MOJOK.CO – Rakyat sudah jadi korban klitih, berkali-kali, tapi pemerintah Jogja gagal gelisah. Mungkin mereka sudah terlalu lama berdiam di menara gading.
Jogja, Selasa (5/4) dini hari, terasa sangat “meriah” dalam artian negatif. Kembali, klitih, terjadi di sudut-sudut Jogja. Bukan lagi di sudut-sudut tergelap, di mana lampu jalan tak mampu menerangi kegelisahan pengendara. Kejahatan ini terjadi di tengah kota.
Twitter mencatat, dalam rentang waktu beberapa jam saja, terjadi tiga kali klitih. Salah satunya bahkan sampai merenggut nyawa seorang siswa SMA Muhammadiyah 2. Kali ini, kejahatan itu terjadi di Gedongkuning, Jalan Godean, dan Karangmalang. Semuanya di pusat kota.
Kebetulan, Selasa dini hari tadi, saya tidak bisa tidur dan menghabiskan waktu dengan main FIFA di kantor. Sembari memeriksa riuhnya timeline, saya mencatat beberapa gerutuan warga Jogja yang, secara tidak langsung bisa disebut sebagai calon korban. Mengingat klitih itu sendiri sifatnya random. Bajingan betul.
Beberapa kata atau istilah yang sering diucapkan oleh netizen, antara lain, “masalah klasik”, “bingung gimana mengatasinya”, “sangat meresahkan”, “bingung mau mengadu ke mana”, “pada nggak bener ngurusi”, “nggak pandang waktu”, “korbannya random”, “pembiaran”, dan lain sebagainya.
Beragam istilah itu, bisa kamu tebak, melekat ke narasi kekecewaan kepada pemerintah setempat, pamong lingkungan, keluarga, sampai pihak kepolisian. Kegelisahan yang dialamatkan kepada pamong dan keluarga bisa dimaklumi karena pelaku klitih adalah anak-anak remaja, yang menjadi tanggung jawab mereka.
Nah, gerutuan yang dilekatkan kepada pemerintah, adalah pertanda buruk. Sebuah kenyataan yang bisa direkam lewat media sosial, betapa para orang-orang tua pengampu dan pembuat kebijakan di Jogja, ditambah pihak kepolisian, tidak bekerja dengan baik. Ini fakta lapangan, lho, ya. Bukan pendapat pribadi saya.
Salah satu komentar yang paling membekas dalam sanubari saya adalah cuitan mutual saya di Twitter. Namanya Twitter-nya Bhagavad Sambadha. Dia yang biasa dipanggil Baga ini menulis: “The most violent element in society is ignorance.” Sebuah sifat ketidakpedulian akan keresahan masyarakat itu bisa diartikan sebagai kekerasan juga.
The most violent element in society is ignorancehttps://t.co/EB85X57123
— Bhagavad Sambadha (@fullmoonfolks) April 4, 2022
Baga melanjutkan:
“Tiap hari orang dewasa ngobrol pakai bahasa kekerasan; negara ke warganya, korporasi ke buruhnya, laki-laki ke perempuan, mayoritas ke minoritas dll dll, ditonton dari tempat tidur sampai meja makan, sekarang kok pada bingung ada bocil bacok2in orang.”
Cuitan Baga ini telak sekali menggambarkan kegagalan “pamong rakyat” di Jogja untuk memberantas klitih. Ini bahaya, lho, karena ujungnya adalah menurunnya level trust kepada pemerintah dan pihak kepolisian.
Terutama pihak kepolisian, di mana kerja-kerja mereka (yang berhasil), tidak akan dipandang sebagai kesuksesan oleh warga. Tak lain karena unsur trust itu sudah lesap. Perlahan-lahan, bakal hilang. Apalagi ketika dulu, ada seorang petinggi kepolisian di Jogja yang justru denial. Dia memandang karena Malioboro dan Pantai Parangtritis masih ramai wisatawan, maka Jogja aman-aman saja. Ada, kok, beritanya. Silakan cari sendiri.
Selain Baga, ada satu lagi cuitan yang menohok. Kali ini dari Rumail Abbas menulis seperti ini:
“nDoro Sultan waktu itu (Januari 2022) ngendika: klitih cuma dibesar-besarkan, dan curiga ini by design. Semalam ada korban klitih meninggal, dan ternyata korban adalah anak dari ketua fraksi partai. nDoro sultan ngendika,”
nDoro Sultan waktu itu (Januari 2022) ngendika: klitih cuma dibesar-besarkan, dan curiga ini by design.
Semalam ada korban klitih meninggal, dan ternyata korban adalah anak dari ketua fraksi partai. nDoro sultan ngendika: pic.twitter.com/JaFg7FJRj0
— Rumail Abbas (@Stakof) April 5, 2022
Hal ini secara instan membentuk pemikiran baru tentang kinerja pemerintah. Tentu saja pemikiran negatif, bahwa pemerintah baru tegas kepada klitih ketika ada anak pejabat yang jadi korban. Kalau yang jadi korban masih rakyat jelata, ya nggak usah terlalu rumit dipikirkan. Sekali lagi, sikap seperti inilah yang perlahan menurunkan level trust rakyat kepada pamong mereka.
Rakyat kecil, driver ojol, dan mereka yang beraktivitas di dini hari dibiarkan jadi calon korban. Tidak ada garansi rasa aman, apalagi niat nyata untuk memberantas klitih. Saya sendiri sudah sangat tering, bahkan terlalu sering, menulis soal keluhan akan ketidakberdayaan pemerintah Jogja menangani kejahatan ini.
Saya justru merasa klitih itu seperti sekumpulan anak-anak brengsek yang lagi main petasan. Ledakannya bikin kaget warga yang sedang nyaman dengan dunianya. Ledakannya memekakkan telinga, tapi memang hanya sementara itu. Beberapa waktu kemudian tidak terdengar, tapi bikin gaduh ketika anak-anak brengsek ini berulang.
Keluhan sudah disampaikan, baik yang disusun dengan bahasa santun, maupun makian di media sosial. Namun, pemerintah Jogja seperti patung terakota saja. Terlihat menyeramkan, tapi tak berdaya karena mereka hanya diam… mematung… ignorance.
Jangan salah, ya. Korban nyawa dari klitih sudah banyak terjadi. Bukan hanya akan pejabat saja yang meregang nyawa setelah disabet gir motor di Gedongkuning. Sudah banyak nyawa melayang, tapi pamong rakyat Jogja baru mau tegas ketika anak pejabat yang jadi korban. Inilah yang disebut public stunt. Cuma untuk terlihat tegas saja.
Rakyat sudah jadi korban klitih, berkali-kali, tapi pemerintah Jogja gagal gelisah. Mungkin mereka sudah terlalu lama berdiam di menara gading. Sebuah menara yang sebetulnya sudah lapuk dan retak di berbagai tempat. Menara gading yang tak lagi punya wibawa itu….
BACA JUGA Apa Itu Klitih? Panduan Memahami Aktivitas yang Mengancam Nyawa Ini dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.
Penulis: Yamadipati Seno
Editor: Yamadipati Seno