Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Pojokan

Kasus Novel Baswedan dan Kebiasaan “Elu Aja yang Maju” Orang Indonesia

Yamadipati Seno oleh Yamadipati Seno
18 Juli 2019
0
A A
Keadilan untuk Novel Baswedan MOJOK.CO
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Tim Pencari Fakta gagal menemukan fakta baru dari kasus kejahatan yang menimpa Novel Baswedan. Tidak berani gung ho karena ancamannya sangat nyata?

Pada titik tertentu, kasus Novel Baswedan itu seperti situasi ruang kelas ketika Bapak Guru selesai menjelaskan sesuatu. Lantaran tidak ada yang mau bertanya, Bapak Guru memberikan pertanyaan. Saling lempar pun terjadi, mirip kasus Novel Baswedan ketika Tim Pencari Fakta (TPF) gagal menemukan “jawaban” atas kasus yang terjadi pada tahun 2017 itu.

“Sudah jelas semua? Nah, ada yang mau ditanyakan?” Kata Bapak Guru di depan kelas setelah menyampaikan sebuah penjelasan.

“…” Kelas itu hening. Beberapa siswa berusaha keras menghindari tatapan Bapak Guru biar nggak disuruh tanya. Fansuri, yang duduk di paling belakang malah sibuk ngupil dan dipeperkan ke punggung Khadafi, teman sebangkunya.

“Nggak ada yang tanya? Baik, berarti semua sudah paham, ya?” Bapak Guru kembali bertanya.

“…” Lagi-lagi, kelas hening.

“Kalau semuanya diam pertanda sudah paham, Bapak aja yang tanya.” Selesai berbicara, kesunyian kelas semakin menjadi-jadi. Sontak, beberapa siswa menundukkan kepala, takut tatapannya bersirobok dengan Bapak Guru dan ditanya-tanya. Fansuri malah sudah berkeringat dingin. Dia nggak menyimak blas penjelasan guru. Khadafi juga pucat, mungkin sudah ngompol karena ketakutan.

Bapak Guru mengajukan sebuah pertanyaan, sulit juga rupanya. Sesulit mengharapkan keadilan di kasus Novel Baswedan. “Nah, ada yang bisa menjawab? Kalau ada yang bisa, kalian boleh pulang lebih cepat.” Kebetulan, pelajaran Bapak Guru itu ada di jam terakhir.

Para siswa kasak-kusuk. Fansuri berbisik kepada Magelangan, siswa paling pandai, yang duduk di depannya. “Gel, cepetan dijawab. Mayan bisa pulang cepet, main PS kita.” Khadafi mengompori. “Ho o, Ngan, ndang dijawab. Tak belikan Samsu sak ler sama es teh, wis.” Bahasa Indonesia Khadafi campur-campur, medok pula.

Magelangan, yang sudah ngantuk berat, cuma melirik. “Aku lagi,” batinnya. Dua menit berlalu, tiga menit, empat menit. Tatapan mata Bapak Guru mulai memburu. “Bapak tunjuk, nih. Kalau nggak ada yang mau menjawab.” Kelas itu tiba-tiba menjadi sumuk, beberapa siswa bandel mulai berkeringat dan kompak melirik ke Magelangan. Tatapan mereka seakan-akan berkata, “Ngan ayo dijawab!”

Lama-lama, Magelangan jadi tak sabaran. Ia mengacungkan tangan siap menjawab. Wajah-wajah di kelas itu mendadak cerah, lega nggak disuruh “bekerja” kayak TPF mencari fakta baru dari kasus Novel Baswedan. Namun, setelah mencoba menjawab, Magelangan justru gagal total. Jawabannya salah, Bapak Guru dan siswa lain kecewa. Diharapkan kok malah begitu, batin Fansuri sambil melengos.

Ternyata, Magelangan memang nggak tahu jawabab Bapak Guru karena dirinya sibuk tidur. Tidur, sambil tetap bisa duduk tegak dengan mata terbuka. Sebuah ilmu kanuragan yang ia pelajari di puncak Gunung Tidar.

Ketika ekspektasi makin tinggi, dirinya malah mengecewakan. Persis seperti hasil kerja TPF yang sudah bekerja selama 6 bulan, tapi gagal memberi rekomendasi atas kasus Novel Baswedan.

Tidak ada yang baru dari kasus Novel Baswedan

Rabu siang (17/7), TPF memaparkan hasil temuan mereka. Selama 6 bulan bekerja, salah satu temuan mereka adalah ada 3 orang yang perlu untuk diperiksa oleh polisi. Masalahnya adalah, fakta yang diajukan TPF itu sudah ada sejak kasus Novel Baswedan terjadi pada tahun 2017 yang lalu.

Direktur Eksekutif Lokataru, sekaligus anggota tim advokasi Novel Baswedan, Haris Azhar, menganggap temuan tersebut sebagai pengingat belaka. “TPF memperkuat memori dan pengetahuan lama kita, bahwa [memang] ada 3 pelaku lapangan,” kata Haris dalam keterangan tertulisnya, seperti dikutip oleh Tirto.

Apakah TPF seperti Fansuri dan Khadafi di atas yang “Elu aja yang maju,” melimpahkan kerja selanjutnya kepada kepolisian? Mengapa TPF, yang bekerja salama 6 bulan, hanya mentok sampai di situ? Pertanyaan-pertanyaan dari hasil kerja, yang berpotensi menggiring opini publik kepada kesimpulan bahwa kasus Novel Baswedan ini memang diotaki oleh “tangan tak terlihat”.

Yang bikin mengernyitkan dahi adalah TPF justru memandang kalau Novel Baswedan sudah melakukan excessive abuse of power, atau penggunaan kewenangan secara berlebihan yang menimbulkan serangan balik. Haris Azhar dibuatnya bingung.

“Kewenangan yang mana yang melampaui hukum?” kata Haris. Sama seperti Haris, Alghiffari Aqsa, salah satu anggota tim advokasi Novel, merasa kewenangan berlebih Novel Baswedan ketika mengusut sekurang-kurangnya enam kasus besar KPK malah menyudutkan kliennya. Padahal dalam kasus penyiraman air keras ini Novel Baswedan jelas seorang korban.

Ngomong-ngomong, dua dari enam kasus yang ditengarai merupakan sebab Novel jadi korban penyerangan adalah korupsi proyek e-KTP dan kasus korupsi proyek Wisma Atlet. Kakap semua, brooo…

Melihat besarnya kasus yang pernah diampu Novel, apakah TPF nggak berani tuh mengusut lebih jauh? Serangan fisik kepada korban merupakan ancaman nyata. Menjadi sebuah pengingat kalau macam-macam, pasti disikat. “Elu aja deh yang maju,” kok ya menjadi masuk akal.

Namun, meskipun “masuk akal”, situasi semacam ini memberi bukti kalau hukum memang (masih sulit) tajam ke atas. Kalau terus seperti ini, besar kemungkinan kasus Novel Baswedan bakal masuk “kotak es”.

Mau sampai kapan hukum Indonesia begini?

Terakhir diperbarui pada 18 Juli 2019 oleh

Tags: air kerasKPKnovel baswedanTPF
Iklan
Yamadipati Seno

Yamadipati Seno

Redaktur Mojok. Koki di @arsenalskitchen.

Artikel Terkait

Sejumlah Menteri Terjerat Korupsi, Dewan Guru Besar Minta KPK Tak Tebang Pilih. MOJOK.CO
Kilas

Sejumlah Menteri Terjerat Korupsi, Dewan Guru Besar Minta KPK Tak Tebang Pilih

17 Juni 2023
Siapkan Gugatan PTUN, PP Muhammadiyah Tolak Perpanjangan Jabatan KPK. MOJOK.CO
Kilas

Siapkan Gugatan PTUN, PP Muhammadiyah Tolak Perpanjangan Jabatan KPK

14 Juni 2023
Resto Bilik Kayu Rafael Tutup, Karyawan Belum Jelas Pesangonnya. MOJOK.CO
Kilas

Resto Bilik Kayu Rafael Tutup, Karyawan Belum Jelas Pesangonnya 

9 Juni 2023
Masa Jabatan Pimpinan KPK Diperpanjang, Pukat UGM Sebut Logika MK Lemah. MOJOK.CO
Kilas

Masa Jabatan Pimpinan KPK Diperpanjang, Pukat UGM Sebut Logika MK Lemah

27 Mei 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Duta Sheila on 7: Duta Bapak-bapak Kampung yang Sayang Anak MOJOK.CO

Kegelisahan Seorang Bapak yang Punya Anak Perempuan dan Pentingnya Aktif Ikut Ronda di Kampung seperti Duta Sheila on 7

20 Juni 2025
Anaknya Ceweknya Punya Bakat, Jadi Rebutan Klub Sepak Bola, tapi Ayahnya Larang Nonton di Stadion MOJOK.CO

Seorang Ayah yang Menolak Tawaran Tiga Klub Sepak Bola yang Ingin Meminang Anak Perempuannya

20 Juni 2025
Pertandingan sepak bola putri di Jogja dalam laga MLSC. MOJOK.CO

Sepatu Rusak: Saksi Bisu dari Atlet Sepak Bola Putri di Jogja yang Penuh Nyali dan Nilai Mahal yang Mereka Pelajari

19 Juni 2025
Dicki Olski: Lahir dari Komunitas Stand Up, Kini Bermusik Lewat Lirik Patah Hati

Dicki Olski: Lahir dari Komunitas Stand Up, Bikin Band Pop Gemezz, dan Alasan Hiatus

15 Juni 2025
Cerita Lintang dan Ayla dari SSB menjadi pemain sepak bola putri yang banggakan Jogja MOJOK.CO

Lintang dan Ayla, Dari Pertanyaan “Perempuan Kok Main Bola” Jadi Inspirasi Sepak Bola Putri di Jogja

18 Juni 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.