Kenapa Irama Lagu Jeleknya Aldi Taher Malah Gampang Terngiang di Kepala?

Aldi Taher dalam Citra Religius dan Politisi Golkar Penggubah Lirik Lagu Orang

Aldi Taher dalam Citra Religius dan Politisi Golkar Penggubah Lirik Lagu Orang

MOJOK.COLagu Aldi Taher kembali muncul untuk menganggu kedamaian media sosial. Kenapa sih lagu buruk itu malah nyantol di kepala kita?

Semua orang bisa jadi kayak Aldi Taher.

Punya irama seadanya, gitar ala kadarnya, kamera sedapetnya, lalu merekam sebuah lagu yang baru 0,00005 persen jadi, selesai jadi karya. Semua orang bisa kayak gitu. Bisa.

Pertanyaannya: apa yang membedakan ordinary people dengan Aldi Taher? Kenapa orang lain tidak bisa viral dengan skema yang sama sedangkan Aldi Taher bisa?

Yak, selain karena hanya Aldi Taher doang yang mau upload lagu belum jadi sambil senam SKJ kayak gitu… hanya Aldi Taher juga orang yang sedari awal sudah sadar untuk menghibahkan dirinya sebagai sandbag bulian nasional.

Plus dengan reputasi artisnya sebelum jadi “ajaib” kayak gini. Hal viral kayak gitu jadi lebih mudah tercapai.

Sebenarnya saya males bener ngomongin ini orang. Bukan apa-apa, saya percaya Aldi Taher melakukan itu karena satu: caper. Pengen dibicarakan orang! Dan kalau saya menulis tentang dia, rasanya saya kayak lagi nurutin dia. Buset deh. Dilematis, Cooegh!

Namun, saya sebenarnya nggak ingin ngomongin Aldi Taher di sini, saya cuma mau lebih fokus pada alasan kenapa irama lagunya, yang liriknya adalah soal Nisya Sabyan itu, bisa terngiang di kepala banyak orang Indonesia.

Padahal kita tahu betapa buruk lagu itu (udah deh, nggak usah soksokan sarkas-in dia deh, dia nggak bakal paham).

Di Twitter, gejala ini bisa kamu lihat. Entah diawali dari siapa, tiba-tiba ordinary people malah banyak yang bikin parodi lagunya Aldi Taher. Mendadak irama yang mengganggu itu jadi terdengar familiar. Bgzt.

Jangankan di Twitter, di tongkrongan saya pun, kalau keadaan sepi senyap tak ada suara, entah kenapa belakangan ini ada saja temen bangsat-amoral-bedebah yang suka refleks bersenandung lirih… Nisya Sabyaaaan… I Loooooveeee youuu sooo muuucch~

*&&^@*%#*^*&!!!

Saya awalnya juga bingung, lagunya Aldi Taher tidak sama seperti lagu mars Perindo jeleknya, tapi kenapa banyak orang yang “suka” ya? Mengulang-ulangnya di mana-mana lagi. Di setiap kesempatan.

Oke deh, kalau buat lucu-lucuan itu mungkin masuk akal. Tapi tetep saja saya penasaran, kenapa semua orang malah jadi kayak punya koneksi personal ya sama irama lagu itu?

Nah, dalam rasa penasaran ini akhirnya saya menemukan jawabannya. Dan tampaknya jawaban ini cukup akurat.

Jadi gini. Dalam jurnal Current Direction in Psychological Sciene yang saya dapat, disebutkan kalau kenangan seseorang terhadap sesuatu yang buruk… atau sangat-sangat buruk, justru malah tertancap dalam-dalam ke ingatan.

Bahkan semakin buruk ingatan itu, semakin tertancap juga memori yang mudah diakses oleh otak kita itu. Dalam takaran tertentu, ini setara dengan pengalaman traumatik yang kelanjutannya bisa jadi semacam fobia.

Bahkan semakin bersikukuh kita pengin melupakan ingatan itu, yang terjadi justru sebaliknya. Kenangan-kenangan itu malah muncul di kepala. Persis kayak irama lagunya Aldi Taher yang ada di kepala saya ketika nulis ini.

Saya bisa kasih contoh lain.

Misalnya pengalaman ditinggal rabi, seseorang yang mengalami itu bisa aja sesumbar, “Udah move on kok aku. Udah aku lupain.”

Heleh, mbelgedhes taik kucing. Nggak mungkin. Pengalaman sesakit itu sih mana bisa hilang. Pura-pura lupa sih bisa, tapi kalau lupa beneran ya sulit sekaleee.

Pertanyaannya, kenapa begitu? Kenapa pengalaman buruk malah mudah diingat?

Hal ini sebenarnya adalah bagian dari evolusi kita sebagai spesies manusia untuk bertahan hidup di planet ini. Dengan kelewat mudah mengingat hal-hal buruk, atau sulit melupakan hal-hal buruk, kemampuan itu sebenarnya merupakan kemampuan survival spesies manusia.

Hah?

Gini, gini. Saya jelasin secara sederhana.

Dengan kemampuan otak kita yang mudah merekam suatu pengalaman buruk, kita diharapkan (sama otak) untuk menghindari hal tersebut di lain waktu. Biar apa? Haayaa biar kita tak mengalami kejadian buruk lagi.

Misalnya, kamu pernah tenggelam di kolam renang sampai mau mati. Lalu otak kamu akan merekam itu sebagai kenangan yang mengaktifkan refleks kemampuan bertahan hidupmu. Otak akhirnya kasih sinyal ke kamu kalau kolam renang itu bahaya. Kolam renang itu berisiko menyebabkanmu mati.

Yang terjadi berikutnya—dalam takaran yang lebih ekstem—kamu jadi fobia kolam renang. Deket-deket kolam renang aja udah kayak mau muntah rasanya.

Dalam dosis yang lebih ringan, itulah relasi yang terjadi dengan reaksi netizen terhadap lagunya Aldi Taher. Lagu Aldi Taher ini diingat justru karena saking buruknya, dalam moment terburuk, dan dieksekusi dengan buruk pula.

Saking buruknya, pada mulanya, banyak orang yang memaki-maki ini lagu (dan video klip-nya). Kamu bisa baca itu dari reaksi netizen pada awal mula lagu ini muncul di media sosial. Yang ngamuk bejibun. Pada gerah semua. Terjadi penolakan komunal.

Namun, semakin berjalannya waktu, orang-orang malah jadi terbiasa. Keterkejutan kesan di awal akan sebuah karya yang kelewat buruk, ternyata melahirkan rasa “traumatik” dosis rendah yang bikin semua orang jadi ingat akan lagu itu.

Ketimbang melihat bahwa kemampuan Aldi Taher memang ala kadarnya. Saya justru curiga, bahwa gejala ini tak sekali dua kali dicoba oleh mantan suami Dewi Persik ini. Setiap tingkah-polahnya di media sosial belakangan ini memang kayak berusaha menyentuh reseptor otak kita untuk langsung menolaknya.

Mulai dari gerakan baca Al-Quran tiap hari tapi direkam lalu diposting yang kelewat banget tidak natural, nasihatin orang pakai dalil agama padahal dia nggak punya kapasitas soal agama, sampai bikin impian tak jelas kayak bercita-cita jadi Presiden Amerika.

Semua tindakan yang menyebalkan, menganggu, dan karena dilakukan terus-menerus bisa menimbulkan perasaan traumatik ke netizen.

Ketimbang tindakan bodoh yang random, saya melihat pola yang unik di sana. Bahwa Aldi Taher kayak paham bahwa orang itu kalau dikasih hal baik itu susah ingat, tapi kalau dikasih hal buruk pasti langsung nyantol.

Dan bukan tidak mungkin, Aldi Taher bisa tetap konsisten memberi hal-hal buruk ke depannya karena melihat reaksi-reaksi netizen selama ini.

Persis kayak anak TK yang kurang perhatian dari orang tuanya, lalu caper salto ke sana kemari. Tanpa menyadari, kalau tindakan tersebut bisa menyelakakan dirinya dan orang di sekitarnya.

BACA JUGA Aldi Taher Resmi Bergabung Menjadi Kader Partai Bulan Bintang dan tulisan POJOKAN lainnya.

Exit mobile version