpapar paham ISIS segala, jadi gampang saja untuk menuduh bahwa aksi mengerikan ini disebabkan tumbuhnya radikalisme di Indonesia.

Ya iya dong. Sekelas Wiranto saja, seorang Menkopohukam, purnawirawan jenderal bintang empat, sampai bisa kena ancaman langsung begitu kok. Apa jadinya dengan elite-elite partai lain yang dari golongan sipil dan bukan mantan anggota militer? Lebih riskan lagi dong jadinya?

Oleh karena itu, satu-satunya cara yang dipahami para elite partai kita kayak Prabowo dan Surya Paloh ya harus menjadi Pancasilais yang radikal. Artinya harus dijalankan agenda untuk memberangus segala macam paham yang disinyalir bisa merongrong Pancasila.

Hm, bisa saja negara ke depan bakal lebih agresif gitu nantinya. Jadi, ini jelas bakal jadi alarm berbahaya bagi ormas-ormas yang suka menyentil ideologi negara.

Lalu poin terakhir, amandemen UUD 1945.

Kalau kita berkaca ke belakang. Sebenarnya amandemen UUD 1945 pernah mengalami perubahan pada 4 pasal dalam satu periode kepemimpinan Ketua MPR Amien Rais, 1999-2002.

  1. Membatasi masa kekuasaan seorang Presiden. Dari yang tadinya tak terbatas (asal bisa terpilih terus) menjadi hanya 10 tahun (dua periode).
  2. Menghapus pemerintahan sentralistik. Memberi hak otonomi daerah ke seluruh provinsi, kota, dan kabupaten di Indonesia.
  3. Menghilangkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
  4. Anggota MPR yang terdiri dari anggota DPR dan DPD (sebelumnya sendiri-sendiri).

Masalahnya, tidak begitu jelas sebenarnya poin-poin mana yang akan diamandemen dari UUD 1945. Ya wajar juga sih, baru wacana awal ini. Belum dirembuk betulan di gedung parlemen.

Namun kalau membaca poin kesepakatan antara Prabowo dengan Surya Paloh—salah satunya—soal “memperbaiki citra partai politik”, ada baiknya diusulkan juga pada poin amandemen UUD 1945 agar ada batasan periode jabatan seorang anggota DPR.

Ya biar gantian aja gitu. Nggak terus anggota DPR bisa dengan seenak sendiri bertahan di posisinya hanya karena semata-mata berhasil terpilih lagi di periode selanjutnya. Kalau perlu disamakan saja dengan batas periode presiden.

Ya kali, ketika masa presiden dibatasi, masak ada anggota DPR tetap nyaman di posisi tersebut sampai 30 tahun berturut-turut seperti Popong Otje Djundjunan atau PLT Mendagri, Tjahjo Kumolo, yang pernah menjadi anggota DPR selama 24 tahun.

Kalau citra DPR buruk, citra ini bisa lho merembet ke parpol. Kalau kinerja DPR buruk tapi orang-orangnya dari periode ke periode itu-itu lagi, apa ya para elite partai ini nggak khawatir kalau gelombang golput akan semakin besar dari hari ke hari karena bosan selalu memprotes orang-orang yang sama teroos?

Sebab, seperti poin kedua soal radikalisme. Kalau kelamaan “menguasai” pemerintah dan bikin sistem yang mempersulit pergantian estafet kekuasaan, lama-lama penguasa bisa jadi radikal juga lho, Pak.

Eh.

Maaf, Pak, sekadar mengingatkan aja.

BACA JUGA Ada yang Menjabat Sampai 30 Tahun, Kenapa Masa Jabatan Anggota DPR Tidak Dibatasi? atau tulisan Ahmad Khadafi lainnya.

Exit mobile version