MOJOK.CO – Beberapa hari belakangan, terjadi sedikit “anomali” dari kejadian klitih di Jogja. Khususnya di jam kejadian.
Dulu, aksi brengsek ini terjadi selepas pukul satu dini hari sampai menjelang subuh, ketika jalanan di Jogja masih sepi. Namun, belum lama, klitih terjadi di petang, menjelang malam.
Klitih di Jogja sudah dalam tahap bikin netizen pengin mengumpat. Saya sendiri selalu siap dengan umpatan “bajingan” ketika menemukan berita soal klitih di Jogja di media sosial. Apalagi ketika mengetahui korbannya masih di bawah umur.
Sekitar 15 jam sebelum artikel ini ditulis, bacajogja.id mengangkat berita soal klitih di Jalan Kaliurang kilometer sembilan, Kapanewon Sleman. Korbannya adalah dua anak yang masih di bawah umur. Keduanya masih berusia 16 tahun. Kejadiannya? Pukul satu dini hari.
Kedua anak korban klitih di Jogja ini keluar malam hanya karena perut lapar. Keduanya makan di warmindo sekitar pukul 12 malam. Pukul satu, selesai makan, keduanya hendak menuju rumah masing-masing. Saat itulah, mereka dipepet gerombolan brengsek berjumlah sekitar 30 motor.
Mundur satu jam, sekitar 16 jam yang lalu, saya menemukan sebuah berita penganiayaan di Underpass Kentungan, Sleman. Seorang perempuan dipepet dua orang ketika melintas di underpass yang agak gelap. Nggak sadar, tangan kirinya sudah luka sobek oleh benda tajam.
Kejadian di Underpass Kentungan terjadi sekitar pukul enam sore. Masih terhitung “sore” lho itu. Malam saja belum, tapi aksi klitih di Jogja sudah memakan korban kesekian. Peristiwa ini cukup bikin kaget media sosial karena “anomali” yang terjadi, baik soal waktu maupun lokasi.
Biasanya, klitih mengambil waktu di dini hari ketika jalanan sepi. Lokasinya pun bukan di tengah keramaian. Biasa terjadi di jalanan yang biasanya sepi selepas tengah malam. Kalau klitih di Jogja sudah terjadi di sore hari, seharusnya alarm tanda bahaya warga Daerah Istimewa Yogyakarta berbunyi nyaring.
Mempertanyakan motif klitih di Jogja
Moddie Alvianto, seorang dosen di Jogja, melemparkan pertanyaan menarik. Moddie bertanya soal motif klitih di Jogja. Apakah terjadi hanya karena iseng? Bersenang-senang? Pencarian jadi diri? eksistensi? Kalau ternyata soal eksistensi, mau ditujukan kepada siapa?
Kalau memang eksistensi, berarti memang ada semacam “gerombolan” tertentu yang saling bersaing. Dan di tengah-tengah gerombolan brengsek ini, ada warga Jogja yang jadi “kambing korban”. Menjadi sasaran kedua gerombolan untuk menegaskan eksistensinya di DIY.
Dulu, klitih di Jogja banyak terjadi di daerah selatan atau sekitar Kabupaten Bantul. Mengingat di sana masih banyak daerah sepi selepas tengah malam. Kini, dan sebetulnya, klitih sudah mengarah ke utara, sekitar daerah Jalan Kaliurang dan Jalan Palagan, seperti pantauan yang dilakukan Moddie.
Kenapa polisi seperti sangat lambat menangani klitih di Jogja? Sebetulnya, dikatakan lambat mungkin juga kurang tepat. November 2021 yang lalu saja, dalam satu minggu, kepolisian Bantul mengamakan 23 pelaku klitih. Itu baru satu minggu saja dan terkekspose oleh media. Berapa jumlahnya yang tidak masuk ke media? Membayangkan saja saya ngeri. Banyak sekali jumlahnya.
Perkara penanganan yang lambat, mereka yang kesal sudah merasa polisi memang kurang “perhatian”. Bukan hanya kepolisian, ketika membuka-buka arsip berita soal klitik di Jogja, saya menemukan bahwa sekelas GKR Hemas, Ratu DIY, pernah menganggap klitih di Jogja itu masih dalam tahap wajar. Pernyataan ini beliau lontarkan di 2019.
Hemas mengaku heran dengan banyaknya kasus-kasus di DIY yang langsung viral. Padahal menurutnya, kejadian tersebut masih dalam batas yang normal. “Heran saya. Kenapa kalau kejadian negatif di Yogyakarta langsung viral di dunia.”
Kalau GKR Hemas saja heran, saya malah tambah heran. Apalagi ketika melihat kembali pernyataan itu di tahun 2021. Apakah GKR Hemas nggak tahu kekuatan media sosial? Hal nggak penting seperti selebgram rewel di Starbucks saja bisa viral, apalagi klitih yang bisa memakan nyawa.
Sikap mewajarkan sesuatu yang berbahaya itu akibatnya panjang. Apalagi dilakukan oleh orang-orang yang punya kuasa besar di sebuah wilayah. Istri seorang sultan, seharusnya punya power luar biasa besar untuk menggerakkan pihak keamanan. Tentu pakai posisi beliau sebagai ratu, bukan politikus. Gampang sekali. Tinggal tudhang-tudhing saja, kan.
Namun tidak. Menurut beliau, klitih di Jogja itu masih dalam tahap wajar. Meski pada kenyataannya, ada korban meninggal. Akibatnya, sampai di 2021, aksi bajingan ini masih subur, bahkan makin mengancam karena pelakunya sudah makin sregep dan berani beraksi di tengah keramaian.
GKR Hemas seperti risih ketika citra DIY di mata dunia itu jelek. Jangan khawatir, Kanjeng Ratu, citra Jogja masih “aman”, kok, di mata kaum yang tidak sensitif berkat romantisasi akun-akun “KTP Lokal”. Katanya Jogja itu nyaman, murah, bikin kangen. Padahal, kalau mau menengok ke bawah, Jogja itu tidak aman, mahal, dan bikin trauma.
Awas amukan warga
Moddie, dalam utasnya di Twitter mengungkapkan sebuah analisis yang cukup bikin saya merinding. Dia bilang bahwa, bisa saja terjadi, warga yang sudah muak, bersatu dan membawa klitih ke ranah hukum jalanan. Nggak peduli pelakunya masih bocah.
Puluhan tahun silam, ketika premanisme sangat marak di Jogja, warga dari tiga kampung bersatu untuk ikut berperang bersama polisi. Warga sudah nggak gemas lagi, tapi marah karena kekuatan gali (preman) yang sudah di luar kewajaran.
Selama ini, pelaku klitih di Jogja yang ditangkap hanya diberi pembinaan karena masih di bawah umur. Selalu ada kemungkinan mereka tidak jera selepas bebas dari masa pembinaan. Lingkungan dan hasrat menancapkan eksistensi itu sangat kuat.
Emosi warga yang terpendam ini bisa menjelma menjadi amukan berbahaya. Tumpukan kekesalan ini perlu diperhatikan secara lekat-lekat oleh kepolisian. Jika emosi itu pecah, saya tidak bisa membayangkan apa yang akan menimpa para pelaku klitih di Jogja yang mayoritas masih piyik itu.
Kekhawatiran kedua saya adalah kemunculan kelompok vigilante lain yang khusus berburu klitih. Apalagi sudah ada akun di media sosial yang mengangkat tagar #BringBackPetrus. Ini menakutkan sekali.
Pelaku klitih di Jogja akan jatuh bergelimpangan, dikarungi, dibuang di tepi jalan, dengan kepala berlubang. Tanpa ada yang bisa tahu siapa pelakunya. Saya tidak mau membayangkannya….
Oleh sebab itu, tolong, bagikan tulisan ini kepada para pemangku kebijakan di Jogja. Jangan sampai warga membawa klitih ke ranah hukum jalanan. Anak-anak muda pelaku klitih di Jogja sebetulnya masih bisa diselamatkan. Bukan hanya dengan pembinaan setelah aksi kejahatan terjadi, tapi membuat sebuah sistem baru untuk mencegah anak-anak muda terisap oleh lubang hitam pengaruh lingkungan.
Jangan sampai terjadi perang antara warga dan pelaku klitih di Jogja. Mau gimana, keduanya adalah sesama warga yang sejajar. Perang sipil ini akan sangat merugikan semua pihak. Kecuali mereka yang duduk nyaman di atas menara gading dan merasa aksi kejahatan di daerahnya masih wajar saja.
BACA JUGA Bicara Klitih di Yogyakarta dari Mantan Pelakunya dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.
Penulis: Yamadipati Seno
Editor: Yamadipati Seno