Lapar Bikin Marah, Kenyang Bikin Ngantuk: Problematika Kehidupan Sesungguhnya

MOJOK.CO Bayangan soal makanan yang kamu dambakan langsung ambyar saat menyadari bahwa si pelayan bahkan baru sadar kamu memesannya. Hati-hati, lapar bikin marah!

Saya pernah datang ke puskesmas suatu hari dengan keluhan migrain yang tak kunjung berhenti. Setelah dicek ini dan itu, dokter yang berjaga menatap saya dalam-dalam, lalu ngelamar berkata:

“Ini migrain klasik, penyebabnya bisa beragam, termasuk rasa lapar.”

Ada banyak kelanjutan kata-kata si dokter tadi, tapi fokus saya langsung ambyar di kata “lapar”. Saya dengar, dokter ini juga bertanya, “Makannya teratur nggak, Mbak?”

Saya cuma nginyem, menyadari bahwa selama berhari-hari ini saya menghindari makan teratur. Badan saya cukup berisi, jadi saya rasa saya bisa bertahan dengan simpanan lemak di tubuh sekalipun saya telat makan—sebuah pemikiran kocak dan asal-asalan. Tapi, ya, gimana; rasanya saat itu saya malas sekali melihat makanan. Nasi putih dan lauk pauknya terasa tidak menggairahkan meski saya memang merasa lapar.

Saya nggak tahu apakah ada orang lain seaneh ini juga, tapi yang jelas kelaparan saya saat itu tidak membuat saya ingin segera makan dan malah menjebak saya dalam emosi yang sama sekali tidak mengenakkan.

Kemarin, sebuah berita menggelikan—tapi menyebalkan—diterbitkan di beberapa portal berita. Seorang penjual pecel lele di Bekasi dilaporkan babak belur gara-gara dipukuli dua orang pelanggan. Tahu alasannya?

Ya karena dua orang ini sangat kelaparan dan kepalang marah gara-gara si penjual masak lele terlalu lama.

A-apa???!!

Kondisi lapar bikin marah ini ternyata punya nama: hangry, alias hungry (lapar) sekaligus angry (marah). Secara sains, ini bukan sekadar gabungan kata yang muncul sebagai lucu-lucuan saja karena nyatanya ia bisa dijelaskan secara ilmiah. Hmm, penasaran?

Pertama-tama, rasanya tak ada salahnya kalau kita tambahkan informasi-informasi yang berhubungan dengan kata-kata di bidang medis di tulisan ini agar terlihat lebih berfaedah. Jadi, kamu sudah siap, kan, membaca istilah-istilah membosankan, Maemunah? Azizah? Juminah? Oke, mari kita cusss~

Jadi gini asal mulanya: saat kita lapar, kadar gula darah di dalam tubuh kita justru akan turun. Pada saat bersamaan, hal ini menyebabkan hormon kortisol dan adrenalin naik. Nah, nah, nah, FYI aja nih: kortisol dan adrenalin inilah yang membuat kita bersikap sangat kasar karena emosi yang memuncak.

Gara-gara sistem kerja demikian, otak kita pun jadi jauuuuh lebih sensitif bahkan lebih sensitif daripada kamu pas lagi PMS dalam menangkap gejala-gejala perasaan tidak senang. Dicolek dikit aja, langsung marah. Pokoknya, marahnya ijik-ijik alias impulsif gitu, lah!

Jangankan pelanggan pecel lele—cobalah berkaca pada dirimu sendiri. Pernah nggak, sih, kamu berada di sebuah rumah makan, lalu memesan sebuah menu, tapi ternyata pelayannya nggak teliti sehingga pesananmu nggak kunjung dikeluarkan sama sekali?

Bayangan soal makanan atau minuman yang kamu dambakan langsung ambyar dan hancur berantakan saat menyadari bahwa si pelayan bahkan baru sadar kamu memesannya. Padahal, perutmu sudah keroncongan daritadi dan otakmu kadung menampilkan visual si pesanan yang menggoda.

Rasanya, emosi kian memuncak dan lantas muncul menguasai diri. Alhasil, waktu ditawari untuk menunggu sekian menit lagi atau memesan ulang, kamu lebih memilih untuk menolak dan pasang muka bete setengah mati ke si pelayan.

Gimana, gimana? Pernah ngerasain? Ngeselin, kan???

Meski perasaan ngeselin ini bisa sedikiiiiit direduksi setelah seseorang berusaha mengajakmu mencari menu yang sama di tempat lain, kekesalanmu tadi sudah kadung terjadi. Gara-gara apa? Ya jelas gara-gara pelayan yang nggak teliti dan nyebelin kortisol dan adrenalin yang sudah menguasai tubuhmu saat lapar itu, lah!

Tapi, kompleksitas hidup manusia tidak berhenti sampai di situ. Setelah kita susah payah bertahan hidup dari taring yang muncul tiba-tiba gara-gara lapar bikin marah, tahap berikutnya yang akan kita alami setelah berhasil makan dengan porsi cukup yaitu…

…kenyang bikin ngantuk.

Kalau kondisi lapar bikin marah tadi disebut hangry, tahap kekenyangan sampai bego ngantuk ini dinamakan food coma. Dalam dunia medis, nama kerennya adalah postprandial somnolence. Dua kata ini berarti “setelah makan” dan “merasa ngantuk”.

Lah, nama medisnya aja udah nyebut “ngantuk”, jadi jelas hal ini adalah sahih secara keilmuan, Gaes!

Secara sains, hal ini dimulai sejak mulutmu mengunyah makanan. Perut bakal menghasilkan hormon gastrin yang bertugas mendorong produksi cairan untuk menghancurkan makanan di dalam perut. Setelah hancur, sisa makanan ini pun pergi ke usus kecil, bersamaan dengan keluarnya insulin dari pankreas yang tujuannya untuk menyerap glukosa. Tak lupa, glukosa juga mengirimkan asam amino dan triptofan ke otak.

Sebentar, sampai di sini, fokusmu masih utuh, kan? Wkwk.

Baiklah, mari kita lanjut~

Masuknya triptofan ke dalam otak, menimbulkan sensasi yang berkepanjangan. Mula-mula, ia akan mengubah dirinya menjadi serotonin, yaitu hormon yang akan mendorongmu untuk merasa senang. Setelah itu, ia menjelma sebagai melatonin yang akan membuatmu merasa ngantuk.

Duh, bayangkan: pertama-tama, kamu dibikin senang, eh habis itu malah jadi ngantuk. Tapi sialnya, glukosa yang tadi diserap ke seluruh tubuh pun lantas menutup sel otak neuron orexin yang dampaknya justru bertolak belakang, yaitu membuatmu melek dan terjaga.

Hadeeeeh, maunya apa, sih, buh, tubuh???

Kondisi lapar bikin marah dan kenyang bikin ngantuk ini sering disederhanakan sengan istilah “lapar galak, kenyang bego” yang kerap jadi bahan tertawaan kita semua. Ya, gimana lagi, hidup itu memang kompleks banget kok: malas makan bukannya bakal membuat kita kurusan—ia justru akan mengajak kita menjadi manusia pemarah yang menyebalkan, sementara kenyang juga tak akan serta merta membuat kita anteng—ia malah mendorong kita ke perasaan ngantuk dan malas yang kian mengganggu.

Ya, ya, ya, hidup memang sebercanda itu, Saudara-saudara. Mungkin itulah sebabnya warung-warung makan dibuka di mana-mana—biar kamu nggak tiba-tiba kumat dan marah-marah di tengah jalan kayak orang kesurupan.

Aduh, aduh, sebentar—mendadak kepala saya migrain lagi. Udah, ah, saya tutup aja tulisan ini sebelum saya meledak karena belum makan dari kemarin malam. Bhay!

Exit mobile version