Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Memahami Logika Jokowi saat Ingatkan Datangnya Gelombang Kedua Pandemi

Ahmad Khadafi oleh Ahmad Khadafi
29 Juli 2020
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Gelombang pertama pandemi corona aja masih belum ketemu ujungnya kok sudah ngomongin gelombang kedua? Ini bijimana logikanya sih, Pak Jokowi?

Tidak ada keledai yang jatuh pada lubang yang sama.

Barangkali pepatah itu yang sedang dipegang betul-betul oleh Pemerintahan Jokowi baru-baru ini. Tentu saja dong, siapa sih yang mau mengulangi kesalahan ketika posisi sedang berada di pucuk tertinggi pimpinan dan dilihat oleh banyak orang?

Tidak ingin mengulangi kesalahan meremehkan corona kayak pada awal tahun, Presiden Jokowi pun dengan tegas mewanti-wanti akan datangnya gelombang kedua virus corona jenis baru.

“Kita tetap harus waspada kemungkinan dan antisipasi kita terhadap risiko terjadinya gelombang kedua, second wave, dan masih berlanjut sekali lagi ketidakpastian ekonomi global di tahun 2021,” kata Presiden Jokowi.

Masalahnya, pernyataan ini sebenarnya cukup membingungkan karena dua hal.

Pertama, angka positif COVID-19 di Indonesia sudah menembus angka 100 ribu. Angka yang meningkat di saat kampanye new normal udah muncul dari pemerintah dan program rapat-rapat ke hotel-hotel di luar daerah di Indonesia akan dilangsungkan.

Kedua—lebih fundamental lagi—gelombang pertama aja masih belum ketemu ujungnya kok sudah ngomongin gelombang kedua? Ini bijimana logikanya sih? Bingung koprol dua belas deh rasanya.

Hal ini juga disayangkan oleh ahli epidomologi, Pandu Riono, yang membaca bahwa jumlah total mereka yang terinfeksi itu belum terdata secara keseluruhan.

“Tidak tepat. Puncak gelombang pertama saja belum terlihat,” katanya seperti dilansir dari Kompas.com.

Dari logika ini, kita bisa menaksir bahwa yang dimaksud gelombang pertama adalah ketika angka positif tidak bertambah lagi selama beberapa waktu. Di Jakarta penurunan angka positif memang sempat terjadi, tapi jaraknya hanya beberapa hari lantas naik lagi.

Kalau kita mau ambil contoh di Wuhan, Cina, proses penurunan jumlah kasus memang pernah terjadi secara signifikan—artinya angka positif yang berhenti. Lalu dalam jangka waktu satu atau dua bulan tidak ada penambahan pasien baru lagi.

Uniknya, di Indonesia, netijen dan para ahli merasa ada kesan dipaksakan terjadinya situasi “normal” oleh pemerintah. Belum ada penurunan angka positif secara signifikan, namun tiba-tiba Pemerintahan Jokowi menghendaki pemberlakuan new normal.

Akibatnya, efek yang terjadi belakangan (sampai menembus angka 100 ribu kasus kemarin) sebenarnya bukan ancang-ancang mau datangnya gelombang kedua, tapi emang gelombang pertamanya masih terus naik.

Iklan

Ibarat orang punya tanggungan bayar cicilan utang Bank. Pada tagihan pada bulan pertama belum bayar, tapi udah mikir untuk mempersiapkan pembayaran pada utang bulan kedua. Ya cicilan utang pada bulan pertamanya dikelarin dulu, Bambaaangk. Napa malah ngurus tagihan yang belum datang sih?

Gelombang pertama di pelupuk mata belum tampak, gelombang kedua di seberang lautan malah tampak. Sikap visioner yang bener-bener kepolen.

Namun, kalau tetap mau berprasangka baik terhadap pemerintah, bisa jadi gelombang kedua yang dimaksud Presiden Jokowi itu bukan berpatokan pada konsensus pada umumnya.

Jika pemahaman umum menyatakan gelombang kedua corona baru terjadi ketika gelombang pertama udah kelar, maka di Indonesia gelombang kedua ini jangan-jangan dimaksudkan pada kemunculan lahirnya klaster baru di tengah-tengah masyarakat.

Yakni klaster kelompok masyarakat yang percaya bahwa corona adalah konspirasi elite global, macam Jerinx dan—terakhir kemarin—Anji. Ya, beberapa pihak yang sudah menunjukkan gejala kemunculan klaster pemuja teori konspirasi.

Kalau soal perkara orang-orang kayak gitu sih, Pak Jokowi rasanya memang patut aja mewanti-wanti. Jangankan Pak Jokowi, masyarakat umum juga waswas dengan sikap masa bodoh dengan bahaya corona itu karena percaya ini semua settingan elite globak kok.

Lah gimana? Wong yang nggak percaya konspirasi aja suka lengah sampai betulan terinfeksi, apalagi mereka yang percaya teori konspirasi.

Nah untuk menghadapi orang-orang kayak gini, ada baiknya Presiden Jokowi nggak perlu pakai istilah gelombang pertama atau gelombang kedua deh untuk menggambarkan lonjakan kasus corona ke depan nanti. Soalnya, terasa kurang mewakili begitu.

Gimana kalau pakai istilah “tsunami” aja, Pak? Biar lebih cucok.

Pas banget kalau pakai istilah itu soalnya. Penanganan yang kocar-kacir, berantakan, semua sambat, plus jadi ada perasaan bahwa ini adalah bencana yang tak bisa dikendalikan manusia sehingga tidak pantas rasanya untuk mengkritik pemerintah. Soalnya, semua pihak menderita.

Lebih daripada itu, istilah ini juga efisien kalau dikutip wartawan ketimbang diksi “gelombang pertama” atau “gelombang kedua”. Misalnya, kita sematkan itu untuk pernyataan Pak Jokowi di awal tadi.

“Kita tetap harus waspada kemungkinan dan antisipasi kita terhadap risiko terjadinya tsunami…

…

…

… kedua, second tsunami.”

Yaelah, tetep bisa kena dua kali juga ternyata.

BACA JUGA Cara Terjitu Memprediksi Kondisi Negara: Dengarkan Apa yang Dikatakan Jokowi, Lalu Lihat Sebaliknya atau tulisan soal Pandemi lainnya.

Terakhir diperbarui pada 29 Juli 2020 oleh

Tags: cinacoronaCOVID-19gelombang keduajokowipandemiwuhan
Ahmad Khadafi

Ahmad Khadafi

Redaktur Mojok. Santri. Penulis buku "Dari Bilik Pesantren" dan "Islam Kita Nggak ke Mana-mana kok Disuruh Kembali".

Artikel Terkait

Z sarjana ekonomi di Undip. MOJOK.CO
Kampus

Apesnya Punya Nama Aneh “Z”: Takut Ditodong Tiba-tiba Saat Kuliah, Kini Malah Jadi Anak Emas Dosen di Undip

27 November 2025
Kereta Cepat Whoosh DOSA Jokowi Paling Besar Tak Termaafkan MOJOK.CO
Esai

Whoosh Adalah Proyek Kereta Cepat yang Sudah Busuk Sebelum Mulai, Jadi Dosa Besar Jokowi yang Tidak Bisa Saya Maafkan

17 Oktober 2025
BYD M6, Raja Baru Mobil Listrik yang Membuat Wuling Ketakutan MOJOK.CO
Otomojok

BYD M6 Berhasil Menjadi Raja Baru Mobil Listrik di Indonesia yang Bisa Membuat Wuling Ketakutan

23 April 2025
Sialnya Warga Banjarsari Solo: Dekat Rumah Jokowi, tapi Jadi Langganan Banjir Gara-gara Proyek Jokowi.MOJOK.CO
Aktual

Sialnya Warga Banjarsari Solo: Dekat Rumah Jokowi, tapi Jadi Langganan Banjir Gara-gara Proyek Jokowi

7 Maret 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Peringatan Hari Monyet Ekor Panjang Sedunia di Jogja. MOJOK.CO

Pilu di Balik Atraksi Topeng Monyet Ekor Panjang, Hari-hari Diburu, Disiksa, hingga Terancam Punah

15 Desember 2025
Sirilus Siko (24). Jadi kurir JNE di Surabaya, dapat beasiswa kuliah kampus swasta, dan mengejar mimpi menjadi pemain sepak bola amputasi MOJOK.CO

Hanya Punya 1 Kaki, Jadi Kurir JNE untuk Hidup Mandiri hingga Bisa Kuliah dan Jadi Atlet Berprestasi

16 Desember 2025
UAD: Kampus Terbaik untuk “Mahasiswa Buangan” Seperti Saya MOJOK.CO

UNY Mengajarkan Kebebasan yang Gagal Saya Terjemahkan, sementara UAD Menyeret Saya Kembali ke Akal Sehat Menuju Kelulusan

16 Desember 2025
Elang Jawa terbang bebas di Gunung Gede Pangrango, tapi masih berada dalam ancaman MOJOK.CO

Elang Jawa Terbang Bebas di Gunung Gede Pangrango, Tapi Masih Berada dalam Ancaman

13 Desember 2025
Berantas topeng monyet. MOJOK.CO

Nasib Monyet Ekor Panjang yang Terancam Punah tapi Tak Ada Payung Hukum yang Melindunginya

15 Desember 2025
Kuliah di universitas terbaik di Vietnam dan lulus sebagai sarjana cumlaude (IPK 4), tapi tetap susah kerja dan merasa jadi investasi gagal orang tua MOJOK.CO

Kuliah di Universitas Terbaik Vietnam: Biaya 1 Semester Setara Kerja 1 Tahun, Jadi Sarjana Susah Kerja dan Investasi Gagal Orang Tua

15 Desember 2025

Video Terbaru

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025
Perjalanan Aswin Menemukan Burung Unta: Dari Hidup Serabutan hingga Membangun Mahaswin Farm

Perjalanan Aswin Menemukan Burung Unta: Dari Hidup Serabutan hingga Membangun Mahaswin Farm

10 Desember 2025
Sirno Ilang Rasaning Rat: Ketika Sengkalan 00 Menjadi Nyata

Sirno Ilang Rasaning Rat: Ketika Sengkalan 00 Menjadi Nyata

6 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.