Kok Kita Justru Bisa Cerita Rahasia ke Orang Asing? Apa Nggak Bahaya?

MOJOK.COKita bisa cerita rahasia dengan lancar dan detail, justru ke orang asing yang baru ketemu beberapa jam lalu. Kenapa, ya?

Ketika sedang menunggu pesawat, atau dalam sebuah perjalanan panjang dengan transportasi umum seperti kereta atau bis. Tidak jarang kita mengobrol dengan orang yang duduk di dekat kita. Biasanya cerita tersebut bermula dengan basa-basi seperti, “Mau turun mana?”, “Masih kuliah atau kerja?” Lantas belanjut dalam sebuah pembicaraan seru, dan tanpa terasa merembet ke hal-hal yang bersifat lebih sensitif dan pribadi. Jika dalam masa basa-basi tersebut menemukan sebuah kenyamanan dalam bercerita, tidak sedikit dari mereka yang tiba-tiba mengisahkan cerita rahasia mereka.

Mengisahkan cerita rahasia ke orang lain—apalagi orang asing yang baru saja ditemui, awalnya membuat saya tidak paham. Ya, bagaimana bisa, seseorang tiba-tiba cerita kalau diam-diam dia sudah tahu pasangannya selingkuh—tanpa pasangannya tahu, kapada saya, yang belum genap 2 jam ia temui?

Bahkan ada beberapa di antara mereka, yang dengan jelas bilang kalau hal yang “rahasia” tersebut belum pernah diceritakan kepada siapa pun. Dan saya, menjadi orang pertama yang mengetahuinya. Orang asing yang bisa saja membocorkan cerita rahasia tersebut sewaktu-waktu—tanpa ia tahu.

Agak aneh memang, terkadang kita memang merasa sungkan untuk membicarakan hal yang bersifat pribadi ke orang terdekat kita. Namun, kita justru bisa menceritakannya dengan lancar dan detail pada orang yang baru saja ditemui. Mungkin, hal ini karena kita merasa lebih nyaman dan tidak takut di-judge.

Saat kita bercerita tentang hal yang sangat pribadi ke orang yang telah kita kenal. Bagaimanapun juga, mereka pasti sudah punya penilaian terhadap rekam jejak perilaku kita. Hal ini tentu memunculkan sebuah gambaran, “Bagaiamana diri kita? Dan bagaimana kira-kira diri kita saat mengalami sesuatu?” Ya, orang yang kita kenal, pasti telah menyimpan prasangka pada diri kita.

Tentu saja, tidak ada seorang pun yang mau di-judge apalagi saat ingin mengeluarkan keluh kesahnya. Maka, orang asing yang tiba-tiba hadir dan ternyata lumayan enak diajak ngobrol ini, lantas dijadikan sandaran sejenak. Interaksi yang tidak terlalu intim tersebut, memunculkan perasaan untuk tidak perlu terlalu berhati-hati. Seperti, hati-hati kalau cerita kita dapat menyakiti si lawan bicara. Ataupun berhati-hati karena takut dengan prasangka mereka. Maka, dengan hubungan yang tidak terlalu kenal tersebut, menjadikan cerita pun mengalir dengan lebih lancar.

Segala detail yang dirasakan dan tidak pernah diungkapkan pun, keluar begitu saja. Rasa takut untuk dianggap “gimana-gimana”, cukup dapat dinetralisir. Kita merasa betul-betul bisa bercerita dengan lebih legawa tanpa membawa beban apa-apa. Toh, ceritanya ke orang asing, yang belum tahu bakal ketemu lagi kapan. Iya, kan?

Berbeda dengan bercerita dengan orang yang telah kita kenal. Terkadang, kita tidak bisa betul-betul membedakan. Manakah cerita yang benar-benar didengarkan? Ataukah sekadar didengarkan untuk dijadikan bahan ghibah di belakang?

Jadi, setelah bercerita, bukannya merasa lebih tenang dan segala beban menjadi lebih ringan. Justru ada kekhawatiran kecil yang menjadikan beban tersebut masih menyisa. Seperti, perasaan nggak enak telah menganggu waktu teman kita dengan curhatan kita yang bisa jadi nggak dia suka—karena kita merasa dia tidak betul-betul mendengarkan cerita kita yang masih soal itu-itu saja. Atau malah takut, kalau setelah cerita usai, dia menjadi ilfeel terhadap kita dan malas untuk berteman lagi. Bahkan yang jauh lebih menyakitkan, diam-diam dia justru menjadikan cerita kita sebagai bahan omongan dengan teman-teman lainnya.

Oleh karenanya, memiliki kesempatan dapat menceritakan hal-hal rahasia yang sudah cukup menyesakkan di dada pada orang asing, adalah suatu hal yang lumayan bisa bikin tenang. Pasalnya, kondisi ini udah mirip-mirip dengan terapi psikologi: bertemu dengan orang asing dan mengisahkan cerita rahasia yang tak satu pun orang terdekatmu tahu.

Maka dari itu, jika kita mengikuti terapi ke psikolog pun, biasanya akan diminta untuk datang ke psikolog yang belum kita kenal dan belum pernah kita temui. Apalagi, jangan sampai malah datang ke salah satu orang terdekat kita. Seperti konsep cerita rahasia dengan orang asing di atas, begitu pula dengan konsep bercerita dengan psikolog. Mohon maaf, nih, psikolog kan juga manusia biasa. Meski berusaha dihilangkan seperti apa pun juga, namanya prasangka pasti masih tersisa.

Tetapi, meski bercerita ke orang asing cukup membantu menetralisir segala kepenatan, kita tetap harus berhati-hati. Bagaimanapun, mereka tetaplah orang asing. Yang tidak punya jaminan apa pun untuk tidak menyalahgunakan cerita rahasia kita. Atau, malah ujug-ujug bikin hati kita klepek-klepek begitu saja.

Exit mobile version