Ketulusan Cinta yang Kerap Tertutup oleh Persepsi

pendekar

Urusan ketulusan dan kemurnian cinta memanglah hal yang sangat rumit. Ia kerap tak bisa ditebak dan diprediksi. Yah, apa saja yang berhubungan dengan cinta memang suka begitu, ia rapuh dan mudah sekali terbutakan persepsi.

Saya jadi ingat dengan kisah pergulatan asmara yang melibatkan kakak beradik Arya Dwipangga dan Arya Kamandanu dalam kisah Tutur Tinular.

Dalam kisah tersebut, kita semua tahu dan paham betul, siapa yang baik dan siapa yang jahat. Siapa yang dapat peran protagonis dan siapa jadi jadi antagonis. Ya, Arya Kamandanu yang memang pendekar lakon menjadi tokoh baik, sedangkan Arya Dwipangga si begundal mau tak mau harus menerima jatahnya sebagai orang yang jahat.

Dalam salah satu fragmen memperebutkan Mei Shin, pendekar perempuan asal negeri Cina, Mei Shin pada akhirnya memang menikah dengan Arya Kamandanu. Namun sebelum Mei Shin menikah dengan Kamandanu, Arya Dwipangga dengan cara yang licik sempat memperdaya Mei Shin dan sempat menodainya.

Hal tersebut membuat Arya Kamandanu muntab dan marah besar pada Arya Dwipangga. Pada puncaknya, Kamandanu kemudian bertarung dengan Dwipangga dan berhasil mengalahkannya.

Arya Kamandanu semakin tebal legitimasinya sebagai jagoan, sedangkan Arya Dwipangga semakin tebal pula reputasinya sebagai penjahat sekaligus pesakitan.

Kendati demikian, ada hal yang luput dari pandangan banyak pemirsa.

Sebajingan-bajingannya Arya Dwipangga, Ia tetaplah manusia yang menyelamatkan Arya Kamandanu dari maut ketika hampir ditebas oleh Mpu Tong Bajil dengan pedang naga puspa.

Sebajingan-bajingannya Arya Dwipangga, ia tetaplah tokoh yang paling tulus menebus dosanya kepada Mei Shin. Dalam keadaan buta, Ia bahkan rela menjadi budak seumur hidup asal Mei Shin sudi memaafkannya.

Kisah tentang kebajinganan Dwipangga ditutup oleh penderitaan yang berlandaskan ketulusan.

Sedangkan Arya Kamandanu kelak berpisah dari Mei Shin dan akhirnya menikah dengan Sakawuni.

Kisah ini memberikan pelajaran pada kita, bahwa selain Rangga, bajingan lain yang perlu kita kagumi adalah Arya Dwipangga.

Kisah lain yang begitu jelas menggambarkan tentang persepsi ketulusan cinta ini tergambar juga dalam kisah Rama-Sinta.

Dalam epos legendaris Ramayana tersebut, disebutkan bahwa Rahwana menculik Sinta dari Rama, suaminya, karena tergoda oleh kemolekan dan kecantikan Sinta, serta menganggap Sinta sebagai titisan dari Dewi Setyawati yang oleh Rahwana sangat ia cintai.

Selama berada dalam sekapan Rahwana, Sinta selalu diperlakukan dengan sangat baik. Setiap hari ia membawakan Sinta puisi. Membawakan makanan dan minuman terbaik. Rahwana juga berkali-kali meminta maaf pada Sinta karena telah menculiknya.

Tak pernah sekali pun Rahwana mencoba untuk memperkosa Sinta.

Hal tersebut karena Rahwana begitu mencintai Sinta dengan tulus. Dan menurut Rahwana, cinta yang tulus bukan dibangun oleh sebuah paksaan.

Singkat kata, setelah bertahun-tahun lamanya Sinta diculik, Rama akhirnya datang untuk membebaskan Sinta.

Rama dengan dibantu oleh pasukan kera-nya Hanuman, berhasil merebut Sinta kembali dan mengalahkan Rahwana.

Sinta akhirnya kembali pada suaminya. Namun, setelah kembali, Rama tidak serta merta mau menerima Sinta, ia curiga Sinta sudah dinodai oleh Rahwana.

Sinta sedih, ia menjelaskan dengan sungguh-sungguh bahwa dirinya masih suci. Sinta bahkan sampai harus menceburkan diri ke dalam bara api demi membuktikan bahwa dirinya masih suci. Karena musih suci, api tidak melahap tubuh Sinta. Barulah setelah itu Rama mau menerima Sinta.

See, Rahwana yang terkenal begitu kejam dan jahat ternyata punya jiwa mencintai yang begitu tulus dan suci. Sedangkan Rama yang selama kita kenal sebagai tokoh protagonis ternyata punya rasa tidak percaya dan curiga yang begitu besar pada istrinya.

Ah, perkara ketulusan kadang memang menyebalkan.

Exit mobile version