Saya selalu saja trenyuh tiap kali menonton acara reality show “Bedah Rumah” yang rutin ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta, —dulu di RCTI, sekarang GTV. Reality show ala-ala Helmy Yahya tersebut sampai sekarang belum pernah gagal untuk membuat saya ikut menangis, ehm… minimal mimbik-mimbik.
Kondisi rumah yang dibedah di acara Bedah Rumah pastilah rumah dengan kondisi yang luar biasa kacau. Bangunannya rapuh. Berlantaikan tanah. Temboknya hanya anyaman bambu yang sudah tampak ringkih. Kayu blandar, usuk, dan reng-nya tampak lapuk. Tak ada ruang makan dan ruang tamu, semuanya digabung menjadi satu. Rumah yang boleh jadi bakal membuat SBY kehabisan stok kata-kata “prihatin”-nya.
Fragmen saat sudut-sudut lemah rumah tersebut ditampakkan di layar televisi terasa sangat sentimentil bagi saya. Ia mengingatkan saya pada kenangan masa kecil. Rumah saya pernah berada dalam fase yang demikian: bertembok anyaman bambu, lantai tanah, jendela dan pintu yang keropos. Rumah yang begitu piawai memancing air mata. Kalaupun ada bagian yang sedikit bisa memancing senyum, mungkin hanya sebuah coretan di bagian belakang pintu bertuliskan “Rejekiku dicaplok kertu,” yang ditulis oleh kawan karib bapak setelah kalah bermain judi.
Momen saat keluarga si pemilik rumah saat diajak liburan juga tak kalah sentimentil. Mereka dipaksa menampakkan kepolosan, dan keudikannya. Masuk hotel dengan melepas sandal, terkagum-kagum dengan shower air hangat, sampai melihat kolam renang seolah itu adalah kolam surga firdaus. Mengingatkan saya pada bapak saya yang saking senangnya bisa naik pesawat sampai ia ingin melaminating boarding pass penerbangannya.
Bagi saya, Bedah Rumah adalah sebuah cermin yang layak untuk dilihat oleh banyak orang.
Saya pernah membaca artikel di salah satu media yang membahas tentang tren acara-acara televisi seperti Bedah Rumah. Mereka menyebutnya sebagai reality show yang menjual kemiskinan demi rating dan untung bagi production house yang menggarapnya.
Tentu saja saya mengamininya, karena memang demikian adanya.
Bayangkan, Bedah Rumah pernah punya rating sebesar 5,4 persen dengan share sebesar 25 persen, serta menjadi langganan penghuni prime time. Padahal, harga iklan untuk acara di jam prime time bisa mencapai Rp50 juta per sesi (sekitar 30 detik). Dalam satu acara, biasanya ada slot 10-30 sesi, itu artinya, dalam satu episode, ada perputaran uang sebesar Rp1,5 miliar.
Nah, dari situ sudah bisa dikira-kira, berapa keuntungan yang didapat oleh production house.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sendiri pernah berpendapat bahwa eksploitasi kemiskinan sebagai sebuah komoditas tayangan merupakan hal yang tidak layak. Tidak ideal sebagai sebuah ide tontonan yang mencerdaskan.
Namun dalam hal ini, entah kenapa saya selalu merasa masa bodoh. Saya paham bahwa acara-acara seperti Bedah Rumah adalah salah. Dan saya menganggapnya sebagai salah yang membahagiakan.
Banyak orang yang memprotes acara-acara seperti Bedah Rumah. Sedangkan saya justru menjadi salah satu yang sangat mendukungnya.
Apa yang salah dari menjual kemiskinan?
Bukankah orang miskin memang begitu, ia kerap tidak punya apa-apa yang bisa dijual selain kemiskinan dan air mata. Dan kalau kemudian ada yang mau membelinya dengan harga yang lumayan, tentu mereka tak akan berpikir panjang.
Tapi ini soal harga diri, bung!
Iya, bisa jadi. Tapi saya sudah kadung yakin, harga diri tidak terlalu dipandang oleh orang-orang yang khawatir tidur di rumahnya sendiri karena takut rumahnya akan roboh sewaktu-waktu.
Negara belum bisa hadir sebagai entitas yang mampu memberikan rumah yang layak, orang-orang kaya di sekitar mereka juga masih terlalu buta untuk bisa melihat ketidaklayakan rumah tetangganya. Dalam kondisi yang demikian, apa yang bisa diharapkan?
Tapi kan itu reality show? Dan reality show itu pasti dilebih-lebihkan.
Ya, saya setuju, Bedah Rumah boleh jadi memang sebuah reality show, dengan pembagian skenario yang sedemikian rupa, dengan pengarahan, dengan banyak kepalsuan. Namun satu yang saya yakin itu asli: tangis bahagia si keluarga saat melihat kondisi rumahnya setelah dibedah. Tangis bahagia saat melihat ranjang empuk yang di ruangan yang tadinya hanya diisi oleh tikar buluk dengan kardus tipis sebagai alasnya. Tangis bahagia saat melihat dapur dan ruang makan yang begitu bersih di ruangan yang tadinya sangat tidak beraturan. Tangis bahagia saat melihat meja kursi yang bagus di ruang tamu yang sebelumnya hanya ruangan lengang buruk rupa yang membuat tak enak hati untuk menerima tamu saking buruknya.
Tetangga saya pernah dibedah rumahnya. Dan saya paham betul, walau acaranya palsu, tapi bahagianya nyata.
Entah kenapa, sampai sekarang, saya masih tidak bisa dan tidak mau menyalahkan Bedah Rumah. Saya selalu berusaha untuk memaafkan Bedah Rumah.