Masa Depan Mahasiswa Sastra Indonesia yang He He He

sastra-indonesia-MOJOK

MOJOK.CO – Mulainya saja masih dilarang-larang kok berani-beraninya ngomongin masa depan? Sudahlah. Wahai mahasiswa Sastra Indonesia sudah tiba saatnya untuk membicarakan masa depan kita.

Memulai pembicaraan mengenai masa depan mahasiswa Sastra Indonesia berarti telah siap untuk tidak bisa menyelesaikannya. Jangankan membicarakan masa depan, baru di tahap pendaftaran saja, seorang calon mahasiswa sastra sudah diserbu berbagai pertanyaan dan saran-saran yang inti dari keseluruhannya adalah “jangan masuk Jurusan Sastra Indonesia karena belum pasti masa depannya.”

Eh, yang namanya masa depan, mana ada yang pasti?

Perasaan dilema sempat menghampiri saya setelah lulus SMA. Penyebabnya yaitu, karena saya mendaftarkan diri untuk menjadi mahasiswa Sastra Indonesia. Waktu itu saya tidak muluk-muluk memusingkan masa depan. Untuk menghalau segala pertanyaan dan pernyataan, saya hanya bermodalkan sikap cuek dan satu kalimat penuh kejujuran

“Saya ingin kuliah yang bebas, yang enak dan nggak mumet”

Setelah diterima, ternyata begini rasanya. Anggapan-anggapan yang saya kira tidak akan didapat oleh seorang mahasiswa, ternyata saya dapatkan ketika menjadi mahasiswa Sastra Indonesia. Anggapan-anggapan tersebut ada beberapa lapis. Untuk mengupas dan mengetahuinya, saya sebagai mahasiswa Sastra Indonesia merelakan diri untuk menjadi pisaunya.

Lapisan paling luar yaitu kulit atau mengenai penampilan. Setelah beberapa tahun menjalani kuliah, saya hafal pada masa tertentu di mana kebanyakan mahasiswa (laki-laki) menginginkan rambutnya panjang. Stereotip tentang mahasiswa sastra Indonesia yang (akan lebih keren jika) gondrong ini mulai diimani sekitar semester dua sampai semester enam. Entah dari mana awal stereotip itu muncul, yang jelas sampai hari ini, kepercayaan tersebut masih banyak pengikutnya.

Dalam kurun waktu beberapa semester tersebut, biasanya juga diimbangi dengan kebiasaan jarang mandi dan jarang ganti baju. Bisa dibayangkan seperti apa bentuknya? Atau kamu sudah pernah menemuinya? Atau kamu sendiri adalah mahasiswa sastra Indonesia yang pernah mengalaminya?

Gondrong, tampak kumal, dan aromanya, hemmm.

Setelah menginjak semester enam, satu persatu dari mereka akan mengingkari penampilan khas Sastra Indonesia. Sebab mulai semester itu, para mahasiswa, termasuk Sastra Indonesia mulai menjalani KKN dan magang. Tentu saja golongan tersebut mulai menyadari dan mengingat kembali tentang nilai penampilan di mata masyarakat. Rapi, tidak gondrong, dan mandi setiap hari.

Untuk mahasiswi, tidak ada penampilan yang mencolok. Masih sama. Sesuai dengan nilai di masyarakat pada umumnya.

Lapis selanjutnya, yaitu citra mahasiswa yang suka berkoloni dan berdiskusi. Mahasiswa Sastra Indonesia sering dianggap melakukan hal yang sia-sia, yaitu membedah suatu karya sastra dengan teori tertentu.

“Untuk apa sih kalian membicarakan masalah yang ada dalam buku? Itu kan cuma buatan, kalau bahasa kalian sih fiksi, mbok membicarakan masalah yang nyata, ikut mencarikan solusi masalahku ini lho.”

Teman dari jurusan lain kemudian berusaha mengkritik sesuatu yang sesungguhnya tidak kami lakukan. Kami membicarakan karya sastra bukan untuk memecahkan masalah yang ada di dalamnya. Wong karya sastra itu cerminan dari kehidupan yang sesungguhnya. Kami hanya belajar memahami, menggunakan sastra sebagai medianya.

Untuk memahaminya, tentu saja kami mempelajari teori-teori agar tidak buta. Tetapi, hati-hati, jangan sampai orang lain melihat buku yang sedang kamu pelajari. Nanti, bisa-bisa kejadiannya seperti teman saya, namanya Alfian.

Saat membaca buku tentang feminisme, dia dibilang sedang berusaha memahami perempuan dan di otaknya hanya ada perempuan. Saat membaca Das Kapital, dia dikatakan komunis dengan nada menghujat. Kemudian Alfian menanggapi

“Kalau komunis memangnya kenapa?”

Heran, Alfian memilih untuk bermain Mobile Legends setiap hari dan tidak peduli dengan perkataan orang lain lagi.

Selanjutnya, lapisan yang sebenanya masih permukaan tapi cukup penting untuk dikupas yaitu, anggapan diskriminatif bahwa mahasiswa Sastra Indonesia dilarang lulus lama. Karena objek penelitian tugas akhirnya adalah benda mati (karya sastra) maka, pekerjaan kami dianggap mudah. Sehingga menurut beberapa teman jurusan lain dan beberapa dosen, mahasiswa sastra tidak pantas lulus lama.

Padahal, di antara kami ada mahasiswa sastra yang benar-benar militan dan mengerjakan tugas akhirnya bukan hanya sebagai syarat kelulusan semata. Teman saya, Ayu, meneliti geliat penerbit buku sastra dan Fida, meneliti proses kreatif seorang sastrawan. Begitu itu benda mati?

Lapisan yang agak dalam yaitu, mengenai harapan. Memang tidak salah orang berharap, tapi mbok ya jangan keterlaluan.

Kami digadang-gadang akan menjadi ahli bahasa atau ahli sastra. Anggapan semacam ini bermula dari doktrin beberapa dosen sejak kami masuk kuliah di semester pertama.

Dan sialnya, sampai hari ini kami tidak banyak tahu, bagaimana kerja konkret para ahli tersebut. Pengetahuan kami mentok pada Ivan Lanin yang main Twitter sepanjang hari untuk mengingatkan tata cara berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Begitu?

Selain itu, kebiasaan yang terjadi setelah lulus, jika tidak langsung bekerja, ya lanjut kuliah lagi. Kelak, kami menjadi dosen dan menyampaikan bahwa kuliah sastra itu tujuannya menjadi seorang ahli bahasa dan ahli sastra (lagi), dan begitu seterusnya.

Selanjutnya, teman jurusan lain sering berkata bahwa kami akan menjadi sastrawan besar. Karena kami sering mendapat tugas membuat dan mengkaji karya sastra, mereka kemudian menganggap keseluruhan dari kami bercita-cita sebagai sastrawan. Padahal, kebanyakan di antara kami, setelah lulus inginnya ya langsung bekerja di suatu lembaga atau perusahaan (entah mana yang mau menerima), sama seperti mahasiswa-mahasiswa lain.

Selebihnya, ada yang bercita-cita menjadi pengusaha. Entah ingin menjadi bakul kopi atau bakul buku. Setahu saya, kopi dan buku adalah hal yang paling dekat dengan mahasiswa sastra semasa kuliah. Jadi, maklum jika kebanyakan dari kami berangan-angan ingin membuka usaha kopi dan buku.

Nah, sisanya, yang jumlahnya sangat sedikit, bercita-cita sebagai sastrawan. Mereka aktif menulis puisi atau prosa. Selalu berusaha agar karyanya bisa dimuat di suatu media atau dikumpulkan dan diperbaiki berkali-kali agar layak diterbitkan.

Lapisan terdalam dari mahasiswa Sastra Indonesia adalah mengenai perasaan. Kisah paling nyata yang kami alami yaitu, sering sesak napas sejenak ketika ditanya mengenai masa depan. Jawaban yang paling sering kami lontarkan (tentu saja setelah hasil doktrin dosen untuk menjadi seorang ahli) adalah begini:

“Masa depan mahasiswa Sastra Indonesia yang he he he he”

Tetapi sayangnya, he he he he di sini tidak berakhir seperti “he tayo he tayo” prank tak bermutu kebanggaan kita. He he he he adalah tiruan suara tawa. Sebuah usaha untuk menertawakan (dengan penuh kemirisan) masa depan diri sebagai mahasiswa Sastra Indonesia.

Mau jadi guru kok tidak punya hak mengajar di sekolah formal, karena kami mempelajari ilmu sastra murni, bukan pendidikan. Kalau sampai berhasil berprofesi sebagai guru, kami akan dianggap mengambil jatah mahasiswa pendidikan.

Ingin usaha kopi dan buku, akan dikatakan bahwa kuliahnya selama bertahun-tahun sia-sia. Menurut mereka, jika (hanya) ingin jualan kopi dan buku tidak perlu kuliah sastra terlebih dahulu.

Mau jadi ahli bahasa atau ahli sastra? Ahli itu yang kayak gimana? Masa depan sebagai ahli hanya membuat kami semakin merasa gagal menjalani kuliah sebab kami akan selalu merasa tidak pantas. Ah, bagaimana cara menjelaskannya? Intinya, bekal yang kami dapatkan semasa kuliah sampai ada gelar S. S di belakang nama kami itu cuma segitu. Lalu, harus berani menyatakan diri sebagai ahli?

Jika sudah seperti ini, kami ingin sekali mendengar seseorang berkata

“Tetap semangat dan berusaha ya, masa depan sudah ada yang menentukan.”

Demikian hasil yang didapat dari usaha mengupas lapisan-lapisan yang ada pada diri seorang mahasiswa Sastra Indonesia, menggunakan saya, mahasiswa Sastra Indonesia sebagai pisaunya. Jika dirasa ada lapisan yang belum dikupas, silakan ditambahi. Jika ada yang kelebihan, monggo dikurangi.

Tetapi, jika dari keseluruhan hasil ini tidak sesuai sama sekali dengan anggapan yang melekat pada diri mahasiswa Sastra Indoesia, anggap saja tulisan ini sebagai pembuktian. Sebuah bukti bahwa saya sebagai mahasiswa Sastra Indonesia telah lulus mata kuliah Penulisan Fiksi.

Salam He He He !

Exit mobile version