MOJOK.CO – Larangan main layangan di Pontianak sudah jadi masalah lama. Hal ini terjadi karena bukan karena masalah ruang, tapi juga masyarakatnya yang bandel!
Pemerintah Pontianak akan lebih melarang dengan tegas warganya untuk main layangan. Aturan semacam ini kalau ditelan mentah-mentah, tentu bikin uring-uringan. Bagaimana bisa main layangan yang jadi permainan dari masa ke masa di waktu luang, bahkan sampai dilombakan, harus dilarang-larang sama pemerintah? Ini pemerintah yang bikin aturan lagi bercanda, nyari-nyari kerjaan, atau lagi males mikir, sih?
Akan tetapi, ternyata aturan tersebut ternyata cukup beralasan. Hal tersebut dikarenakan, orang Pontianak hobi main layangan dengan menggunakan tali kawat ataupun benang gelasan. Benang ini merupakan jenis benang yang cukup tajam sehingga berbahaya jika mengenai seseorang.
Sengaja menggunakan benang yang tajam, dengan alasan supaya layangan dia bisa mengalahkan layangan lawan dengan mudah. Akan tetapi, karena lahan kosong di Pontianak sudah semakin sempit, mereka pun bermain di pinggir-pinggir jalan, atau di tempat yang tidak seharusnya. Sehingga, membuat pengguna jalan atau masyarakat lain jadi terganggu.
Bahkan, penggunakan benang gelasan yang tidak bijak tersebut, menurut Wali Kota Pontianak, sudah mengakibatkan banyak korban meninggal dunia. Beberapa kali pernah membuat orang hampir putus lehernya, mengakibatkan kecelakaan, konsleting listrik, dan menimbulkan permasalahan lainnya. Sehingga dibuatlah aturan yang lebih tegas untuk melarang masyarakat Pontianak main layangan. Kalau masih bandel, bakal didenda Rp50 juta hingga hukuman kurungan 3 bulan.
Sebelumnya Perda tentang Ketertiban Umum yang mengatur sanksi tindak pidana ringan soal ini hanya menerapkan denda minimum. Yakni pelanggar hanya diberi sanksi denda Rp1 juta. Akan tetapi karena aturan tersebut belum memberikan efek jera pada yang melanggar, akhirnya perda direvisi dengan meningkatkan sanksinya.
Tidak adanya lahan untuk bermain ini mengingatkan saya pada sebuah pengalaman beberapa bulan lalu. Saya dengan teman saya sedang mencari rumah seseorang. Dengan mengendarai motor, melewati gang-gang kota yang agak sempit. Di tengah perjalanan, ada sekitar 7 anak sedang asyik bermain bola. Ketika kami lewat, mereka menghentikan permainannya. Minggir. Lalu melihat kami dengan ekspresi senyum-senyum malu dan merasa bersalah.
Ekspresi bersalah yang mereka tunjukan dan mata yang seolah meminta maaf karena telah menganggu perjalanan kami, membuat hati kami blingsatan. Bahwa mereka sebetulnya tidak perlu meminta maaf. Kami paham, lahan bermain mereka sekarang tidak lagi gratis. Jika mereka ingin bermain sepak bola, lahan terdekat yang ada adalah lapangan futsal yang letaknya di jalan raya depan gang rumah mereka. Dan itu berbayar.
Lahan lapang yang kurang, masyarakat yang nggak paham-paham bahaya main layangan dengan benang gelasan, akhirnya membuat pemerintah mengeluarkan aturan yang sifatnya ancam-mengancam. Hingga harus merelakan permainan dari nenek moyang ini, lebih baik tidak lagi dimainkan.
Mungkin, keadaan lahan yang semakin sempit, jumlah manusia yang semakin banyak, bermain yang butuh ruang semakin susah untuk dilakukan. Tidak hanya susah, tapi kalau memaksa untuk tetap dilakukan justru bisa membahayakan masyarakat lainnya. Menganggu ketertiban umum. Dan sebagainya. Dan sebagainya.
Satu-satunya cara bermain yang tidak menganggu orang lain saat ini, mungkin memanglah bersandar pada gadget. Tidak menganggu ruang orang lain. Tidak butuh space yang besar.
Biarlah ruang-ruang itu menjadi milik investor dengan perumahan mewahnya yang katanya dijual demi investasi masa depan. Biarlah ruang-ruang itu menjadi tempat olahraga yang dibayar dengan hitungan jam. Biarlah ruang-ruang itu menjadi pusat perbelanjaan, supaya semakin mudah akses kita untuk “memenuhi kebutuhan”. Biarlah ruang-ruang itu menjadi working space yang dibangun dengan gaya nature-industrial nya. Yang katanya adalah tempat untuk berinteraksi dan bersosialisasi paling ciamik abad ini.
Sayangnya, larangan main layangan di Pontianak bukan sekadar tidak adanya lahan. Tapi juga soal hobi masyarakat yang menjadikan main layangan untuk diadu dan sarana taruhan atau “perjudian”. Sehingga, benang yang digunakan pun jadi ngawur dan membahayakan. Hanya dengan dalih: asalkan bisa menang.
Mungkin, masyarakat Pontianak sekarang memang tidak perlu lagi bermain layang-layang. Supaya tidak lagi belajar untuk menarik ulur seseorang.