Kemarahan Sri Mulyani dan Kasus Baiq Nuril Bukti Perempuan Akan Selalu Direndahkan

Sri Mulyani dan Baiq Nuril MOJOK.CO

MOJOK.COKemarahan Sri Mulyani dan kasus Baiq Nuril akan selalu ditelan oleh kisruh politik, agama, dan olahraga. Perempuan dianggap “sekunder” belaka.

Kemarahan Sri Mulyani dan kasus Baiq Nuril adalah bukti perempuan akan selalu direndahkan. Bahkan sejak dalam pikiran, perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah. Bukan hanya secara fisik, melainkan secara pola pikir juga. Perempuan dianggap lemah dalam hal mempertahankan komitmen, misalnya.

Kalau sudah begitu, ditambah soal relasi kuasa, perempuan bakal selalu direndahkan. Nggak perlu sampai ngomongin kesetaraan dengan kaum adam, lha wong mendapatkan keadilan saja masih jauh. Ketika perempuan terlalu mudah ditempatkan sebagai “lapisan kedua” dalam sistem kehidupan, berbagai teriakan dan kampanye soal kesetaraan itu seperti kentut. Baunya menyengat, namun hanya sesaat.

Baru-baru ini, Sri Mulyani dibuat jengkel oleh pernyataan dari Anang Latif, Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kemenkominfo dalam acara peluncuran digitalisasi pembiayaan Ultra Mikro (UMi) di Dhanapala, Jakarta.

Latif, anak buah Rudiantara nampaknya berusaha menyelipkan candaan. Ia mengatakan bahwa bapak-bapak jangan sering ke luar kota karena dikhawatirkan istri akan menikah lagi. Berpidato di depan banyak orang memang bikin grogi. Oleh sebab itu, dibutuhkan ice breaking supaya tidak kaku dan lebih rileks ketika membawakan materi.

Namun, inilah yang justru berbahaya. Bahkan ketika bercanda saja, bapak-bapak dan kaum adam begitu mudahnya menempatkan seorang perempuan sebagai objek yang patut dicurigai. Lho kan cuma bercanda? Ini justru berbahaya. Ujaran seksis, yang bagi saya sudah masuk ke dalam ranah kekerasan terhadap perempuan, sudah tertanam di dalam lubuk hati paling dalam. Muncul secara “tidak sengaja” untuk memicu tawa banyak orang.

Setelah Latif berpidato, giliran Sri Mulyani. Selain berbicara soal tema yang dibicarakan, Sri Mulyani sekalian menegur Latif. Beliau berkata:

Jokes-nya Latif, soal “Saya sering sampaikan supaya bapak-bapak jangan sering ke luar kota nanti istrinya nikah lagi”. Saya rasa itu jokes yang sangat seksis. Saya sampaikan ini sebagai bentuk keberpihakan kepada perempuan menjaga martabat mereka tidak hanya sebagai objek.”

“Ahh…cuma begitu saja marah, kamu bilang?”

Berikut bukti bahwa sesuatu yang busuk, yang sudah masuk ke dalam alam bawah sadar, menggerakkan manusia untuk meniadakan peran perempuan lebih lanjut:

Di acara peluncuran itu, ada sebuah video soal UMi yang diputar. Video tersebut hanya memuat laki-laki, padahal selama ini UMi paling banyak melibatkan perempuan. Tak ayal, Sri Mulyani juga menegur Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Marwoto Harjowiryono.

“Hanya yang saya sayangkan Pak Marwoto, video pertama dilihatkan bagaimana kredit ultra mikro itu semua laki-laki. Salah total itu. Salah sekali karena saya tahu, para pelakunya itu perempuan. Jadi tolong yang buat video pertama dikoreksi mindset-nya,” kata Sri Mulyani.

FYI, program UMi melibatkan 90 persen perempuan. Dan perempuan, ikut program UMi untuk membantu keuangan keluarga. Sudah berniat mulia, masih dinafikan perannya. Mindset, pola pikir manusia, mungkin sudah sejak zaman purba, akan selalu meniadakan keberadaan perempuan. Sampai sekarang, ketika korban dibuat menjadi pesakitan.

Kemarahan Sri Mulyani adalah sebuah penegasan dari kasus Baiq Nuril. Seorang guru honorer, ibu satu anak balita, korban kekerasan seksual, justru dijadikan pesakitan.

Dan terjadi anti-klimaks, ketika Mahkamah Agung (MA) memvonis Baiq Nuril bersalah di tingkat kasasi. Padahal, sebelumnya, PN Mataram sudah membebaskan Baiq Nuril dalam kasus rekaman telepon antara Baiq Nuril dengan Muslim, atasannya. Dalam fakta persidangan terbukti Muslim sudah melecehkan Baiq Nuril.

Di mata MA, Baiq Nuril dianggap sudah mempermalukan Muslim dan keluarganya dengan membuka kasus pelecehan, yang dilakukan oleh Muslim sendiri. Mau dipikir pakai logika macam apa saja, putusan MA sungguh tiada masuk akal. Bagaimana mungkin, yang dilecehkan, justru dijadikan pesakitan atas dasar mempermalukan.

Seharusnya keluarga Muslim malu karena perbuatan anggota keluarganya sendiri. Melecehkan seorang perempuan jelas sudah salah. Ini masih “dilindungi” oleh logika cacat persidangan. Jangan salahkan jika kepercayaan masyarakat kepada sistem hukum di Indonesia semakin merosot karena cacat logika ini.

Sebelum marah kepada cacat logika di hukum Indonesia, marahlah kepada bagaimana Muslim dengan lincah “menggoda” Baiq Nuril lewat telepon. Ketika Muslim merasa yang ia lakukan tidak akan berdampak hukum (sosial), di situlah bukti bahwa keberadaan perempuan adalah sekunder, direndahkan, dan dikecilkan posisinya.

Ketika melecehkan perempuan sudah ada di alam bawah sadar, kampanye membela perempuan seperti kentut belaka. Baunya menyengat, namun hanya sesaat.

Netizen akan selalu jatuh hati dengan konten politik, agama, atau olahraga yang “ringan” saja, ketimbang terus-menerus menyuarakan kesetaraan gender.

Exit mobile version