MOJOK.CO – Ujian praktik SIM A pakai Kijang Kotak Polisi jadi enteng karena terbiasa nyetir Kijang Rover. Mobil tanpa power steering.
“Kalau kamu udah terbiasa pakai mobil transmisi manual, tidak power steering, dan ada moncongnya, kamu bakal bisa nyetir mobil apapun.”
Saya dengar nasihat itu langsung dari mulut bapak saya. Nasihat yang masih saya ingat karena nasihat itu muncul ketika saya masih gugup setengah modyar di balik kemudi mobil Kijang Rover tahun 1988 untuk pertama kali.
Sebuah mobil kelir warna hijau lumut metalik dengan moncong yang kemaki, setir yang tarikannya seberat ngatrol nama baik polisi, disertai transmisi gigi yang lumayan seret. Sebuah pengalaman belajar nyetir pertama kali yang sebenarnya tidak terlalu menyenangkan.
Soal tampilan, Kijang Rover 1988 memang lumayan gahar. Body-nya kekar, mirip kayak versi mininya Jeep. Dan sama seperti body-nya, mobil ini memang bikin sopirnya jadi kekar secara harfiah.
Itu mungkin jadi alasan kenapa ini mobil terkesan sangat macho. Jebul ya karena kalau mau belok kamu perlu tenaga ekstra. Lebih-lebih kalau mobil dalam kondisi mau masuk parkiran. Walah, butuh berkali-kali putar setir untuk belokan yang bahkan tidak terlalu tajam.
Kesimpulan saya kalau pakai Kijang Rover 1988 di parkiran: tempat parkir belum tentu muat, pembakaran kalori sudah pasti dapat.
Meski begitu, dengan tingkat kesulitan yang ekstra dalam mengendarai mobil ini, saya pun mengamini nasihat Bapak. Dengan body yang lumayan bongsor dan moncong yang mengganggu, mobil ini bikin saya punya kesadaran ruang yang lebih saat mengendarai mobil lainnya di masa depan.
Apalagi setelah belok, setir mobil Kijang Rover ini tidak akan balik ke posisi semula secara otomatis. Jadi kamu harus balikin lagi itu setir mobil ini lagi ke posisi netral.
Pengalaman ditempa dengan mobil Kijang Rover 1988 inilah yang kemudian bikin saya tidak gugup sama sekali ketika datang ke Polres Sleman buat bikin SIM A, pada tahun 2007.
Setelah setahun membiasakan diri dengan Kijang Rover 1988 milik bapak saya, saya akhirnya nekat bikin SIM A. Saat itu saya masih berusia 18 tahun. Yah, kira-kira baru beberapa tahun habis mimpi basah lah.
Sebenarnya, saya bisa saja nembak SIM A seperti umumnya cerita-cerita tetangga saya. Tapi karena saya lagi senang-senangnya nyetir mobil, dan soksokan merasa sangat mahir nyetir, ghirah darah muda saya begitu memuncak sampai muncul perasaan ingin menguji diri sendiri.
Halah, tes nyetir ini, apanya yang sulit sih? Kijang Rover 1988 aja udah pernah saya taklukkan kok.
Diawali dari ujian tulis SIM A yang bisa saya hajar dengan cukup mudah soal-soalnya (dan lulus dengan nilai tertinggi di hari itu), saya kemudian dibawa petugas untuk lanjut ke ujian praktik SIM A.
Ada tiga orang di kloter saya yang lulus ujian tulis dan dijadwalkan ujian praktik SIM A. Dua orang yang lebih dulu adalah seorang perempuan usia 30-an tahun dan bapak paruh baya, saya ada di urutan terakhir.
Karena masih sangat muda, saya tidak tanya-tanya dulu sama Pak Polisi yang mendampingi saya. Apa saja yang dites, paramater lulusnya apa, dan lain sebagainya masih jadi misteri buat saya. Masih rahasia. Ya maklum, masih 18 tahun jeh. Masih polos.
Sampai kemudian saya melihat perempuan di urutan pertama datang datang ke tempat ujian praktik dengan mobil Mitsubishi Pajero. Mobil bongsor tapi sudah modern banget saat itu, sekitar tahun 2007.
Saya mbatin dong waktu itu, “Wah, keren ini Pak Polisinya. Mau ujian SIM A aja kami disediain mobil Pajero. Mewah ini.”
Terkesima dengan mobil yang dipakai ujian, saya jadi luput memperhatikan apa saja yang diujikan ke mbaknya. Sampai setelah ujian si mbaknya selesai, giliran beralih ke bapak-bapak urutan berikutnya.
“Yak, sekarang Bapak. Ayo ikut saya. Bawa mobil sendiri kan, Pak?” tanya Pak Polisi ke bapak-bapak samping saya.
Saya curiga, kok ditanya “bawa mobil sendiri”, ini maksudnya apa ya?
“Wah, nggak e, Ndan. Ke sini tadi naik motor. Ambil dulu di rumah boleh?” tanya bapak-bapak ini.
“Rumahnya mana?” tanya Pak Polisi.
“Pasar Cebongan situ kok, Ndan. Deket,” kata bapak-bapak ini.
“Oh, ya udah diambil dulu boleh,” kata si bapak.
Bapak-bapak ini pun langsung ngacir. Dengan skema seperti itu, maka secara otomatis urutan berikutnya adalah saya. Mampus. Pertanyaan default pun menghampiri saya.
“Bawa mobil sendiri, Dek?” tanya Pak Polisi.
“Waduh, nggak juga, Pak,” kata saya.
“Mau pakai mobil ‘kita’ aja po?” tanya Pak Polisi baik hati.
“Wah, boleh, boleh, Pak,” kata saya.
Saya ke Polres Sleman waktu itu memang tidak bawa mobil karena alasan simpel aja: saya kan belum punya SIM A. Lah kalau nggak bawa SIM A kan artinya saya secara hukum nggak boleh nyetir mobil dong.
Gila kali, kalau saya yang nggak punya SIM malah datang ke kantor polisi. Kalau ditilang di pintu gerbang gimana? Apa Pak Polisi-nya nggak mikir sampai sejauh itu apa yak? Pitikih?
Meski begitu, bukan itu kegelisahan saya sebenarnya. Kegelisahan saya sebenarnya, terus mobil yang ditawarkan Polisi ke saya itu mobil apa yaaa?
Tadi kan saya sudah mikir bakal nyetir mobil Pajero yang meski segede gaban, tapi ada power steering-nya. Pasti masih gampang lah belak-beloknya. Cukup adaptasi bentar, bisa lah saya. Etapi, kalau Pak Polisi menanyakan apa saya bawa mobil sendiri, itu artinya mobil Pajero tadi ya punya mbaknya sendiri, bukan fasilitas kantor Polisi.
Sejenak, bayangan saya langsung tergambar mobil polisi yang biasa buat nangkap maling. Mobil Kijang Kotak Polisi pikap khas yang ada kursi pos kampling di belakangnya. Tak sampai semenit, mobil yang saya bayangin itu pun muncul di hadapan saya, didatangkan langsung dari garasi oleh Pak Polisi yang baik hati tadi.
“Ayo, Dek. Kita ujian sekarang,” kata Pak Polisi yang terlihat sangat mahir mengendarai mobil Kijang yang belakangan saya baru tahu namanya Kijang Doyok bikinan 1980-an.
Buset, ini mah lebih tua daripada mobil Kijang Rover di rumah saya.
Rasa gugup langsung merambat kaki saya melihat Kijang Kotak yang usianya lebih tua dari saya itu. Saya masuk sejenak melihat interiornya. Benar-benar klasik—lebih ke nggak terawat sih sebenarnya.
Sebelum menyalakan mesin, saya sentuh dulu bagian-bagian interiornya. Mencoba berdamai dengan Kijang Doyok ini. Mencoba menyerap aura-auranya agar ini mobil tidak balik melawan saya. Rasanya benar-benar seperti menaiki kuda liar dan mencoba menjinakkannya.
Saya mencoba mengakrabkan diri, mulai dari setirnya yang besar tapi ramping, lalu tongkat perseneling yang rada aneh mecungul keluar dari lantai mobil.
Namun keanehan itu belum komplit ternyata, Polisi yang tadi menawari saya ternyata tidak keluar dari mobil, ia duduk di samping saya, sambil membawa stopmap yang berisi paramater hasil ujian praktik saya. Cilaka.
“Siap, Dek?” tanya Pak Polisi.
“Insya Allah, Pak,” kata saya masih mencoba menyembunyikan rasa gugup.
“Ini nanti ada tiga kesempatan gagal ya, Dek. Jadi yang pertama Adik silakan masuk ke simulasi garasi di depan. Dari arah depan dua kali; kanan dan kiri. Lalu mundur dua kali; kanan dan kiri. Lalu tes terakhir, Adik nanti berhenti di tanjakan mesin dimatikan, terus dinyalain dan jalan lagi.”
Kedengarannya memang tidak begitu sulit, menjadi sulit adalah karena mobil yang saya pakai adalah mobil polisi Kijang Kotak yang belum pernah saya naikin sekalipun.
Mobil lalu saya nyalakan. Tanpa diduga, begitu mobil nyala dan jalan sebentar 4-6 meter, saya baru sadar bahwa mobil ini ringan sekali.
Memang betul Kijang “Kotak” Doyok ini lebih tua dari Kijang Rover, tapi karena bodinya kecil putaran setirnya jadi tidak seberat yang saya kira. Kepercayaan diri saya meningkat begitu sadar kalau Kijang Doyok ini kalau tanpa muatan lumayan enteng juga, setirnya cukup mudah dibelokin meski tanpa teknologi power steering.
Satu-satunya yang jadi masalah hanyalah pada transmisi dan kopling yang seperti hampir kopong. Tapi kondisi itu pun tak jauh beda dengan Kijang Rover di rumah. Hal yang lantas bikin saya cukup mudah melibas ujian praktik SIM A saat itu.
Bahkan di ujian terakhir yang mematikan mesin di tanjakan lalu menyalakan lagi, Pak Polisi yang mendampingi saya tidak ikut, karena—katanya—ia sudah yakin saya bakal lolos di tes terakhir itu.
Di saat itulah nasihat Bapak kembali terngiang di kepala saya.
“Kalau kamu udah terbiasa pakai mobil transmisi manual, tidak power steering, dan ada moncongnya, kamu bakal bisa nyetir mobil apapun…
…termasuk juga mobil Kijang Kotak punya Pak Polisi.”
BACA JUGA Ada Nggak MPV yang Lebih Bagus dari Toyota Innova? dan tulisan soal Otomotif lainnya.