MOJOK – Kiai Said Aqil Siraj tidak sepakat jika Kementerian Agama mengeluarkan daftar 200 nama rekomendasi dai, seharusnya yang dikeluarkan “yang dilarang” bukan “yang direkomendasi”. Nah yang dilarang, contohnya: Habib Rizieq.
Drama 200 nama dai atau mubalig rekomendasi dari Kementerian Agama (Kemenag) ternyata belum juga berakhir. Setelah banyak suara yang menyayangkan jalan yang dipakai Kemenag untuk membatasi dakwah penebar kebencian di akar rumput, kali ini ketidaksepakatan juga muncul dari KH. Said Aqil Siraj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kepada Kemenag.
Secara garis besar, jika memang tujuan Kemenag adalah mengurangi ujaran kebencian oleh pemuka agama, maka seharusnya yang dimunculkan adalah “yang dilarang”, bukan “yang diperbolehkan”.
Secara sekilas pandangan itu masuk akal, karena daripada meributkan siapa yang tidak masuk (karena jelas nama yang tidak masuk jauh lebih banyak) akan lebih enteng kalau yang dibatasi tidak direkomendasikan cuma segelintir orang karena langsung jelas kesebut dan jelas jumlahnya enggak akan banyak.
Ini logika yang sama dari beberapa orang untuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketika pelabelan cap “halal” sudah begitu masif dan ditakutkan malah jadi komersialisasi, karena pada praktiknya legitimasi halal ini sampai juga ke produk-produk non-makanan. Seperti detergen, sampo, kosmetik, dll.
Pada akhirnya ada usulan bahwa ada baiknya bukan cap halal yang diberikan, tapi justru cap haram, karena kepastian hukumnya lebih jelas. Hal ini tentu saja didasari dari qawaid fiqhiyah, bahwa hukum asal sesuatu adalah halal dan diperbolehkan sampai ada dalil yang melarangnya. Dengan cap haram, apapun yang tidak dicap berarti boleh dikonsumsi dan statusnya halal. Gampang tho?
Secara sekilas sih ide ini memang jelas oke-oke saja. Apalagi jika dikaitkan dengan kasus 200 dai rekomendasi Kemenag ini. Tentu saja akan lebih mudah bagi umat ketika melihat secara langsung mubalig yang mereka dengar ternyata masuk pada daftar “yang dilarang” Kemenag. Sebab dengan hanya memasukkan 200 nama rekomendasi, status dai atau mubalig yang tidak masuk daftar jadi tidak jelas bagi beberapa orang—meski bagi jamaahnya hal itu jelas tidak berpengaruh apa-apa.
Hal inilah yang ditangkap dari jamaah Front Pembela Islam (FPI), yang santai-santai saja menanggapi daftar rekomendasi 200 mubalig versi Kemenag ini. Meski Imam besar mereka tidak masuk daftar, toh tidak ada tanggapan berlebihan pula dari FPI. Seperti FPI yang enggak FPI saja rasanya. Semoga ini karena efek puasa yang mampu menurunkan tensi ketegangan. Bukan karena yang bersangkutan sedang di luar negeri saja.
Daftar rekomendasi Kemenag ini juga disayangkan karena membuat banyak penceramah yang bagus-bagus di kampung-kampung, dan tidak disorot oleh kamera jadi punya potensi dipertanyakan kompetensinya. Padahal melihat jumlah mubalig rekomendasi dibandingkan dengan jumlah umat Islam di Indonesia ini kok rasanya terlalu sempit dan kecil sekali perbandingannya.
Persoalannya, Kiai Said Aqil malah nyeletuk menyebut nama; Habib Rizieq, sebagai mubalig yang mungkin bisa dikategorikan kurang baik versi Kemenag. Hal-hal yang didasarkan karena yang bersangkutan kalau berdakwah suka ngomong kotor, keceplosan misah-misuh, atau dinilai provokatif.
Alhamdulillah, sampai tulisan ini dibuat, tidak ada tanggapan emosional dari pengikut Habib Rizieq soal keterangan Kiai Said Aqil ini. Meskipun kalau Anda baca-baca kolom komentar terkait berita ini, komentar yang muncul hanya ada dua hal: Pertama, membela Kiai Said Aqil karena merasa apa yang disampaikan sudah benar. Bahwa Habib Rizieq memang kurang begitu baik jadi penceramah. Kedua, menghujat Kiai Said Aqil, karena dianggap sudah menghina imam besar FPI tanpa dasar.
Eh, ada satu lagi ding, yang ketiga. Orang yang dengan entengnya bikin komentar: “Hape Anda rusak? Dapatkan diskon dengan tukar tambah di counter XXX”.
Membaca komentar seperti itu kok bikin optimis, kalau Indonesia masih akan baik-baik saja.